Kampus Merdeka Memberi Kesempatan Riset Kolaboratif Makin Luas
Satu dari empat kebijakan Kampus Merdeka adalah hak belajar selama tiga semester di luar program studi. Mahasiswa bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk melakukan penelitian kolaboratif berangkat dari masalah masyarakat.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah optimis kebijakan Merdeka Belajar episode Kampus Merdeka akan dapat menjadi ruang seluas-luasnya lahirnya penelitian baru. Riset yang dilakukan pun telah disediakan skema pendanaannya.
Hal itu disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim saat berdialog dengan Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Adi Utarini, Senin (21/12/2020), melalui Instagram Live. Nadiem didampingi oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdikbud Nizam.
"Kepada para mahasiswa, dunia kamu adalah kuliah (ruang belajar) sesungguhnya bagi kamu. Berbagai masalah dialami masyarakat punya dampak sosial, ekonomi, dan budaya yang besar, seperti demam berdarah yang menjadi penelitian Utarini. Penelitian seperti itu bisa dilakukan lintas bidang keilmuan dan Kampus Merdeka memberikan kesempatan," ujar Nadiem.
Utarini masuk daftar 10 ilmuwan berpengaruh di dunia menurut jurnal bergengsi, Nature. Dia dan tim menemukan cara ampuh memberantas penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Dalam penelitian, dia dan tim menyebarkan nyamuk Aedes Aegypti yang sudah diberikan bakteri alamiah atau wolbachia di wilayah Kota Yogyakarta.
Uji coba penelitian dilakukan sejak 2011. Di wilayah yang sudah disebar nyamuk Aedes Aegypti dengan wolbachia, angka kejadian DBD turun 77 persen dibanding wilayah yang tidak diberikan intervensi.
Menurut Nadiem, pihaknya telah mengembangkan tiga skema pendanaan, yakni insentif khusus bagi perguruan tinggi negeri (PTN), dana penyeimbang kontribusi mitra (matching fund), dan dana program kompetisi Kampus Merdeka (competitive fund). Kemendikbud akan menaikkan anggaran kepada PTN dan perguruan tinggi swasta (PTS) 70 persen, dari Rp 2,90 triliun pada 2020 menjadi Rp 4,95 triliun pada 2021. Anggaran itu dialokasikan untuk skema matching fund (Rp 250 miliar), competitive fund (Rp 500 miliar), serta insentif khusus PTN, tambahan bantuan operasional PTN, dan bantuan pendanaan PTN badan hukum (Rp 1,3 triliun).
Skema competitive fund dan matching fund, kata Nadiem, amat memungkinkan kampus bermitra dengan perguruan tinggi dan organisasi kelas dunia.
Untuk matching fund, khususnya, Kemendikbud sudah mengatur rasio pendanaan kontribusi mitra dan pemerintah. Topik umum memiliki ketentuan rasio pendanaan 1:1, sedangkan topik khusus mempunyai rasio maksimal 1:3. Topik khusus yang dimaksud adalah isu sosial dan strategis nasional.
Dalam dialog interaktif itu, Nadiem juga meminta masukan kepada Utarini agar semakin banyak peneliti, khususnya, anak muda terlibat riset berdampak bagi masyarakat.
Berkaca dari pengalamannya, Utarini menceritakan bahwa anak muda perlu mentoring penelitian. Jika dimungkinkan, sistem mentoring sudah tercipta sejak anak duduk di bangku sekolah menengah atas.
Titik balik saya jadi peneliti adalah saya berhasil menemukan mentor yang hebat. Mentoring ini bukan sebatas individu, melainkan juga tim riset dan organisasi satuan pendidikan.(Prof Adi Utarini)
"Titik balik saya jadi peneliti adalah saya berhasil menemukan mentor yang hebat. Mentoring ini bukan sebatas individu, melainkan juga tim riset dan organisasi satuan pendidikan," kata dia.
Utarini sependapat dengan Nadiem bahwa masih banyak persoalan masyarakat yang menarik diteliti. Di bidang kesehatan, dia mengakui penelitian tentang demam berdarah tergolong cenderung kalah populer. Pendanaan untuk topik penelitian itu di tingkat internasional masih minim.
Dimuatnya penelitian itu dalam jurnal ilmiah Nature, lanjut Utarini, menjadi penghargaan bagi seluruh tim yang tergabung dalam World Mosquito Program Yogyakarta.
Pengalaman bekerja dalam tim perlu dijadikan pelajaran bagi mahasiswa yang tertarik mengambil peluang riset. Keterampilan mau berkolaborasi ini harus dimiliki oleh mahasiswa.
"Sistem pendidikan Indonesia semestinya memperkuat individu bisa bekerja dalam tim dan berani menyampaikan pandangan. Soft skill ini perlu diberikan porsi lebih," kata dia.
Nadiem menambahkan, dirinya juga sejak dulu frustasi mengamati anak muda yang belum sadar bahwa soft skill adalah kompetensi penting di era industri 4.0. Satuan pendidikan kebanyakan tidak mengajarkan keterampilan bekerja sama dalam tim melalui penugasan berbasis proyek.
"Soft skill bukan keterampilan yang bisa diajarkan melalui teori. Maka, saya mendorong melalui Kampus Merdeka khususnya, mata kuliah - mata kuliah untuk punya project based learning," tutur dia.
Nadiem menambahkan, dirinya juga ingin mendorong kesetaraan jender, bukan hanya dalam urusan riset ilmiah seperti yang diharapkan oleh Utarini. Di kantor Kemdikbud sekarang sedang diupayakan agar porsi pekerja perempuan dan laki-laki imbang.