Berbagai kasus pembunuhan menimpa perempuan, tetapi dalam proses hukum dimensi kekerasan berbasis jender tidak digali. Pembunuhan berbasis jender tidak dianggap serius, dan hanya dilihat sebagai kejahatan biasa.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Jakarta, Kompas – Sejumlah perempuan selama ini menjadi korban pembunuhan berbasis jender, karena dia adalah seorang perempuan. Kendati mengalami penyiksaan dan pembunuhan secara sadis, kasus-kasus pembunuhan terhadap perempuan hanya dipandang sebagai tindak pidana pembunuhan umum.
Akibatnya, hingga kini pembunuhan terhadap perempuan (femisida) tidak banyak mendapat perhatian, terutama aparat penegak hukum. Bahkan, ketika perempuan korban kekerasan meninggal dibunuh, keluarga korban tak lagi memandang perlu untuk menyelidiki kasus secara tuntas dan diserahkan kepada aparat penegak hukum.
Padahal, data yang diolah dari hasil pemantauan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam rentang tahun 2018 - 2020 menunjukkan bahwa femisida merupakan sadisme baik dari motif pembunuhannya, pola-pola pembunuhannya maupun berbagai dampak terhadap keluarga korban.
Komnas perempuan hanya bisa memantau melalui media daring, dan itu ‘kan peningkatan kasusnya luar biasa termasuk tingkat sadisnya. Kasus-kasus ini tidak dikenali dan diabaikan negara.(Siti Aminah)
“Komnas perempuan hanya bisa memantau melalui media daring, dan itu ‘kan peningkatan kasusnya luar biasa termasuk tingkat sadisnya. Kasus-kasus ini tidak dikenali dan diabaikan negara,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah, dalam keterangan pers Komnas Perempuan, Senin (7/12/2020) dalam rangka 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2020.
Dari data pemantauan Komnas Perempuan, pada 2018 pembunuhan perempuan mencapai 730 kasus, tahun 2019 sebanyak 1.184 kasus, dan dari Januari hingga Oktober 2020 tercatat 1.156 kasus. Sebaran isu femisida meliputi pembunuhan perempuan (1.770 kasus), suami membunuh isteri (1.041 kasus), pembunuhan pacar berjumlah (92 kasus), pembunuhan mantan pacar (47 kasus) dan pembunuhan oleh mantan suami (105 kasus).
“Femisida terbanyak terjadi di ranah rumah tangga atau personal yang dilakukan dalam relasi keluarga, perkawinan maupun pacaran,” ujar Siti Aminah, dalam keterangan pers bersama Mariana Amiruddin dan Rainy Hutabarat.
Selain pembunuhan oleh pasangan, Komnas Perempuan menemukan, kematian perempuan juga didorong untuk menyelamatkan kehormatan diri dan keluarga. Misalnya pembunuhan terhadap seorang remaja perempuan oleh ayah dan saudara laki-lakinya, di Bantaeng, Sulawesi Selatan, karena korban melakukan hubungan seksual di luar.
Melalui pernyataan pers berjudul “Femisida Sebagai Puncak Kekerasan Berbasis Jender: Meningkat, Tidak Dikenali dan Diabaikan Negara” Komnas Perempuan meminta Pemerintah dan DPR mengintegrasikan isu femisida dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia. Selain itu, Kepolisian Negara RI juga diharapkan melakukan pendokumentasian secara nasional dengan melakukan pemilahan jender terhadap korban pembunuhan agar terpetakan penyebab, dan pola femisida di Indonesia.
Di Indonesia, femisida tidak banyak mendapat perhatian. Padahal femisida merupakan bentuk paling ekstrem dari kekerasan terhadap perempuan dan manifestasi dari diskriminasi terhadap perempuan dan ketidaksetaraan jender.
Istilah femisida sendiri pertama kali digunakan oleh Diana Russel pada International Tribunal on Crimes Against Women (1976) dan menempatkannya sebagai “pembunuhan misoginis terhadap perempuan oleh laki-laki”. Selanjutnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan femisida sebagai pembunuhan terhadap perempuan karena ia perempuan dalam beragam bentuk pembunuhan.
PBB merumuskan dan menemukan dari berbagai belahan dunia ada 11 bentuk femisida antara lain, pembunuhan akibat kekerasan rumah tangga/pasangan intim, penyiksaan dan pembunuhan misoginis terhadap perempuan, pembunuhan perempuan dan anak perempuan atas nama "kehormatan", pembunuhan terarah terhadap perempuan dan anak perempuan dalam konteks konflik bersenjata, pembunuhan terkait mahar, pembunuhan karena orientasi seksual dan identitas jender.
Selain itu, pembunuhan terhadap perempuan aborigin atau perempuan masyarakat adat, pembunuhan bayi perempuan dan janin berdasarkan seleksi jenis kelamin, dan kematian terkait pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan (female genitalmutilation), tuduhan sihir, serta femisida lain yang terkait dengan geng, kejahatan terorganisir, pengedar narkoba, perdagangan manusia dan penyebaran senjata api.
Masih normatif
Mamik Sri Supatmi, Pengajar Kriminologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia menilai selama ini femisida tidak mendapat perhatian khusus, karena pandangan aparat penegak hukum masih normatif, mengacu pada teks-teks hukum pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Tidak ada teks dalam KUHP tentang dimensi-dimensi relasi kuasa, tentang perempuan atau dimensi kekhasan ketika pembunuhan terjadi. Jadi dianggap sama dengan peristiwa-peristiwa pembunuhan lain yang tidak ada dimensi kekerasan berbasis jenis kelamin atau jender,” katanya.
Begitu juga masyarakat punya pandangan yang sama, yakni belum sensitif dan peka melihat bahwa dalam peristiwa tertentu ketika perempuan dibunuh perlu dilihat kembali apakah sama dengan pembunuhan pada umumnya.