Lulusan sekolah menengah kejuruan masih menjadi penyumbang dominan pengangguran. Upaya menyelesaikan persoalan ini melalui pendekatan pasokan dan permintaan tenaga kerja serta perubahan orientasi ke wirausaha mandiri.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lulusan sekolah menengah kejuruan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di industri, tetapi juga dapat didorong menjadi wirausaha mandiri. Reorientasi seperti itu bisa dilakukan sebagai jalan menyelesaikan pengangguran.
Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) tentang ”Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia” tanggal 5 November 2020, lulusan SMK mendominasi jumlah pengangguran di Indonesia. Rilis BPS itu menyebutkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan SMK pada Agustus 2020 sebesar 13,55 persen, lalu diikuti TPT lulusan SMA 9,86 persen, TPT lulusan diploma I-III sebesar 8,08 persen, dan TPT lulusan universitas 7,35 persen. Adapun TPT lulusan SMP mencapai 6,46 persen dan TPT SD 3,61 persen.
Jika dibandingkan dengan Agustus 2019, TPT lulusan SMK mencapai 10,36 persen, kemudian diikuti TPT SMA 7,87 persen, TPT diploma I-IV 5,96 persen, dan TPT universitas 5,64 persen. Lalu, TPT lulusan SMP sebesar 4,72 persen dan TPT lulusan SD 2,39 persen.
Sesuai data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS tahun 2019 yang diolah Pusat Penelitian Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kompetensi keahlian SMK yang tercatat memiliki tingkat pengangguran tertinggi adalah teknik instrumentasi (26,19 persen), kesehatan hewan (25,22 persen), teknik komputer dan informatika (19,67 persen), farmasi (19,07 persen), serta keperawatan (15,01 persen).
Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud Sudiyono mengatakan, pada tahun 2019 ada lima sektor usaha yang terbanyak menyerap lulusan SMK. Pertama, sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi, serta perawatan mobil dan motor. Kedua, sektor industri pengolahan. Ketiga, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Keempat, sektor penyediaan akomodasi dan makanan minuman. Kelima, sektor transportasi dan perdagangan. Kondisi seperti itu mirip di beberapa provinsi, hanya berbeda urutannya.
Dia mencontohkan Jawa Barat pada tahun 2019. Di sana, lulusan SMK terbanyak bekerja di industri pengolahan, diikuti perdagangan besar dan eceran, reparasi, serta perawatan mobil dan motor, serta penyediaan akomodasi dan makanan minuman. Kemudian, transportasi dan pergudangan serta jasa lainnya.
Pada saat yang sama, kompetensi keahlian SMK yang paling banyak diminati atau menghasilkan lulusan adalah otomatisasi dan tata kelola perkantoran, teknik kendaraan ringan, teknik komputer dan jaringan, teknik dan bisnis sepeda motor, serta akuntansi dan keuangan lembaga.
”Jika mengacu ke data kuantitatif Sakernas BPS, terdapat kurang kesesuaian latar belakang kompetensi keahlian lulusan dengan sektor usaha yang sudah mempekerjakan lulusan SMK. Namun, hal itu perlu ditelaah lebih lanjut dengan studi kualitatif,” ujar Sudiyono saat menghadiri seminar daring hasil penelitian ”Kebijakan Berbasis Bukti untuk Memperkuat Kemerdekaan Belajar dan Ketahanan Budaya di Masa Pandemi”, Senin (7/12/2020), di Jakarta.
Pada tahun 2019, persentase lulusan SMK yang jadi pekerja/buruh sekitar 72,9 persen, sedangkan wirausaha 27,1 persen. Padahal, masa tunggu rata-rata lulusan SMK diterima bekerja di usaha/industri 5,6 bulan.
Dari sisi lulusan SMK, Sudiono menyampaikan, hasil studi yang dilakukan Pusat Penelitian Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud menemukan mereka cenderung masih mengandalkan lapangan kerja dari sektor industri. Pada tahun 2019, persentase lulusan SMK yang jadi pekerja/buruh sekitar 72,9 persen, sedangkan wirausaha 27,1 persen. Padahal, masa tunggu rata-rata lulusan SMK diterima bekerja di usaha/industri 5,6 bulan.
Sesuai kajian studi yang dilakukan, rekomendasinya adalah pemerintah daerah perlu terlibat mengevaluasi sebaran bidang kompetensi keahlian SMK dengan sektor usaha yang ada di daerah tersebut. Pemerintah daerah juga bisa mendalami faktor-faktor yang memengaruhi pengangguran lulusan di setiap kompetensi keahlian SMK.
Selain itu, dia memandang, reorientasi lulusan SMK bisa dipertimbangkan. Artinya, lulusan SMK perlu dipandang bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja industri, melainkan juga dapat lebih ditingkatkan menjadi wirausaha mandiri.
Koordinator Sarana Prasarana SMK Direktorat SMK Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbud Arie Wibowo Kurniawan dalam tulisannya, ”Mencermati Kembali, Anomali Angka Pengangguran SMK di Indonesia”, mengatakan, evaluasi pengangguran sering kali hanya bertumpu pada sisi pasokan tenaga kerja. Padahal, isu pengangguran dipengaruhi oleh dua sisi, yaitu sisi pasokan dan sisi permintaan tenaga kerja.
”Pertumbuhan angkatan kerja yang kurang diimbangi dengan pertumbuhan lapangan kerja akan menyebabkan tingkat kesempatan kerja yang cenderung menurun,” katanya.
Pada tahun 2020, khususnya, terdapat pandemi Covid-19 yang berdampak ke sejumlah sektor industri, seperti ritel, manufaktur, dan pariwisata. Situasi ini berimbas tidak tertampungnya lulusan SMK yang akan masuk dunia kerja.
Menurut Arie, sebagai lembaga pendidikan vokasi, SMK mesti dilengkapi dengan peralatan produksi yang menunjang pembelajaran sesuai kompetensi keahlian yang ditawarkan ke siswa. SMK pun perlu bertransformasi menjadi organisasi yang menerapkan pendidikan untuk tanggung jawab sosial. Misalnya, kompetensi keahlian yang dimiliki siswa dapat dipakai sebagai bekal buka peluang usaha di daerah asalnya.
Dosen Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, saat dihubungi, Rabu (9/12/2020), di Jakarta mengatakan, pemerintah pusat telah melakukan berbagai intervensi ke SMK, seperti program revitalisasi SMK sejak 2016 dan membuat direktorat jenderal pendidikan vokasi. Meski demikian, pemerintah tetap perlu berperan menjembatani kebutuhan SMK dengan swasta, seperti pelaku industri di daerah asal.
”Tidak bisa dimungkiri bahwa persaingan antarlulusan SMK dengan politeknik ataupun lainnya sangat ketat. Swasta (pelaku industri) tentu punya pertimbangan atau kajian tertentu menyerap tenaga kerja. Sementara di sisi lain, kondisi lembaga ataupun siswa SMK beragam,” katanya.
Kolaborasi
Rakhmat memandang, berbagai inisiatif untuk mengatasi pengangguran lulusan SMK patut didukung meski butuh kolaborasi kementerian/lembaga. Misalnya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pernah punya inisiatif bersama pemerintah daerah mengembangkan SMK berbasis potensi kerajinan lokal Soe, Nusa Tenggara Timur.
Guru SMKN H Moenadi, Sugiarto, menyampaikan SMKN H Moenadi telah bekerja sama dengan PT Raja Seed Yogyakarta sebagai penghasil benih kacang panjang. Pengelolaannya dilakukan oleh siswa di desa. Upaya seperti itu bisa dikatakan telah terjadi kolaborasi antara desa, industri, dan SMK.
Kepala SMK Karya Nasional Kuningan Yepri Esa Trijaka mengatakan, pandemi Covid-19 berdampak ke seluruh sektor ekonomi di desa ataupun kota. Pemutusan hubungan kerja di industri tak terelakkan. Lulusan SMK yang mau masuk dunia kerja susah terserap.
Dia mengklaim, jumlah siswa SMK Karya Nasional Kuningan terus meningkat setiap tahun. Total saat ini terdapat 2.250 siswa untuk delapan program keahlian. Setiap tahun, sekolah meluluskan sekitar 600 orang.
Setiap program keahlian diajarkan materi keterampilan sesuai dunia kerja/dunia industri dan membuka lapangan usaha sendiri. Selama pandemi Covid-19, menurut Yepri, sekolah memilih gencar mengajarkan kewirausahaan melalui semangat membangun desa sesuai kebutuhan masyarakat di sekitar sekolah. SMK Karya Nasional telah menandatangani nota kesepahaman dengan 24 desa sasaran.
”Desa mempunyai musyawarah rencana pembangunan sampai badan usaha milik desa. Kami sudah berbincang dengan mereka tentang apa yang bisa SMK untuk terlibat. Intinya, kami tidak ingin semua siswa yang sudah lulus berurbanisasi dan malah susah terserap dunia kerja/dunia industri di perantauan,” tuturnya.