Hasil Asesmen Nasional Turut Menentukan Akreditasi
Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah akan menggunakan hasil asesmen nasional sebagai data indikator pelaksanan akreditasi. Saat bersamaan, kebijakan asesmen nasional dinilai belum jelas tujuannya oleh guru.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mulai tahun 2022, asesmen nasional akan diikutsertakan sebagai komponen data dalam pelaksanaan sistem akreditasi. Keputusan ini melengkapi instrumen akreditasi satuan pendidikan yang sudah mulai menitikberatkan penilaian mutu lulusan, proses pembelajaran, guru, dan manajemen sekolah/madrasah sejak 2020.
Hal itu disampaikan Ketua Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) Toni Toharudin dalam konferensi pers, Selasa (22/12/2020), di Jakarta.
Instrumen Akreditasi Satuan Pendidikan (IASP) yang menitikberatkan komponen penilaian mutu lulusan, proses pembelajaran, guru, dan manajemen dikeluarkan pada 2020 dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1005/P/2020 tentang Kriteria dan Perangkat Akreditasi Pendidikan Dasar dan Menengah. Prinsip sistem akreditasi terbaru itu mencakup beberapa hal, seperti setelah berstatus terakreditasi, satuan pendidikan wajib melaporkan indikator-indikator kinerja setiap tahun ke dashboard Sistem Informasi Satuan Terakreditasi. Lalu, proses monitoring dilakukan secara otomatis atau machine generated dan tidak melibatkan asesor guna mencegah konflik kepentingan.
Seperti diketahui, asesmen nasional (AN) berisi tiga komponen, yakni asesmen kompetensi minimum, survei karakter, dan survei lingkungan belajar. Asesmen kompetensi minimum berisi penilaian siswa terkait literasi dan numerasi. Survei karakter yang dirancang untuk mengukur capaian peserta didik dari hasil belajar sosial-emosional berupa pilar karakter untuk mencetak Profil Pelajar Pancasila. Survei lingkungan belajar bertujuan mengevaluasi dan pemetaan aspek pendukung kualitas pembelajaran di lingkungan sekolah.
”Kami tidak terlibat apa pun dalam pelaksanaan asesmen nasional (AN). Kami memanfaatkan data hasil AN untuk data indikator-indikator kinerja setiap tahun ke dashboard Sistem Informasi Satuan Terakreditasi. Selain AN, dashboard yang kami kembangkan juga mengumpulkan data dari Data Pokok Pendidikan (Dapodik) Kemdikbud, EMIS, dan Simpatika Kementerian Agama,” ujar Toni.
Dia menerangkan, status akreditasi bisa diperpanjang secara otomatis tanpa melalui visitasi ulang jika data yang ada di dashboard Sistem Informasi Satuan Akreditasi tidak menunjukkan penurunan. Akreditasi ulang dapat dilaksanakan paling cepat setelah terbitnya sertifikat akreditasi.
Apabila data yang terpampang di dashboard Sistem Informasi Satuan Akreditasi memberikan sinyal penurunan kualitas, BAN-S/M akan melakukan kunjungan manual ke sekolah/madrasah bersangkutan.
Toni memastikan, proses seperti itu sudah berjalan tahun 2020 dan akan dilanjutkan pada tahun-tahun mendatang. Hanya saja, pelibatan data hasil AN baru efektif berlaku mulai 2022.
”Kebijakan yang kami putuskan ini berlaku untuk semua sekolah/madrasah di Indonesia. Untuk sekolah/madrasah di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), kami baru memikirkan perlunya kajian instrumen akreditasi khusus. Selama belum terbentuk, pada tahun 2021, pelaksanaan akreditasi di daerah 3T mengikuti instrumen yang ada dengan penyesuaian tanpa mengurangi substansi,” ujarnya.
Sejalan dengan perubahan yang dilakukan, anggota BAN-S/M Itje Khodijah mengatakan, kapasitas asesor diperkuat. Kualitas serta kompetensi mereka harus sejalan dengan paradigma akreditasi yang berbasis kinerja. Sebanyak 10.600 asesor yang mengikuti uji kompetensi tahun ini hanya 30 persen di antaranya yang lolos.
Anggota BAN-S/M, Arismunandar, mengemukakan, selama masa pandemi Covid-19, pelaksanaan akreditasi menggunakan instrumen terbaru telah dijalankan. Asesor yang ditugaskan kunjungan ke satuan pendidikan memakai media daring. Cara ini terkendala hambatan kualitas jaringan telekomunikasi dan keterbatasan perangkat gawai pihak sekolah/madrasah yang dituju.
Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru Satriwan Salim, saat dihubungi terpisah, memandang pentingnya memperjelas fungsi AN terlebih dulu sebelum melangkah membicarakan lebih jauh elaborasinya untuk mendukung pelaksanaan akreditasi. Hingga sekarang pun, naskah akademik dan kebijakan hukum yang mendasari AN belum kunjung keluar.
Menurut dia, pemerintah berkali-kali menyebut AN bukan untuk mengevaluasi siswa, bahkan pelaksanannya pada 2021 menggunakan sampling. Pelaksana AN adalah Balitbang dan Perbukuan Kemendikbud.
Sementara mengacu pada Pasal 57 Ayat (1) Undang-Undang (UU) No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan. Lalu, pada Pasal 58 Ayat (2) disebutkan evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar pendidikan nasional. Adapun pada Pasal 60 Ayat (1) dijelaskan bahwa akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
”Kami rasa, kalau AN dipakai sebagai suplemen ataupun \'catatan tambahan kualitatif\' di data indikator kinerja dalam dashboard Sistem Informasi Satuan Akreditasi, itu memungkinkan. Selain itu, BAN-S/M bisa menagih kepada pemerintah bentuk evaluasi nasional sesuai amanat UU No 20/2003 setelah ujian nasional dihapus,” katanya.
Lebih jauh, lanjut Satriwan, pihaknya mengapresiasi pergeseran paradigma akreditasi dari sebatas menilai administrasi menjadi berbasis kinerja. Hanya saja, masukan dia adalah tindak lanjut setelah status akreditasi diperoleh sekolah/madrasah tetap dikawal. Kalaupun status akreditasi suatu satuan pendidikan tidak berubah dalam kurun waktu tertentu, apalagi wujudnya B atau C, asesor perlu terjun menindaklanjuti.