Kendati sudah berlangsung hingga 90 tahun, peringatan Hari Ibu masih sering dipandang sama seperti Mother’s Day yang dirayakan di dunia. Hari Ibu lahir dari gerakan perempuan sejak Kongres Perempuan I tahun 1928.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peringatan Hari Ibu menjadi momentum menghapus budaya patriarki, memperkuat fondasi kesetaraan jender, serta meneguhkan perjuangan untuk menghapus perkawinan anak, kawin paksa, perdagangan perempuan, poligami, dan berbagai kekerasan lain. Karena itu, Hari Ibu 2020 seharusnya meneguhkan komitmen gerakan perempuan yang telah disuarakan sejak Kongres Perempuan I pada 22 Desember 1928.
Kemampuan dan resiliensi atau ketahanan yang ditunjukkan ibu-ibu di sejumlah daerah saat menghadapi pandemi Covid-19 diharapkan jadi kekuatan bagi bangsa Indonesia untuk melewati masa krisis. Selain menjadi penyangga keluarga, sejumlah ibu/perempuan selama pandemi Covid-19 juga menjalankan peran berlapis menjaga kehidupan rumah tangga, menjadi pendidik, sekaligus menopang ekonomi keluarga.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menegaskan, Hari Ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember bukanlah Monther’s Day. Sebab, Hari Ibu sesungguhnya untuk mengenang dan menghargai momentum Kongres Perempuan I di Yogyakarta pada 22 Desember 1928, ketika kaum perempuan berjuang dalam merebut dan mengisi kemerdekaan.
”Sejarah telah membuktikan, kemerdekaan yang kita raih tidak terlepas dari perjuangan dan ketangguhan perempuan. Makna dari peringatan Hari Ibu yang saat ini memasuki tahun ke-92 adalah memberi dukungan kepada perempuan di berbagai jalan, dengan perannya masing-masing, sekecil apa pun itu,” kata Darmawati pada Senin (21/12/2020).
Adapun peringatan Hari Ibu Ke-92 tahun 2020 yang puncaknya berlangsung hari ini, Selasa (22/12/2020), mengusung tema utama ”Perempuan Berdaya, Indonesia Maju”.
Sejarah telah membuktikan, kemerdekaan yang kita raih tidak terlepas dari perjuangan dan ketangguhan perempuan.
Selama pandemi, menurut Darmawati, selain menjadi agen kesehatan keluarga yang memastikan keluarganya tetap sehat, perempuan/ibu juga menjadi manajer rumah tangga yang memastikan keluarganya tetap bisa terpenuhi kebutuhannya baik fisik maupun mental, pejuang ekonomi yang turut membantu ekonomi keluarga, pendamping anak dalam situasi belajar berbeda, dan mayoritas tenaga kesehatan yang berada di garda terdepan.
”Sebagai ibu bangsa, sosok perempuan di mana pun dirinya berada, apa pun profesi dan latar belakangnya, dan dari segala usia, merupakan pelita penerang yang menjadi pemantik akan harapan bagi bangsa dan negara yang lebih baik di masa depan,” katanya.
Hingga kini, Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IGD) di Indonesia terus meningkat meskipun penambahannya tidak besar. Pada tahun 2019, IPG mencapai angka 91,07, sedangkan sebelumnya tahun 2018 di angka 90,99. Adapun IDG 2019 berada pada level 75,24 atau meningkat dari tahun 2018 yang berada pada level 72,10.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai, perjuangan dan gerakan perempuan telah dimulai jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ada, yakni sejak tahun 1928 pada Kongres Perempuan I.
”Itu menggambarkan, bahkan sebelum Indonesia lahir, perempuan telah memiliki keinginan dan peranan yang luar biasa. Mereka menyadari kehidupan berbangsa dan bernegara di luar masalah yang tiap hari mereka hadapi, di dalam rumah, sebagai anggota keluarga, istri. Banyak perempuan di Indonesia yang kepedulian, kepekaannya, di luar dirinya sendiri, keluarganya, sudah teruji,” kata Sri Mulyani saat berdialog dengan kaum muda perempuan pada acara Girls Leadership Class (GLC) yang digelar Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Minggu (20/12/2020).
Perempuan, dalam perjalanan hidupnya, perlu melihat contoh dari orang lain yang pernah memiliki pengalaman. Karena itu, setiap Hari Ibu, Sri Mulyani menggelar kegiatan di Kemenkeu, yakni mendengarkan kisah dan pengalaman para perempuan.
Indonesia cenderung meletakkan perempuan, norma, nilai, bahkan interpretasi agama, sering mendudukkan posisi perempuan tidak sama haknya. Karena itu, Sri Mulyani menyeru kepada semua perempuan untuk tidak mudah menyerah karena halangan perempuan lebih banyak. ”Jadi perempuan itu menyerah kayaknya dianggap wajar. Jangan menganggap wajar. Jangan cepat menyerah, untuk apa pun yang akan dilakukan. Itu yang disebut resiliensi, daya juang, determinasi, dan tekad,” katanya.
Bersuara
Direktur Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan (Kapal Perempuan) Misiyah menegaskan, Hari Ibu menjadi momentum perjuangan tangguh untuk menyuarakan dan mengambil langkah konkret menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
”Kita sudah lepas dari penjajahan kolonial. Namun, hingga saat ini, kita masih berada dalam penjajahan patriarki yang melapisi semua lini kehidupan perempuan di ranah privat ataupun publik. Perempuan dijajah kelompok yang melakukan politisasi identitas, menguatkan sekat-sekat identitas. Dibutuhkan ketangguhan dalam mengurai lapis-lapis ketimpangan jender untuk memutus mata rantai kedua akar masalah tersebut,” papar Misiyah.
Oleh karena itu, sangat penting untuk terus memperkuat fondasi kesetaraan jender dengan memberikan perhatian khusus terhadap upaya membangun kesadaran kritis perempuan.
Sebelum pandemi, Kapal Perempuan melalui sekolah perempuan (pendidikan alternatif bagi perempuan akar rumput) di sejumlah wilayah Indonesia melakukan penguatan kapasitas terhadap perempuan-perempuan akar rumput. Transfer pengetahuan tentang kesetaraan jender dan kesehatan reproduksi serta kampanye pencegahan perkawinan telah dilakukan.
Bahkan, selama pandemi Covid-19 berlangsung, sosok ibu dan perempuan di tingkat komunitas perempuan di akar rumput menunjukkan kemampuan dalam menghadapi situasi krisis dengan berbagai upaya dan kegiatan. Kegiatan yang mereka lakukan mulai dari penguatan pangan lokal hingga solidaritas menghadapi berbagai persoalan yang muncul saat pandemi.
”Penguatan kapasitas akan mendorong perempuan untuk menyadari masalah-masalah yang dihadapinya. Menyadari, ketidakadilan jender yang dialami selama ini bukan nasib perempuan yang layak diterima dengan pasrah. Ketidakadilan ini disebabkan adanya pola relasi kuasa tidak setara antara laki-laki dan perempuan dan relasi kuasa berbasis identitas lainnya,” kata Misiyah.
Peringatan Hari Ibu Ke-92 juga diharapkan menjadi momentum bagi negara untuk hadir memberikan perlindungan terhadap perempuan dan menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Negara jangan sampai abai karena situasi pandemi mengakibatkan ibu/perempuan lebih sengsara.
Solidaritas perempuan
Anis Hidayah, pendiri Migrant Care, menuturkan, peran perempuan yang sangat nyata pada masa krisis pandemi Covid-19 semakin menegaskan bahwa perempuan memiliki peran strategis, di samping peran ganda yang selama ini dijalankan perempuan, baik di wilayah publik maupun domestik.
Ia mencontohkan, solidaritas masyarakat yang melampaui peran negara di banyak tempat di bawah pimpinan para perempuan aktivis, seperti di Papua dan NTT. Mereka, antara lain, membuka dapur umum, mengumpulkan donasi, kemudian mendukung keluarga yang terdampak dan terluar virus korona.
”Peran luar biasa ini dilakukan para ibu dan perempuan di lini keluarga, masyarakat, dan bangsa,” ujar Anis yang juga mencontohkan peran strategis perempuan pemimpin, seperti Menteri Luar Negeri Retno R Marsudi, yang mengevakuasi warga negara Indonesia, termasuk pekerja migran.
Selain itu, peran yang ditunjukkan para perempuan aktivis, seperti di Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dalam pencegahan kekerasan dalam rumah tangga, meningkat 13-19 persen selama pandemi.
Terkait tantangan besar perempuan saat ini, menurut Anis, meski ada beberapa kemajuan yang dicapai, masih ada sejumlah tantangan. Dalam konteks kepemimpinan perempuan, misalnya, sampai saat ini perempuan menghadapi hambatan berlapis ketika akan mengambil peran menjadi pengambil kebijakan di ranah publik.
”Dari Pemilu 2019 dan Pilkada 2020 ini, kita bisa melihat, untuk menjadi seorang perempuan pengambil kebijakan baik di legislatif maupun eksekutif itu perlu perjuangan berlapis dibandingkan laki-laki karena ruang terbatas dan sistem politik masih patriarki,” kata Anis yang sebelum dan saat pandemi terus mendampingi para perempuan pekerja migran agar mampu bertahan pada masa krisis.