Guru di Satuan Pendidikan Kerjasama Pertanyakan Penghapusan Tunjangan Profesi
Penghentian tunjangan sertifikasi guru di Satuan Pendidikan Kerjasama dinilai diskriminatif dan menyalahi Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan guru di Satuan Pendidikan Kerjasama terus mempertanyakan keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menghentikan tunjangan profesi guru di SPK yang telah memiliki sertifikat pendidik. Selain diskriminatif, keputusan ini dinilai menyalahi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Pasal 14 dan 15 UU Guru dan dosen mengatur bahwa guru yang memiliki sertifikat pendidik berhak memeroleh tunjangan sebagai penghargaan atas profesionalitasnya. Namun, tunjangan profesi untuk guru di SPK yang telah memiliki sertifikat pendidik secara umum dihentikan mulai 2020, dan untuk guru di SPK yang menggunakan kurikulum internasional dihentikan sejak 2019.
Penghentian tunjangan profesi guru untuk guru di SPK ini mengacu Peraturan Sekretaris Jenderal Kemendikbud Nomor 6 Tahun 2020 tentang petunjuk teknis Pengelolaan Penyaluran Tunjangan Profesi dan Tunjangan Khusus Bagi Guru Bukan Pegawai Negeri Sipil. Pasal 6 antara lain menyebutkan menyebutkan bahwa pemberian tunjangan profesi guru dikecualikan bagi guru di SPK.
Satuan Pendidikan Kerja Sama merupakan satua pendidikan (sekolah) yang awalnya berlabel internasional. Sejak 1 Desember 2014 seluruh sekolah yang berlabel International di Indonesia harus mengganti nama menjadi SPK. Ini tertuang dalam Permendikbud Nomor 31 Tahun 2014 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan oleh Lembaga Pendidikan Asing dengan Lembaga Pendidikan Indonesia.
Para guru di SPK yang tergabung dalam Forum Komunikasi Guru SPK Indonesia (FKGSI) telah berupaya meminta penjelasan ke kemendikbud, juga berkirim surat ke Presiden dan mengadukan masalah ini ke Komisi X DPR. Senin (11/1/2021) mereka beraudiensi dengan tim Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud difasilitasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Ketua Departemen Kerjasama Pengurus Besar (PB) PGRI Wisnu Aji yang mendampingi FKGSI dalam pertemuan tersebut mengatakan, pemerintah harus membayarkan tunjangan profesi guru kepada guru yang telah memenuhi ketentuan. “Kalau tidak memenuhi ya tidak perlu dibayarkan, tetapi jangan dikecualikan (dalam peraturan sekjen),” kata Wisnu ketika dihubungi seusai pertemuan tersebut.
Kami merasa diperlakukan tidak tidak adil. Kami sama-sama guru dan sama-sama mendidik anak-anak bangsa juga.(Ricky Zulkifli)
Menurut Ketua FKGSI Ricky Zulkifli, keputusan penghentian tunjangan profesi bagi guru di SPK merupakan keputusan diskriminatif. “Kami merasa diperlakukan tidak tidak adil. Kami sama-sama guru dan sama-sama mendidik anak-anak bangsa juga,” kata dia.
Pertimbangan Kemendikbud
Dalam rilis Kemendikbud pada 19 Juli 2020 disebutkan bahwa pengecualian pemberian tunjangan profesi kepada guru di SPK mempertimbangkan prinsip efisien, efektif, transparan, akuntabel, dan manfaat. Ini diatur dalam Pasal 3 Persekjen Kemendikbud Nomor 6 Tahun 2020.
Selain itu, pengecualian tersebut juga memperhatikan pemenuhan delapan Standar Nasional Pendidikan, yakni standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar pendidikan dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan pendidikan, dan standar penilaian pendidikan oleh satuan pendidikan termasuk SPK.
Paul L, anggota FKGSI mengatakan, guru di SPK dinilai tidak memenuhi standar proses. “Dari 250 guru di SPK yang diakreditasi pada 2019, hampir semua mendapat nilai A. Dalam akreditasi sekolah, 44 persen sekolah SPK mendapat akreditasi A. Salah satu syarat akreditasi guru bersertifikat pendidik,” kata dia.
Wisnu mengatakan, standar proses terkait dengan kelembagaan, sedangkan tunjangan profesi terkait dengan profesionalisme guru. “Ini dua hal yang berbeda, kelembagaan dan profesi. Profesi guru diatur dalam UU Guru dan Dosen, kalau kelembagaan itu aturan di Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah. Apakah semua (sekolah SPK) tidak memenuhi standar proses?” kata Wisnu.
Secara terpisah, Wakil Sekretaris Jenderal PB PGRI Dudung Abdul Qodir mengatakan, UU Guru dan Dosen tidak menyebutkan kategorisasi guru, apakah itu guru PNS ataupun non PNS. Karena itu tidak ada alasan pembeda dalam pemberian tunjangan profesi guru.
Selain itu,kata dia, dalam logika hukum, peraturan di bawah undang-undang tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang ada di atasnya. Peraturan Sekjen Kemendikbud soal pembayaran tunjangan profesi guru tidak boleh bertentangan dengan UU Guru dan Dosen.