Kendati sudah ada UU Penyandang Disabilitas, situasi penyandang disabilitas di Tanah Air masih sangat memprihatinkan. Mereka masih mengalami stigmatisasi dan diskriminasi sehingga tertinggal dalam pembangunan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati sudah empat tahun Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, hingga kini implementasi dari undang-undang tersebut sangat lamban sehingga hak-hak penyandang disabilitas belum terpenuhi. Sejumlah peraturan pemerintah, yang seharusnya sudah selesai dibentuk paling lambat dua tahun, hingga kini masih ada yang belum juga disahkan.
Bahkan, urusan pendataan penduduk disabilitas sampai saat ini masih menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung diselesaikan pemerintah. Akibatnya, berbagai program pemerintah, termasuk layanan jaminan sosial, sering tidak menyasar warga disabilitas karena persoalan data.
Kenapa implementasi Undang-Undang Penyandang Disabilitas belum dipenuhi? Ini berkaitan dengan cara pandang pemerintah terhadap (penyandang) disabilitas. Penyandang disabilitas belum dianggap sebagai warga negara yang mempunyai potensi, produktif, bermartabat dan bisa berpartisipasi. (Nurul Sa\'adah)
”Kenapa implementasi Undang-Undang Penyandang Disabilitas belum dipenuhi? Ini berkaitan dengan cara pandang pemerintah terhadap disabilitas. Penyandang disabilitas belum dianggap sebagai warga negara yang mempunyai potensi, produktif, bermartabat dan bisa berpartisipasi,” ujar Direktur Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (Sapda) Nurul Sa\'adah, Minggu (6/12/2020), mewakili Jaringan Pegiat Disabilitas Nusantara tentang Refleksi Implementasi UU Penyandang Disabilitas.
Dalam rangka Hari Disabilitas Internasional 2020, Jaringan Pegiat Disabilitas Nusantara menyampaikan keterangan pers ”Penyandang Disabilitas Menagih Janji” yang berisi berbagai catatan terkait implementasi UU Penyandang Disabilitas mulai dari aspek regulasi hingga dampaknya terhadap perencanaan dan penganggaran program disabilitas. Pernyataan tersebut juga sekaligus merespons pidato Presiden Joko Widodo pada Hari Disabilitas Internasional 2020.
Menurut Nurul, lambannya implementasi UU sangat dipengaruhi oleh cara pandang pemerintah yang belum berubah, masih sama seperti dulu, yakni masih melihat penyandang disabilitas sebagai orang yang harus dikasihani dan tidak harus didengar aspirasinya.
Hingga kini peraturan pemerintah lebih memperlihatkan bahwa penyandang disabilitas hanya sebagai formalitas. Misalnya dalam penyaluran bantuan sosial (bansos), yang penting penyandang disabilitas mendapat bansos, prosesnya bagaimana tidak penting.
Tidak terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas karena hingga kini banyak yang belum terjangkau oleh administrasi kependudukan. ”Bagaimana pemerintah bisa membuat program yang menyasar penyandang disabilitas saat data penyandang disabilitas masih di mana-mana. Janji penyandang disabilitas akan disensus itu tidak dilakukan di tahun 2020 ini,” kata Nurul.
Padahal, jika sensus kependudukan terhadap penyandang disabilitas dilakukan dengan baik, data tersebut akan memperlihatkan seberapa besar dan di mana penyandang disabilitas, serta apa saja potensi dan kebutuhan penyandang disabilitas. Jika terdata dengan baik, data tersebut bisa digunakan untuk menyusun rencana aksi nasional terkait penyandang disabilitas.
Terkait implementasi UU Penyandang Disabilitas, selain masih ada peraturan pemerintah (PP) yang belum disahkan, Jaringan Pegiat Disabilitas Nusantara menilai pembentukan sejumlah PP tidak berhasil mengubah sistem, terutama untuk menganut cara pandang yang diamanatkan oleh UU No 8/2016.
Minim partisipasi
Bahkan, sejumlah PP akhirnya dibentuk setelah ada inisiasi dari organisasi penyandang disabilitas. Itu pun dalam prosesnya penyandang disabilitas tidak dilibatkan hingga akhir pembahasan. Akibatnya, PP yang dilahirkan kerap tidak sesuai aspirasi penyandang disabilitas. Tak hanya itu, sejumlah kebijakan juga sangat minim partisipasi penyandang disabilitas.
Slamet Thohari dari Aidran (Australia Indonesia Disability Reseach and Advocacy Networks) mengungkapkan banyaknya dokumen negara tentang penyandang disabilitas yang tidak aksesibel. ”Sumber informasi, website pemerintah belum ramah terhadap (penyandang) disabilitas. Ketika kita mencari informasi terkait kebijakan pemerintah, kita akan melihat website pemerintah masih ditemui banyak dokumen negara tidak aksesibel banyak penyandang disabilitas,” ujar Slamet.
Bahkan, fasilitas atau dukungan dari pemerintah, termasuk pemerintah daerah, untuk penyandang disabilitas dalam dunia pendidikan, seperti pemberian beasiswa, minim. Hanya ada 15 perguruan tinggi yang mempunyai unit layanan disabilitas, minimnya guru pendamping khusus, dan lain sebagainya.
Fajri Nursyamsi dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menilai, sebenarnya pendataan sudah ada sejak UU No 8/2016 disusun. Namun, ada beberapa hal tidak diakomodasi meskipun pendataan penyandang disabilitas diatur dalam UU tersebut. Bahkan, hingga kini istilah ”cacat” masih masuk dalam data kependudukan.
Bahkan, dari riset Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), Fajri menemukan ada sejumlah kendala dalam pendataan karena rekaman datanya tidak masuk. Selain masih banyak penyandang disabilitas tidak mau didata sebagai disabilitas, petugas juga tidak sensitif saat pencatatan. Selain itu, secara teknis, di dalam formulir pendataan kolom untuk data disabilitas tidak ada karena formulirnya diperkecil sehingga data disabilitas tidak terekam.
Tenaga Ahli Madya Kedeputian V Kantor Staf Presiden, Sunarman Sukamto mengungkapkan, pemerintah menerima kritik dari penyandang disabilitas dan terus mendorong implementasi UU Penyandang Disabilitas. Soal pendataan, memang data Badan Pusat Statistik masih bersifat umum, tetapi ada data sektor di berbagai kementerian/lembaga.