Sekolah Inklusif, Ruang Mengenalkan Keberagaman Anak
Layanan pendidikan inklusif dapat menjadi ruang melatih nilai-nilai keberagaman dan kebinekaan, baik bagi anak berkebutuhan khusus maupun reguler.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Layanan pendidikan inklusif bisa berkembang optimal dengan dua dukungan. Dukungan pertama berasal dari masyarakat yang telah paham keberagaman kondisi anak dan dukungan kedua adalah tata kelola secara sistemik dari pemerintah.
Gender and Social Inclusion Manager Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan (KOMPAK) Ratna Fitriani menyampaikan hal itu saat menghadiri diskusi daring ”Praktik Inspirasi dan Dukungan Kebijakan untuk Mendorong Pembelajaran yang Inklusif, Khususnya di Masa Pandemi Covid-19”, Selasa (8/12/2020), di Jakarta.
Ratna mengaku tumbuh di lingkungan pendidikan yang tersegregasi. Keberadaan layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (ABK) amat dibedakan dengan anak reguler. Ini mengakibatkan ABK ataupun anak reguler terkotak-kotak. Kalaupun ada ABK masuk di sekolah reguler, guru pun cenderung kurang memahami cara mengajar dan mendampingi mereka.
Ketika layanan pendidikan inklusif semakin bermunculan, kami memaknainya secara positif. Sebab, baik ABK maupun anak reguler, menjadi sama-sama tumbuh belajar tentang menghargai keberagaman, terutama fisik. (Ratna Fitriani)
”Ketika layanan pendidikan inklusif semakin bermunculan, kami memaknainya secara positif. Sebab, baik ABK maupun anak reguler, menjadi sama-sama tumbuh belajar tentang menghargai keberagaman, terutama fisik,” ujarnya.
Ratna mencontohkan Kabupaten Pekalongan yang dia nilai berhasil menerapkan praktik layanan pendidikan inklusif yang optimal. Pemerintah kabupaten itu memiliki gerakan Kembali Upayakan Dukungan (KUDU) untuk Sekolah sejak Mei 2019.
Gerakan KUDU Sekolah menerapkan pendekatan pentahelix untuk pelaksanaannya. Pemerintah daerah, pemerintah desa, dunia usaha, masyarakat peduli, dan perguruan tinggi bergandengan tangan mengembalikan 4.346 anak yang putus sekolah, termasuk 323 orang ABK ke bangku sekolah. Dunia usaha/industri, misalnya, membantu mengalokasikan fasilitas pembelajaran ke sekolah inklusif. Pemerintah kabupaten dan perguruan tinggi memfasilitasi agar ABK yang sudah lulus sekolah menengah atas dapat kuliah. Guru pembimbing khusus ABK ikut bertambah.
Gerakan KUDU Sekolah sukses meningkatkan kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap hak pendidikan ABK. Hingga saat ini, jumlah sekolah inklusif jenjang sekolah dasar bertambah dari tujuh menjadi 22 unit dan jenjang sekolah menengah pertama naik dari tiga menjadi 20 unit.
Alokasi anggaran pemerintah kabupaten naik dari 62 juta tahun 2019 menjadi 325 juta pada tahun 2021. Pengalaman Kabupaten Pekalongan bisa menjadi contoh bagi daerah lain.
”Syarat pertama layanan pendidikan inklusif bisa optimal adalah ada dukungan masyarakat. Ini termasuk perspektif semua guru ketika mengajar dan mendampingi ABK. Saya harap, semua calon guru perlu mendapat wawasan pendidikan inklusif, bukan sekadar guru untuk sekolah khusus,” kata Ratna.
Pendiri Australia-Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN) Dina Afrianty menyampaikan pandangan senada. Salah satu temuan penelitian yang dia lakukan tahun 2013 di Makassar, Sulawesi Selatan, adalah sejumlah ABK dengan kebutuhan khusus tuli tidak punya pengalaman interaksi keberagaman. Akibatnya, ketika anak tersebut mau melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi, mereka dihantui kecemasan tidak bisa diterima.
Menurut dia, kebanyakan ABK datang dari keluarga menengah ke bawah. Pilihan layanan pendidikan akan diambil keluarga ketika ada sekolah dekat dengan tempat tinggal.
Di Indonesia, Dina mengamati, sekolah negeri menyebar sampai ke pelosok desa. Layanan pendidikan seperti itu semestinya didukung oleh masyarakat dan pemerintah setempat agar berkembang semakin inklusif. Jadi, keluarga ABK mudah mengakses layanan pendidikan bagi anaknya.
Berdasarkan survei daring yang dilakukan AIDRAN bersama La Trobe University dan Universitas Brawijaya, 99,2 persen responden guru ABK di Jawa Timur mengaku menghadapi tantangan serius dalam melaksanakan kegiatan mengajar jarak jauh. Lebih dari 30 persen percaya siswa mereka mengalami penurunan kapasitas belajar, seperti memecahkan masalah dan mencerna pengalaman hidup sehari-hari.
Sebanyak 56 guru mengaku dukungan orangtua dan keluarga penting agar proses belajar ABK tetap berjalan. Empat belas guru menyebut butuh dukungan fasilitas sarana dan prasarana pembelajaran jarak jauh.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud Totok Suprayitno mengatakan, kementerian terus merumuskan kebijakan layanan pendidikan yang ramah kepada ABK. Salah satunya adalah selalu mendorong kebinekaan disosialisasikan ke sekolah-sekolah.
”Kebinekaan tidak boleh ditinggalkan. Anak-anak dengan segala keberagamannya harus dilayani. Praktik baik layanan pendidikan inklusif yang ada di beberapa daerah perlu disebarluaskan, digulirkan, dan semoga bisa jadi arus utama,” katanya.
Berdasarkan data Kemendikbud, total jumlah sekolah luar biasa (SLB) sebanyak 2.254 sekolah dengan jumlah siswa 142.760 siswa. Adapun sekolah inklusi sebanyak 29.315 sekolah dengan total jumlah siswa dengan disabilitas sebanyak 104.931 siswa. Total jumlah SD hingga SMA/SMK sebanyak 217.866 sekolah (harian Kompas, 11 September 2020).