Upaya konkret pelestarian manuskrip Nusantara yang tersebar di daerah-daerah belum optimal. Selain itu, para pemilik manuskrip juga belum banyak yang sadar pentingnya penyelamatan naskah.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perhatian negara terhadap pelestarian naskah kuno Nusantara sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Namun, upaya konkret pelestarian manuskrip sebagai program prioritas belum optimal.
Peneliti cagar budaya dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Sumatera Barat, Ahmad Kusasi, saat dihubungi Jumat (27/11/2020), di Jakarta, mengatakan, upaya pelestarian membutuhkan pendelegasian tugas dan fungsi yang jelas ke satuan kerja di daerah. Misalnya, BPCB untuk urusan fisik dan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) untuk urusan konten.
”Agar satuan kerja pemerintah pusat dan bidang kebudayaan di masing-masing daerah serius melestarikan naskah kuno, pendistribusian tugas perlu diatur tegas. Negara sebenarnya sudah menaruh perhatian tinggi terhadap manuskrip nusantara, seperti melalui Undang-Undang (UU) Cagar Budaya dan UU Pemajuan Kebudayaan,” ujarnya.
Menurut Ahmad, konservasi materi kini cenderung tidak lagi menjadi pilihan utama penyelamatan naskah, tetapi cenderung dengan melakukan digitalisasi. Akan tetapi, proses digitalisasi belum terkelola dengan baik.
Selain itu, peminat dan peneliti naskah kuno harus berhadapan dengan keengganan masyarakat pemilik untuk mengizinkan manuskrip mereka diteliti. Mereka umumnya menganggap naskah kuno sebagai peninggalan leluhur yang keramat dan mengandung informasi rahasia.
Pemilik naskah kuno enggan menyerahkan koleksi untuk kebutuhan konservasi fisik atau alih media. (Pramono)
Sekretaris Masyarakat Pernaskahan Nusantara Pramono membenarkan, salah satu tantangan terbesar konservasi fisik ataupun alih media sampai sekarang terletak pada pemilik koleksi manuskrip. Pemilik naskah kuno enggan menyerahkan koleksi untuk kebutuhan konservasi fisik atau alih media.
Menurut Pramono, pendekatan paling ampuh yang bisa dilakukan untuk mengatasi kendala itu adalah melalui kebudayaan, tanpa embel-embel birokrasi. Pendekatan kebudayaan akan memudahkan dan membangun sikap kepercayaan antara pemilik naskah dengan peneliti.
”Pendekatan melalui cara pandang pemilik naskah. Peminat sekaligus peneliti datang untuk mengajak diskusi bahwa manuskrip penting. Pendekatan kebudayaan juga bisa mengajak tokoh masyarakat atau elite adat lokal dan harus dipertegas bahwa konservasi bukan mengambil naskah, tetapi hanya ingin melestarikan,” ujarnya.
Pramono berpendapat, keberadaan pandemi Covid-19 bukan penghalang. Penelusuran, konservasi, dan penelitian naskah kuno sesungguhnya tetap bisa bekerja. Upaya tersebut biasanya dapat tetap berjalan tanpa melibatkan banyak orang.
Naskah kuno di Kerinci
Pemerhati budaya dan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) periode 1993-1998 Wardiman Djojonegoro secara terpisah mengatakan, selama kurun waktu 1999 dan 2002, filolog asal Jerman, Uli Kozok, beberapa kali mengunjungi Kerinci. Dia menemukan naskah kuno Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah dari pemilik di Tanjung Tanah, Mendapo Seleman, sekitar 15 kilometer dari Sungai Penuh, Kerinci.
Naskah kuno itu masih disimpan persis sesuai cerita pegawai negeri sipil Hindia Belanda, Petrus Voorhoeve, yang pertama kali menemukan pada 1941. Oleh Voorhoeve, naskah tersebut dan artefak lain dari Kerinci dilaporkan ke KITLV Leiden dan BGKW Batavia (pendahulu Perpusnas dan Museum Nasional). Kozok berhasil membuat foto, laporan, dan meneliti hingga akhirnya jadi buku.
Merujuk pendapat Kozok dalam bukunya, Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah Naskah Melayu yang Tertua (Yayasan Naskah Nusantara dan Yayasan Obor Indonesia Jakarta, 2006) atau edisi bahasa Inggris, The Tanjung Tanah Code of Law: The Oldest Extant Malay Manuscript (Cambridge: St Catharine’s College and the University Press: 2004), diuraikan kemungkinan bahwa manuskrip yang ia temukan itu merupakan naskah Melayu yang tertua. Temuan penelitian ini mengejutkan dunia penelitian bahasa dan sejarah kuno Indonesia.
Mengutip artikel Undang-Undang Tanjung Tanah:Naskah Melayu Tertua di Dunia di laman kebudayaan.kemdikbud.go.id (2017), dalam teks naskah kuno Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah yang ditemukan dan diteliti Kozok tidak terdapat kata serapan dari bahasa Arab sehingga kemungkinan manuskrip tersebut berasal dari zaman pra-Islam. Ada sejumlah faktor lain yang menguatkan.
Misalnya, naskah kuno Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah hanya dua kali menyebutkan Maharaja Dharmasraya, sementara kerajaan Dharmasraya disebut sumber sejarah berasal dari abad ke-13 dan ke-14. Ini menjadi petunjuk kuat naskah kuno kemungkinan ditulis sebelum abad ke-15.
Lalu, sebagian besar naskah kuno itu ditulis dalam bahasa Melayu, tetapi terdapat juga kata pengantar dan penutup berbahasa Sanskerta. Selain teks beraksara pasca-Palawa, naskah kuno Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah juga terdapat teks beraksara surat Incung, yakni jenis aksara yang digunakan lebih tua daripada semua naskah Kerinci yang selama ini diketahui.
Naskah kuno Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah tertanggal dengan menggunakan tahun Saka meski tahunnya tidak terbaca. Tahun Saka digunakan dari zaman pra-Islam.
Menurut Wardiman, pascatemuan dan hasil penelitian Kozok tersebut, naskah kuno itu masih ada yang disimpan oleh masyarakat adat (Depati) dan dianggap sakral. Dia memandang tetap perlu konservasi fisik.
”Keberadaan naskah kuno Melayu tertua di Sumatera itu memerlukan langkah-langkah konservasi fisik untuk mengantisipasi dari kerusakan atau kepunahan,” ujarnya.
Wardiman telah mendiskusikan usulannya ini kepada Perpustakaan Nasional dan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud.
Terlepas dari naskah kuno Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah, Wardiman sependapat dengan Ahmad. Jumlah peminat ataupun ilmuwan sejarah Indonesia yang meneliti dan melestarikan manuskrip Nusantara perlu ditingkatkan. Dia percaya, masih banyak naskah kuno belum ditemukan ataupun dikonservasi.