Proses Penilaian Sebatas Dipakai Melihat Pencapaian Siswa
Proses penilaian kadang dilakukan masih sebatas untuk melihat pencapaian peserta didik tanpa ada tindak lanjut dari guru.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Rifqi menunjukkan kelulusannya lewat telepon genggam yang terhubung internet di Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur, Sabtu (2/5/2020). Kelulusan siswa SMA/SMK/SLB sederajat tahun ajaran 2020/2021 diumumkan secara daring Sabtu (2/5). Pemerintah meniadakan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2020 menyusul pandemi Covid-19. Sebagai gantinya, kelulusan siswa didasarkan pada nilai rapor dan hasil tugas selama menjalani pembelajaran jarak jauh.
JAKARTA, KOMPAS - Guru masih sering menggunakan proses penilaian sekadar untuk memprediksi dan mendokumentasikan capaian belajar siswa. Sementara itu, tindak lanjut hasil penilaian kurang optimal dilakukan.
Berdasarkan penelitian kuantitatif dan kualitatif "Kajian Penerapan Penilaian Hasil Belajar Siswa Jenjang Sekolah Dasar Dalam Konsep Merdeka Belajar (2020)" yang dilakukan Pusat Penelitian Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kepada 4.250 orang guru SD, guru lebih sering menjalankan penilaian dengan fungsi melihat pencapaian siswa (assessment of learning). Menurut responden, sangat banyak guru SD lain yang memakai penilaian untuk fungsi itu.
Sebanyak 4.250 orang responden itu berasal dari Kota Jakarta Pusat, Kota Tangerang, Kota Bogor, Kota Depok, dan Kota Bekasi.
Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud Ikhya Ulumudin menyebutkan tiga bentuk fungsi penilaian hasil belajar oleh guru. Pertama, penilaian terhadap apa yang telah dicapai peserta didik (assessment of learning). Kedua, penilaian untuk mengidentifikasi kesulitan siswa dan mencari solusi (assessment for learning). Ketiga, penilaian yang menekankan pada keterlibatan peserta didik untuk secara aktif berpikir mengenai proses dan hasil belajarnya sehingga berkembang menjadi pembelajar yang mandiri (assessment as learning).
Hanya 18,4 persen dari total responden yang mengaku selalu memberikan penilaian untuk fungsi assessment of learning. Sedangkan 14,4 persen dari total responden menyebut selalu menilai untuk tujuan assessment for learning, dan 12,7 persen dari seluruh responden selalu menilai demi assessment as learning.
"Saat diwawancara kualitatif, responden guru menyebut tidak mengetahui cara menerapkan jenis penilaian sesuai dengan fungsinya. Pihak eksternal juga menuntut semua penilaian ke siswa dijalankan untuk fungsi melihat capaian," ujar dia saat menghadiri seminar daring hasil penelitian "Kebijakan Berbasis Bukti untuk Memperkuat Kemerdekaan Belajar dan Ketahanan Budaya di Masa Pandemi", Senin (7/12/2020), di Jakarta.
Menurut dia, pada tahun 2019, Pusat Penelitian Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud pernah meneliti topik senada. Sasarannya pun guru SD. Hasilnya menunjukkan pemahaman guru SD terkait dengan penilaian sebagai fungsi assessment for learning masih kurang. Di antara guru kurang paham bahwa hasil penilaian bisa dipakai memberikan umpan balik berupa remedial dan pengayaan, ataupun mengevaluasi dan memperbaiki performa mereka sendiri.
Selama masa belajar dari rumah akibat pandemi Covid-19, 54 persen responden guru mengaku selalu melakukan penilaian ke siswa. Sebanyak 40,1 persen responden guru mengaku sering, 5,8 persen menyebut kadang-kadang, dan 0,1 persen tidak pernah menyelenggarakan proses penilaian siswa.
Hanya 30 persen dari total responden mengaku selalu dan sering melakukan tindak lanjut terhadap hasil penilaian. Dia mengatakan, temuan ini sejalan dengan hasil penilaian Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan tentang Belajar dari Rumah sebelumnya, yakni pemberian tugas melalui soal-soal masih dominan dipakai guru.
"Meski hanya menyasar di lima kota, kami berharap hasil temuan penelitian kami bisa dipakai sebagai refleksi ataupun pembelajaran. Apabila masa belajar dari rumah masih berlanjut, kami harap kepala sekolah dapat ikut mengawasi guru," katanya.
Kompas/Bahana Patria Gupta
Siswi SMK Negeri 1 Surabaya mengerjakan soal Bahasa Indonesia pada hari pertama Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK), Surabaya, Jawa Timur, Senin (16/3/2020). Walau sekolah diliburkan di semua tingkatan akibat antisipasi penyebaran wabah Covid-19 UNBK 2020 untuk SMK di Jawa Timur tetap dilaksanakan. Sekolah diliburkan hingga 28 Maret 2020.
Fokus anak
Pelaksana Tugas Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud Totok Suprayitno saat membuka sambutan, menekankan, semangat Merdeka Belajar bertujuan mengembalikan layanan pendidikan agar fokus kepada mutu anak. Sebelumnya, saat berbicara kualitas layanan pendidikan, fokusnya rancu dan berkelindan, seperti jumlah laboratorium, sekolah, dan dan guru.
"Merdeka Belajar ingin mengembalikan semangat kualitas belajar untuk anak. Kualitas anak yang sesuai dengan perkembangan zaman, kreatif, mampu berkomunikasi, dan adaptif," ujar dia.
Menurut Totok, Merdeka Belajar mempunyai model pembelajaran yang selalu menitikberatkan kepada upaya memerdekakan pikiran anak. Guru bukan mengejar ketuntasan kurikulum ataupun mendampingi anak belajar secara asal sesuai rencana pelaksanaan pembelajaran.
Asesmen pun bukan malah membelenggu siswa. Totok mengimbau agar guru menjalankan asesmen yang bersifat umpan balik terus-menerus. Dengan demikian, tumbuh kembang anak semakin berkualitas.
Dosen Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat menambahkan, penelitian yang menyangkut kinerja guru, seperti saat proses menilai siswa, perlu diarahkan untuk mengungkap realisasi semangat Merdeka Belajar. Beberapa penilaian yang sudah dirilis cenderung masih general. Padahal, semangat Merdeka Belajar selalu digaungkan pemerintah.