Aspek Kesehatan Harus Jadi Prioritas Utama Kebijakan tentang Sekolah
Sejumlah orangtua siswa di Sumatera Barat setuju sekolah tatap muka di kelas kembali digelar meskipun di tengah pandemi Covid-19. Aspek kesehatan perlu menjadi prioritas utama kepala daerah dalam mengambil kebijakan.
PADANG, KOMPAS — Aspek kesehatan perlu menjadi prioritas utama kepala daerah dalam mengambil kebijakan terkait sekolah. Pemerintah daerah di Sumatera Barat diminta mempertimbangkan kondisi penularan Covid-19 di daerah setempat dalam membuka pembelajaran tatap muka.
”Aspek kesehatan harus diutamakan. Pendidikan memang sangat penting, tetapi dengan kondisi sekarang, ancaman gelombang kedua Covid-19 semakin tinggi, kepala daerah mesti memperhatikan kondisi penularan Covid-19 di daerah setempat,” kata Guru Besar Manajemen Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang, Sufyarma Marsidin, Selasa (29/12/2020), saat diminta pendapatnya tentang pembukaan sekolah tatap muka di Sumatera Barat.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tidak mengatakan sekolah harus dibuka pada 2021, tetapi penyelenggaraannya tergantung kondisi daerah masing-masing. Menurut Sufyarma, semestinya sekolah dibuka secara bertahap di daerah zona hijau (tidak ada kasus) penularan Covid-19. Protokol kesehatan juga mesti dilakukan secara ketat.
Sebelumnya, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, Senin (28/12/2020), mengatakan, semua daerah di Sumbar, yang terdiri atas 19 kabupaten/kota, berencana membuka sekolah tatap muka pada awal semester genap, Januari 2021. Pemerintah provinsi menyerahkan teknis pembukaan sekolah dan proses belajar mengajar kepada bupati/wali kota. Yang terpenting, kebijakan pembukaan sekolah mengacu kepada Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri terkait panduan pembelajaran tahun ajaran 2020/2021.
Pembukaan sekolah itu didukung para orangtua siswa di beberapa daerah di Sumatera Barat. Dari sembilan orangtua yang Kompas wawancarai, tujuh di antaranya di Padang, satu di Limapuluh Kota, dan satu di Tanah Datar semuanya setuju dengan rencana pemerintah daerah di Sumbar untuk menggelar kembali sekolah tatap muka pada Januari 2021. Mereka menilai pembelajaran tatap muka lebih efektif dan efisien dibandingkan belajar daring yang digelar sejak Maret 2020.
Baca juga : Sumbar Bersiap Buka Sekolah Tatap Muka
Lena (35), warga Kelurahan Lambung Bukit, Kecamatan Pauh, Padang, mengatakan, setuju sekolah tatap muka kembali digelar karena penularan Covid-19 di kelurahannya mulai berkurang. Selain itu, putri Lena, kelas II SD, sudah jenuh dengan sekolah daring via grup Whatsapp dan video konferensi.
”Anak bosan belajar di rumah, rindu bertemu teman-temannya. Anak umur segitu memang sedang asyik-asyiknya ke sekolah. Belajar di sekolah juga lebih terarah. Anak lebih patuh belajar dengan guru dibandingkan dengan saya,” kata Lena, yang sehari-hari bekerja sebagai penjaga toko pakaian di Pasar Raya Padang.
Ia juga tidak bisa setiap waktu mendampingi anaknya belajar karena bekerja sebagai pedagang. Selama ini, anak dititipkan pada adik Lena di rumah, yang juga punya anak usia sekolah. Namun, saat ujian tiba, Lena mau tidak mau harus mendampingi anaknya dan ini menjadi dilema karena dia harus memilih antara mendampingi anaknya atau bekerja di pasar.
Walaupun setuju dengan sekolah tatap muka, Lena memiliki kekhawatiran dengan risiko penularan Covid-19 pada anaknya. Oleh sebab itu, ia menyanggupi untuk mengantar jemput anaknya ke sekolah dan membekali makanan agar anaknya tidak jajan saat sekolah. Selain itu, Lena juga telah berpesan pada anaknya agar tidak bertukar-tukar pensil, botol minuman, dan lainnya dengan teman di kelas.
Agusmardi (48), warga Kelurahan Kubu Dalam Parak Karakah, Kecamatan Padang Timur, juga sangat setuju sekolah tatap muka kembali diadakan. Tiga anak Agusmardi yang bersekolah, yaitu kelas XI SMA, kelas VI SD, dan kelas II SD, mengeluhkan beratnya beban belajar saat sekolah daring via grup Whatsapp.
”Tugas dan PR mereka banyak, beban belajarnya terlalu berat. Tidak ada relaksasi seperti proses pembelajaran di kelas. Kalau sekolah tatap muka, anak kan tidak terlalu diforsir,” kata Agusmardi, yang bekerja sebagai wiraswasta.
Menurut Agusmardi, selain beban belajar yang berat, ia juga khawatir belajar daring dalam jangka panjang dapat merusak mata anak. Sebab, setiap hari anak harus menatap layar ponsel atau laptop untuk membuat tugas.
Sementara itu, Epi (53), warga Nagari Taeh Baruah, Kecamatan Payakumbuh, Limapuluh Kota, mengatakan, dengan sekolah tatap muka, pelajaran lebih mudah dipahami putrinya yang sekarang duduk di bangku kelas I SMA. Belajar daring dengan penugasan via grup Whatsapp susah dimengerti anaknya.
”Anak susah mengerti saat belajar daring. Diterangkan oleh guru di kelas masih susah dimengerti, apalagi dengan belajar daring di ponsel,” kata Epi, yang sehari-hari bekerja sebagai petani. Putrinya juga mengeluh sulit mengirimkan tugas karena sinyal internet susah.
Selain dinilai tidak efektif, Epi mengatakan, sekolah daring juga banyak mengeluarkan biaya, sedangkan keluarganya dari kalangan masyarakat kurang mampu. Setiap hari, anak bungsunya itu membeli paket internet sekitar 1 gigabyte seharga Rp 9.000. Putrinya memang mendapatkan paket internet bantuan pemerintah, tetapi tidak dapat dipakai karena sinyal internet provider tersebut tidak tersedia di sekitar rumahnya.
Epi tidak begitu khawatir dengan risiko penularan Covid-19 selama anaknya berangkat dan belajar di sekolah. Sebab, siswa yang bersekolah di SMA yang sama dengan anaknya, sekitar 2,5 kilometer dari rumah Epi, bukanlah warga dari daerah lain, tetapi warga Kecamatan Payakumbuh dan kecamatan sekitarnya. ”Mal dan obyek wisata saja dibuka, orang jauh mana yang tidak akan datang. Sementara, sekolah diundur juga pembukaannya,” kata Epi.
Putrinya memang mendapatkan paket internet bantuan pemerintah tetapi tidak dapat dipakai karena sinyal internet provider tersebut tidak tersedia di sekitar rumahnya.
Fachri (64), warga Nagari Sungayang, Kecamatan Sungayang, Tanah Datar, mengatakan, dengan belajar tatap muka, putrinya yang sekarang kelas III SMP menjadi lebih bergairah untuk belajar. Saat belajar daring, anaknya kadang sulit memahami materi dan kesempatan untuk meminta penjelasan dari guru juga minim, misalnya saat belajar Matematika.
Adapun terkait risiko penularan Covid-19, Fachri tidak begitu khawatir karena sekolah anaknya tidak sampai 1 kilometer dari rumah. Fachri juga berpesan pada anaknya agar terus menaati protokol kesehatan.
”Saya pesankan agar anak selalu pakai masker dan menjaga jarang. Yang penting, masker jangan pernah lepas,” kata Fachri, yang sehari-hari bekerja sebagai petani.
Baca juga : Izin Orangtua Jadi Kunci Pembelajaran Tatap Muka
Monoton
Menurut Sufyarma, kejenuhan dan kelebihan beban belajar yang dialami sebagian siswa dipicu oleh kegiatan pembelajaran yang monoton dan pemberian tugas yang berlebihan. Semestinya, guru mengembangkan strategi belajar yang menyenangkan dan tidak berorientasi pada target yang membuat siswa harus mengerjakan banyak tugas.
”Sekarang yang penting terlebih dahulu, siswa senang untuk belajar. Siswa mau dan menikmati proses belajar. Siswa jangan diberi kabar penakut. PR jangan terlalu banyak. Kadang siswa diberikan banyak PR, tetapi tidak ada umpan balik,” ujar Sufyarma, yang juga menjabat sebagai Ketua Badan Akreditasi Sekolah dan Madrasah Provinsi Sumbar. Di samping itu, orangtua juga mesti ikut memotivasi anaknya agar mau belajar.
PR jangan terlalu banyak. Kadang siswa diberikan banyak PR, tetapi tidak ada umpan balik. (Sufyarma Marsidin)
Ditambahkan Sufyarma, guru bisa pula mencoba penerapan belajar kelompok pada siswa secara daring. Siswa bisa membuat grup Whatsapp berisi empat hingga lima orang. Dengan adanya kelompok ini, siswa bisa berdiskusi dengan temannya.
”Yang perlu dibangun adalah emosi siswa untuk belajar. Kalau itu sudah terbangun, siswa akan terbiasa belajar secara mandiri,” ujarnya.
Sufyarma melanjutkan, pendapat bahwa sekolah tidak tatap muka memicu kehilangan generasi (lost of generation) tidak tepat. Namun, kondisi saat ini memang menyebabkan pembelajaran tidak seintensif dulu saat sekolah tatap muka di kelas. Agar proses belajar tetap berkualitas, upaya-upaya tertentu harus dilakukan guru dan orangtua.
Menurut Irwan, awal sekolah secara umum dimulai pada 4 Januari 2020. Walaupun demikian, kepala daerah diberikan kewenangan mengatur kapan sekolah dimulai dan bagaimana teknisnya, apakah dibuka bertahap atau sekaligus. Selain SD dan SMP yang dikelola oleh pemda, pembukaan SMA dan SMK yang dikelola pemprov dan madrasah yang dikelola Kementerian Agama juga berdasarkan rekomendasi pemda setempat.
Irwan menjelaskan, sekolah yang membuka pembelajaran tatap muka mesti memenuhi persyaratan tertentu. Sekolah harus menyediakan, antara lain, sarana prasarana cuci tangan, masker medis, dan pistol termometer. Jumlah siswa satu lokal maksimal 50 persen dari kapasitas atau maksimal 18 orang per lokal dengan jarak 1,5 meter antarsiswa dan durasi belajar 3,5 jam.
Selain itu, kata Irwan, guru dan tenaga pendidikan juga mesti dites usap PCR atau tes cepat antigen. Penyelenggaraannya menjadi tanggung jawab pengelola, misalnya SD dan SMP oleh pemda serta SMA dan SMK oleh pemprov. Kemudian, pembelajaran tatap muka mesti mendapatkan izin dari orangtua siswa dan persetujuan dari komite sekolah.
Berdasarkan data Satgas Percepatan Penangan Covid-19 Sumbar, Selasa (29/12/2020), tidak ada kabupaten/kota yang berstatus zona merah dan zona hijau. Sepuluh kabupaten/kota, termasuk Limapuluh Kota dan Tanah Datar, berstatus zona oranye, sedangkan sembilan kabupaten/kota, termasuk Padang, berstatus zona kuning. Beberapa hari terakhir, jumlah tambahan kasus positif Covid-19 di Sumbar belasan orang hingga seratusan orang per hari.
Hingga Selasa sore, total kasus positif Covid-19 di Sumbar 23.203 orang (sejak 26 Maret 2020). Pada Selasa, kasus positif Covid-19 di Sumbar bertambah 83 orang dari 2.476 sampel, terbanyak dari Padang dengan tambahan kasus 35 orang.
Dari total kasus 23.203 orang, 521 orang meninggal, 21.319 orang sembuh, dan sisanya sedang dirawat atau diisolasi. Sejauh ini jumlah orang diperiksa 298.415 orang dengan rasio positif (positivity rate) Covid-19 sebesar 7,78 persen atau melebihi rekomendasi WHO maksimal sebesar 5 persen.
Baca juga : Berharap pada Vaksin Covid-19