Peraturan Mahkamah Agung Membatasi Kerja Jurnalistik
Komite Keselamatan Jurnalis mendesak Mahkamah Agung mencabut ketentuan soal pengambilan foto, rekaman audio, dan rekaman audio visual harus seizin hakim atau ketua majelis hakim yang diatur dalam Perma No 5/2020.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan bisa berpotensi membatasi kerja jurnalistik. Ini terkait dengan Pasal 4 Ayat (6) yang mengatur pengambilan foto, rekaman audio, dan rekaman audio visual yang harus izin hakim atau ketua majelis hakim.
Hak wartawan untuk mendapatkan informasi dilindungi Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 4 Ayat (3) UU Pers menyebutkan, ”Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”
Meski peraturan MA tersebut dimaksudkan untuk menciptakan ketertiban dan kewibawan pengadilan, Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menemukan pelaksanaan peraturan MA tersebut telah membatasi kerja jurnalistik. Dalam persidangan kasus narkotika di Pengadilan Negeri Palembang, wartawan hanya diizinkan mengambil foto dan video selama 10 menit sebelum sidang.
Kami juga memahami bahwa untuk menyelenggarakan peradilan yang kredibel perlu pengawasan publik.
”Kami memahami niat pengadilan untuk menciptakan ketertiban dan kewibawaan pengadilan. Khususnya terkait dengan saksi kenapa dilarang direkam karena dikhawatirkan akan memengaruhi independensi saksi lainnya. Namun, apakah ini kemudian bisa membatasi (akses wartawan) ke semua proses persidangan,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers Ade Wahyudin di Jakarta, Kamis (7/1/2021). LBH Pers merupakan salah satu anggota KKJ.
Ade mengatakan, ancaman pidana melalui kualifikasi tindakan mengambil gambar dan merekam tanpa izin hakim sebagai penghinaan terhadap pengadilan akan menambah daftar panjang kasus kriminalisasi terhadap wartawan. Ancaman pidana ini juga berlebihan karena semestinya dapat dilakukan secara bertahap, mulai dari peringatan ringan, sedang, hingga berat.
”Kalaupun mau diatur, ranahnya seharusnya di kode etik kalau (peraturam MA) ini arahnya ke pidana. Ini artinya memperbolehkan kriminalisasi terhadap wartawan,” kata Ade.
Karena itu, KKJ mendesak MA segera mencabut ketentuan soal pengambilan foto, rekaman audio, dan rekaman audio visual harus izin hakim atau ketua majelis hakim dalam peraturan MA tersebut. Ditambah lagi substansi aturan pengambilan foto dan rekaman tersebut sama dengan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan pada 7 Februari 2020 yang telah dicabut MA.
Pengawasan publik
Dihubungi secara terpisah, Juru Bicara MA Andi Sansam Nganro mengatakan, Peraturan MA Nomor 5 Tahun 2020 dibuat dengan maksud untuk mengatur protokoler persidangan guna menciptakan suasana aman, baik bagi aparat peradilan yang menyelenggarakan persidangan maupun pihak-pihak yang berkepentingan di pengadilan. Selain itu, juga demi terwujudnya peradilan yang berwibawa.
”Ketentuan pengambilan foto yang harus izin hakim atau ketua majelis hakim bukan dibuat sebagai proteksi dan bukan pula sebagai benteng untuk tidak mau diawasi. Tolong jangan ditafsirkan ke arah situ. Sebab, kami juga memahami bahwa untuk menyelenggarakan peradilan yang kredibel perlu pengawasan publik,” kata Andi.
Izin dari hakim atau ketua majelis hakim tersebut, kata Andi, dimaksudkan supaya persidangan tertib, bukan untuk melarang peliputan. Dalam Pasal 217 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur mengenai tanggung jawab hakim ketua sidang untuk memelihara tata tertib di persidangan.
”Ketentuan seperti (Peraturan MA Nomor 5 Tahun 2020) ini bukan sesuatu yang baru. Bahkan, di luar negeri, seperti di Amerika, lebih ketat lagi. Jadi, tolong dipahami bahwa Peraturan MA Nomor 5 Tahun 2020 bukan untuk membatasi dan bukan pula untuk melarang media untuk meliput atau mengambil gambar,” katanya.
Ade mengatakan, sistem peradilan di Amerika Serikat sangat memungkinkan masyarakat, termasuk wartawan, mengakses semua informasi terkini persidangan melalui situs web resmi pengadilan. ”Di kita, berkas-berkas persidangan sulit diakses, harus menunggu lama (baru) diunggah di website, Belum lagi beberapa tahun belakangan ada sejumlah operasi tangkap tangan hakim, petugas pengadilan. Siapa lagi selain pers yang bisa mengontrol jalannya persidangan,” kata Ade.