Panggilan untuk Mencari Duduk Perkara…
Jakob Oetama: Orang membaca surat kabar untuk mencari informasi, yakni informasi yang cukup lengkap, sehingga jelas duduknya perkara dan karena itu memberikan bahan informasi yang berarti,
Bagaimanapun juga ini Tanah Airku. Kita harus mencari jalan keluar. Marilah kita cari titik-titik terang. Bagaimana kelamnya pun awan itu, mesti ada ”a silver lining”, mesti ada matahari di baliknya. (PK Ojong, Kompasiana, 28 Desember 1967).
Dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Yang Diharapkan Publik (Yayasan Pantau, 2006), guru jurnalistik Bill Kovach dan Tom Rosentiel mengingatkan elemen jurnalistik yang seharusnya dipatuhi oleh seorang wartawan. Elemen itu dalam perkembangannya bertambah menjadi sepuluh, dengan masuknya jurnalisme warga. Akan tetapi, hal utama yang tak bisa dilupakan wartawan adalah kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran.
Selain itu, Bill dan Tom menyebutkan pula, loyalitas pertama jurnalisme itu pada warga dan wartawan seharusnya berdisiplin dalam memverifikasi data dan informasi yang diperolehnya. Tidak boleh ditinggalkan pula, karena bertanggung jawab kepada publik, wartawan harus menjaga jarak yang sama terhadap narasumbernya dan menjadi pemantau yang independen terhadap kekuasaan.
Hal elementer dalam jurnalisme yang dianut banyak wartawan di seluruh dunia itu sebenarnya tersedia pula di Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) tahun 2006, yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), bersama organisasi kewartawanan lain dan Dewan Pers. Pasal 1 KEWI menegaskan, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik (Pasal 2).
Selain itu, pada Pasal 3 dan 4 ditegaskan, wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Dan, wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Pegangan bagi wartawan dalam bekerja itu memang sudah ada dan mudah disebutkan. Namun, dalam praktiknya tidak mudah. Misalnya, dalam benturan antara jajaran kepolisian dan laskar Front Pembela Islam (FPI) di Km 50 Jalan Tol Jakarta-Cikampek, Jawa Barat, Senin (7/12/2020), juga membuat wartawan, termasuk media massa, di negeri ini tak mudah dalam bersikap. Kematian enam anggota laskar FPI, tertembak oleh polisi, mengusik rasa keadilan. Di sisi lain, kepolisian harus menegakkan hukum dan anggotanya pun berhak membela diri jika diserang oleh siapa pun.
Peraturan Kepala Polri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri menegaskan, anggota Polri berkewajiban untuk menghormati, melindungi, serta menegakkan HAM dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Hak untuk hidup dan mendapatkan perlakuan yang adil dalam menghadapi kasus hukum dijamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Namun, tugas dan kewenangan Polri pun dijamin konstitusi. Peraturan Kapolri No 8/2009 juga memberikan kewenangan kepada anggota Polri untuk menggunakan kekerasan dalam menjalankan tugasnya, termasuk menggunakan senjata api. Senjata api itu hanya boleh digunakan untuk menghadapi keadaan luar biasa, membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat, membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat, atau mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang.
Baca: Kapolda Metro Jaya Minta Rizieq Kooperatif
Sebagian wartawan pun gamang. Media massa juga terkesan terbelah menyikapi kejadian di jalan tol itu. Oleh karena itu, Dewan Kehormatan PWI Pusat, Selasa (8/12/2020) sore, bersidang dan merumuskan pentingnya wartawan, dan media massa di negeri ini, mendorong keterbukaan dalam berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat. Hal ini sejalan dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang berbunyi, ”Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut: a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia (HAM), serta menghormat kebinekaan; c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.”
Menurut Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat Ilham Bintang, yang memimpin pertemuan itu, wartawan perlu melakukan penelusuran dan investigasi untuk mengungkap kematian laskar FPI dalam insiden di Km 50 Jalan Tol Jakarta-Cikampek, Senin (7/12/2020) dini hari, yang kini menjadi sorotan media internasional pula. Hal itu menjadi keputusan rapat dalam jaringan (daring) Dewan Kehormatan PWI Pusat, Selasa (8/12/2020) petang. Rapat dihadiri pula sekretaris Sasongko Tedjo dan empat dari enam anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat.
Ilham Bintang menegaskan, Dewan Kehormatan PWI Pusat perlu membuat pernyataan tersebut untuk mengurangi keraguan wartawan dalam mengungkap kebenaran, terkait kasus bentrokan antara aparat Polri dan laskar FPI. Dewan Kehormatan PWI Pusat mendorong wartawan Indonesia untuk dapat mewujudkan keterbukaan informasi sehingga duduk perkara kasus itu pun terungkap. ”Pernyataan ini perlu untuk mengurangi keraguan wartawan dan media massa dalam melakukan investigasi terhadap peristiwa di Jalan Tol Cikampek itu,” ujar Ilham.
Hal ini senada dengan pesan Penasihat PWI Pusat Jakob Oetama (1931-2020) dalam buku Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat yang Tidak Tulus (Penerbit Buku Kompas, 2004), yaitu ”Orang membaca surat kabar untuk mencari informasi, yakni informasi yang cukup lengkap, sehingga jelas duduknya perkara dan karena itu memberikan bahan informasi yang berarti.” Di era saat ini, media massa tak hanya surat kabar, tetapi media elektronik: televisi dan radio, serta media online (daring). Bahkan, media sosial, yang lebih bersifat personal, bukan media massa.
Namun, Jakob dalam bukunya juga menambahkan, ”Pers itu sebenarnya merupakan refleksi dari kenyataan masyarakat. Tapi, memang yang paling sulit bagi pers dikaitkan dengan tanggung jawab serta ketentuan kode etik, ialah menjelaskan duduk kejadian (perkara) seperti apa adanya. Belum tentu semua yang kita ketahui berkenaan dengan suatu kejadian atau perkara bisa disajikan kepada publik. Tentu di sana ada penilaian-penilaian tertentu yang menuntut kecermatan, kehati-hatian, serta pertimbangan yang matang.
Dalam menjelaskan duduknya perkara—demikian Jakob Oetama selalu menyebutkan dalam percakapan—pastilah terjadi pergulatan batin pada wartawan. Pada gilirannya, editorial management media itu dan kualitas sumber daya manusia (SDM) wartawan, termasuk kompetensinya, yang menentukan berita ”duduk perkara”yang dilahirkan.
Mengurangi ketegangan
Langkah wartawan untuk mengungkapkan kejadian di Jalan Tol Cikampek itu bukan untuk mencari siapa salah atau siapa benar, melainkan untuk menjalankan fungsi pers yang sesungguhnya, sesuai UU Pers dan Kode Etik Wartawan Indonesia. ”Semangat kita menjaga kemerdekaan pers, menaati kode etik dan kode perilaku wartawan,” kata Asro Kamal Rokan, anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat, di Jakarta, Selasa (8/12/2020).
Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat, Raja Parlindungan Pane, pun menambahkan, pers harus obyektif dan menjunjung tinggi cover both side (dua sisi), bahkan cover all side (semua sisi), dan menyampaikan fakta yang terjadi. Pers jangan sampai menjadi partisan dan akhirnya PWI terkena imbasnya. Wartawan harus menjunjung fakta yang ditemukannya, bukan cuma mengikuti pendapat narasumber. Untuk mampu mengungkapkan fakta terkait kasus itu yang sesungguhnya, tak bisa lain, wartawan harus turun ke lapangan.
Baca: Wartawan Bisa Keliru, tetapi Tidak Boleh Bohong
Walaupun sudah turun ke lapangan, karena ada laku moral dalam tugas kewartawanan, dan seperti diingatkan Jakob Oetama, bahwa tidak mudah untuk mendudukkan suatu perkara, apalagi yang bersifat konflik dan sudah berlangsung lama, setidak-tidaknya ada tugas ”minimal”yang dapat dijalankan oleh seorang wartawan.
Pendiri harian Kompas, Petrus Kanisius Ojong, seperti dikutip di atas, mengingatkan pentingnya mengedepankan kebangsaan, ini Tanah Airku, dalam setiap perkara dan mencari titik terang (Helen Ishwara, PK Ojong: Hidup Sederhana Berpikir Mulia, Penerbit Buku Kompas, 2014). Bukan berarti wartawan menjadi sosok yang menyelesaikan persoalan di masyarakat itu, tetapi paling tidak membantu menemukan jalan keluar atau titik terang itu.
Dalam menyikapi konflik di masyarakat, mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah pada buku berjudul Pers Ideal untuk Masa Demokrasi (Lembaga Pers Dr Soetomo, 2018) menuliskan, pemberitaan pers lebih-lebih lagi diharapkan dapat memberikan sumbangan penting pada upaya meredakan konflik atau mencegah konflik baru, atau setidak-tidaknya mengurangi konflik, ketika pertikaian itu tidak henti-hentinya terjadi…. Kedengarannya ini memang bukan pekerjaan pers. Akan tetapi, sedikitnya pers dapat menyumbang pada upaya mengurangi ketegangan dalam masyarakat yang sedang terlibat konflik seperti itu. Dan, ketegangan juga bisa menjadi sumber bagi konflik baru.
Secara mandiri, wartawan dan media massa memang seharusnya berdiri di tengah untuk tak membuat situasi konflik pada bangsa ini kian memanas. Bukan membuat sensasi, memanas-manasi, apalagi membuat bangsa ini semakin terbelah. Tugas mencari duduk perkara, melalui investigasi dan pelacakan langsung, selain untuk membantu negeri ini menemukan titik terang dalam menghadapi konflik, setidak-tidaknya untuk meredakan ketegangan dalam masyarakat. Media massa tentu boleh memihak, yaitu memihak pada kebenaran dan kepentingan publik yang lebih besar, serta mengikuti hati nuraninya.
Menurut Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Pusat Sasongko Tedjo, dalam melakukan upaya mengungkapkan kebenaran terkait kejadian di Jalan Tol Cikampek, wartawan tetap harus mengutamakan keselamatannya, terutama dalam situasi pandemi Covid-19 hari ini. Tidak ada berita sehebat apa pun yang seharga dengan keselamatan jiwa wartawan. Ada kepentingan masyarakat, negara, dan bangsa yang harus dipertimbangkan pula.