Penawaran program pendanaan untuk digitalisasi manuskrip Nusantara bermunculan dari dalam dan luar negeri. Situasi itu berpeluang memudahkan proses pelestarian naskah kuno.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah lembaga dalam dan luar negeri menawarkan program digitalisasi naskah kuno Nusantara. Tawaran ini bisa dimanfaatkan oleh para filolog.
Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember Fiqru Mafar menyebutkan, salah satu program digitalisasi manuskrip datang dari The British Library dengan nama Endangered Archives Programme (EAP). Program ini memberikan hibah digitalisasi manuskrip Nusantara. Selama 2006-2019, total ada 18 proposal yang berhasil didanai lewat EAP.
Proposal digitalisasi manuskrip yang dibiayai EAP The British Library telah menjangkau hampir seluruh wilayah Indonesia, kecuali Kalimantan dan Papua. Program digitalisasi naskah kuno di dua wilayah itu kemungkinan sudah berjalan, tetapi memakai skema program lain.
Berdasarkan pengalaman Fiqru melakukan digitalisasi manuskrip, informasi hibah muncul dari sesama filolog. Sebelum mengajukan program digitalisasi, hal penting yang harus dilakukan adalah meyakinkan pemilik naskah. Sebab, ini menjadi persyaratan utama dari lembaga donor.
”Pascadigitalisasi, komunikasi dengan pemilik naskah kuno tetap mesti terjalin dengan baik. Pasca-digitalisasi masih ada tahapan katalogisasi, terjemahan, riset lanjutan, dan publikasi. Regenerasi peneliti akan terjadi,” ujar Fiqru yang juga bagian dari Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) saat menghadiri webinar ”Meraih Program Digitalisasi Manuskrip dan Tantangannya”, Rabu (13/1/2021), di Jakarta.
Selama pandemi Covid-19 tahun 2020, layanan program digitalisasi manuskrip dihentikan sementara. EAP dari The British Library akan kembali dibuka sekitar September 2021. Momentum tersebut, lanjut Fiqru, dapat dipakai untuk mengedukasi masyarakat mengenai hasil manuskrip yang berhasil didigitalisasi.
Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Titik Pudjiastuti mengatakan, dia tengah mengajukan proposal digitalisasi manuskrip Madura. Menurut dia, suasana pandemi Covid-19 akan menyulitkan gerak peneliti di lapangan.
Belum tentu kami bisa datang berkunjung ke rumah pemilik manuskrip. Persebaran Covid-19 masih tinggi. Jika mesti kunjungan, kami dan pemilik harus sama-sama sehat dulu.
”Belum tentu kami bisa datang berkunjung ke rumah pemilik manuskrip. Persebaran Covid-19 masih tinggi. Jika mesti kunjungan, kami dan pemilik harus sama-sama sehat dulu,” ujarnya.
Senada dengan Fiqru, Titi mengamati penawaran program digitalisasi manuskrip Nusantara sudah marak. Bahkan, pada tahun 1990-an, sebelum aktif didigitalisasi, dia berkecimpung dengan pendataan dan inventarisasi naskah kuno milik warga. Penyandang dana kala itu meliputi, antara lain, Toyota Foundation, Universitas Indonesia, Tokyo University, dan The Ford Foundation.
Menurut dia, tahap pertama yang perlu dilakukan adalah bangun kerja sama dengan pemilik naskah, narasumber/peneliti lokal, mengenal adat istiadat setempat, dan bersikap rendah hati. Sisanya, akses jejaring info hibah mudah dilakukan melalui internet dan komunitas.
Sejumlah naskah kuno yang dia dan tim berhasil digitalkan, lalu dibuatkan buku katalog. Misalnya, manuskrip Ambon dan Papua.
”Beberapa naskah kuno yang berhasil dialihmediakan telah dipakai sebagai material penelitian. Belum masif. Maka dari itu, saya punya pemikiran untuk menduniakan manuskrip Nusantara melalui satu sistem daring berisikan hasil didigitalisasi sehingga di mana pun orang bisa memanfaatkan,” kata Titi.
Dosen Universitas Dayanu Ikhsanuddin Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, Hasaruddin, menyampaikan, program digitalisasi manuskrip dari pemerintah pun bisa dimanfaatkan. Apalagi, kini, sejumlah pemerintah daerah mulai punya kesadaran pelestarian naskah kuno yang ditandai dengan adanya alokasi anggaran khusus.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, misalnya, telah mencanangkan perpustakaan berskala besar dan penganggaran untuk alih media naskah kuno. Sejak tahun 2018, Pemerintah Kabupaten Buton mau terlibat digitalisasi. Total terdapat 50 manuskrip yang berhasil didigitalisasi. Dengan Pemerintah Kota Baubau, Hasaruddin dan tim mampu mengalihmedikan 52 naskah kuno. Ditambah lagi, penawaran datang dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
”Kami tetap berusaha agar digitalisasi manuskrip berjalan, seperti pendekatan kepada keluarga-keluarga yang dianggap dihormati oleh masyarakat. Mereka biasanya menyimpan naskah kuno,” katanya.
Penyimpanan
Data Manager Program Digital Repository of Endangered Manuscript in Southeast Asia (Dreamsea) Muhammad Nida Fadlan menyebutkan, target Dreaamsea sampai 2022 adalah mendigitalisasikan 240.000 halaman naskah kuno di Asia Tenggara. Sampai tahun lalu, alih media sekitar 180.000 halaman dari 286 judul manuskrip.
”Pada tahun 2020, kami hanya berhasil menyasar digitalisasi manuskrip di Jawa Barat dan Sumatera Barat. Penawaran program kami tetap dibuka. Untuk tahun 2021, kami telah mendata beberapa lokasi sasaran, antara lain Pamekasan, Gresik, dan Karawang,” ujar Nida.
Ketua Umum Manassa Munawar Holil menyampaikan, pada tahun 2019, Manassa dan Perpustakaan Nasional RI menghitung jumlah manuskrip Nusantara yang disimpan di dalam dan luar negeri. Proporsinya menunjukkan 70 persen dalam negeri dan 30 persen luar negeri.
”Itu baru naskah kuno yang disimpan di Perpustakaan Nasional RI. Kalau sekarang, penawaran program marak dan mudah diakses. Penyimpanan hasil digitalisasi masih menyebar,” tuturnya.