Si sulung, perempuan, yang waktu itu (pertengahan 1990-an) baru akan masuk sekolah dasar, girang betul dengan permainan kata yang saya reka untuk dia. Keasyikannya ini sengaja saya bangun untuk menumbuhkan kegairahan dia belajar, dan bersekolah beberapa bulan lagi.
Yang saya minta hanya dia menyebutkan apa saja yang dia ingat apabila saya mengatakan satu kata. Contoh, kamar mandi. Seperti biasanya, sambil setengah berteriak dengan mata berbinar, dia menyebut satu demi satu benda yang menurutnya berhubungan dengan kata itu, seperti air, gayung, sabun, odol, dan handuk. Lalu waktu saya mengatakan rumah, matanya jelalatan menyapu apa-apa di sekeliling sembari menyebut: tembok, pintu, kunci, lukisan, jendela, lampu, ....
Agak rutin kami bermain itu, dengan semakin banyak kata yang menurut timbangan saya cukup dekat dengan anak seumuran dia. Biasanya sore hari sepulang saya kerja, sehabis kami mandi, sambil dia makan disuapi ibunya. Respons si sulung ini tidak selalu 100 persen klop, tapi boleh dibilang rata-rata meleset cuma satu atau dua kata. Dan itu pun jarang terjadi. Pernah ketika saya menyebut kamar tidur, tiba-tiba terselip ember dalam rentetan sahutannya. Saya kaget bukan main, ”Ember?” Ia menukas, ”Iya. Waktu hujan kemarin ’kan ada ember di samping ranjang.”
Yang pokok dalam permainan sederhana itu adalah membuat penggolongan berdasarkan satu kesamaan tertentu, mengklasifikasi. Itulah aktivitas tiada henti manusia memandang dan menata dunia yang dianggap porak-parik. Dengan cara seperti itu jugalah lebih kurang kita memilih-milih kata dalam urusan komunikasi. Laku memilih ini selalunya didahului perbuatan menggolong-golongkan berdasarkan satu kesamaan tertentu.
Satu kesamaan tertentu. Dari sinilah kita mendapati konsep sinonimi, sehimpunan gugus kata yang memiliki kesamaan arti.
Kita panggil Nikita yang beberapa waktu lalu sanggup menyedot perhatian publik (”Belantara Makna”, Kompas, 8 Desember 2020). Pertanyaan yang masih menggantung: mengapa bentuk mengirup atau mengisap perhatian cenderung tak berterima, padahal hirup, isap, dan sedot memiliki kesamaan arti? Ketiganya punya satu aspek arti ”menarik sesuatu dari luar ke arah diri subyek”.
Boleh jadi ahli bahasa akan mengatakan bahwa tiap kata unik dan menunjukkan perilaku berbeda-beda. Tapi, kita bisa bilang penutur, melalui sebuah konvensi, punya kuasa penuh membentuk bahasa. Keunikan dan perilaku kata bukanlah sifat asali atau kodrat kata, melainkan selalu berada di bawah kontrol penutur.
Maka, jangan terkejut apabila mendapati amat banyak bentuk yang tak selalu sesuai dengan cakrawala harapan anda. Gadis bersinonim dengan perawan. Tapi, janganlah anda sampai mempertontonkan kenaifan karena memakai bentuk tak lazim menggadisi.
Selalu ada kejutan dalam kita berbahasa—seperti ember yang seperti hadir begitu saja di dalam kamar tidur—di tengah ketekunan dan keuletan para linguis merumuskan kaidah bahasa. Kejutan yang memberi isyarat bahwa bahasa tidak bergerak dalam sebuah garis lurus.
EKO ENDARMOKO
Penyusun Tesamoko, Tesaurus Bahasa Indonesia