Perempuan pembela hak asasi manusia yang bekerja di berbagai isu membutuhkan pengakuan dan perlindungan dari negara. Sebab, hingga kini sejumlah perempuan pembela HAM menjadi korban kekerasan fisik dan psikis.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·6 menit baca
Kendati perjuangan para perempuan pembela hak asasi manusia sudah dilakukan sejak masa Indonesia belum merdeka, hingga kini pengakuan dan penghormatan, bahkan perlindungan terhadap mereka masih sangat rendah. Padahal, ketika mengadvokasi sejumlah kasus kemanusiaan, mereka berhadapan dengan berbagai intimidasi dan kekerasan. Negara perlu hadir melindungi mereka.
”Hingga kini kami masih terus berupaya mengingatkan pemerintah bahwa di negara ini masih ada warganya yang belum mendapatkan hak beragama dan beribadah. Bukan hanya kelompok kami saja, melainkan juga ada kelompok-kelompok lain yang dianggap minoritas di negara ini yang menyuarakan isu yang sensitif ini. Ada saja tantangan yang harus saya hadapi,” ujar Dwiyanti Novita Rini, anggota jemaat Gereja Kristen Indonesia Yasmin, Bogor, Jawa Barat, dalam testimoninya yang ditayangkan secara daring pada Peringatan Hari Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional 2020, Sabtu (28/11/2020).
Hari Perempuan Pembela HAM Internasional yang diperingati setiap 29 November digelar Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Koalisi Perempuan Pembela HAM dengan mengusung tema ”Mendesaknya Perlindungan Negara Dan Pemulihan Perempuan Pembela HAM dan Perempuan Korban Kekerasan Seksual”. Kegiatan tersebut juga merupakan bagian dari Rangkaian Peringatan 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) yang berlangsung 25 November-10 Desember 2020.
Selain Dwiyanti, sejumlah perempuan pembela HAM dari sejumlah daerah juga memberikan testimoni pada acara tersebut. Eliyati, perempuan pembela HAM dari Aceh Utara yang sehari-hari bekerja di Lembaga Bantuan Hukum Asosiai Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), juga mengungkapkan tantangan yang dihadapi saat mengadvokasi isu kekerasan berbasis jender, khususnya perempuan dan anak korban kekerasan.
Selain berbenturan dengan adat istiadat dan agama, dia kerap mengalami kekerasan fisik dan psikis. ”Teror dan ancaman sewaktu-waktu yang sewaktu-waktu bisa mengancam keselamatan jiwa saya pribadi dan keluarga atau orang terdekat dengan saya. Hingga kini belum ada kebijakan khusus di Aceh yang memberikan perlindungan kepada kami,” ujar Eliyati.
Teror dan intimidasi kerap dialami perempuan pembela HAM yang aktif dalam pembelaan kasus berbasis jender, isu perempuan dan minoritas di berbagai kasus lingkungan, masyarakat adat, minoritas jender, keberagaman, masih mengalami perlakuan tidak manusiawi, hingga mengalami trauma.
Mereka hidup dalam lingkaran kekerasan. Ancaman, stigma, dan diskriminasi dalam berbagai bentuk, baik yang dilakukan oleh negara (pemerintah dan aparat penegak hukum) maupun kelompok patriarki berbasis agama, kelompok nasionalis militeristik serta korporasi kapitalis, menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari.
Perlindungan perempuan pembela HAM dinilai mendesak karena, berdasarkan kajian dan dokumentasi Koalisi Perempuan Pembela HAM, hingga kini para perempuan pembela HAM mengalami pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan karena identitas jender, hak politik, hak mereka berorganisasi, hak untuk bekerja, hak atas tanah, lingkungan (sumber daya alam) untuk hak perempuan perdesaan, perusakan benda, serangan digital, ancaman, stigma, dan intimidasi sebagai perempuan.
Bahkan, laporan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) berjudul ”Di Bawah Bayangan Negara dan Kekerasan Korporasi: Laporan Situasi Pembela HAM untuk Lingkungan Periode November 2017-Juli 2018” mencatat ada 10 persen (17 perempuan) mengalami kekerasan dan ancaman kekerasan. Namun, ada 44 persen (78 orang) yang tidak diketahui identitas jendernya, yang diperkirakan di dalam ada juga perempuan.
Di tengah perjuangan mengadvokasi kasus-kasus HAM, tidak hanya kesejahteraan terabaikan, para perempuan pembela HAM juga didera dengan kelelahan fisik saat berjuang, bahkan terganggu kesehatan hingga sakit dan meninggal. Seperti yang dialami pengacara HAM, Olga Hamadi (2016), dari Papua Barat dan perempuan petani, Patmi (2017), dari Kendeng, Jawa Tengah, yang meninggal karena sakit dan kelelahan saat menyuarakan isu-isu HAM.
Pada puncak peringatan HUT Ke-22 Komnas Perempuan, 28 Oktober 2020, Komnas Perempuan juga memberikan penghormatan kepada 11 perempuan pembela HAM yang telah meninggal. Ke-11 aktivis tersebut adalah Estu Fanani (mantan Direktur LBH APIK Jakarta), Ratih Purwarini (sukarelawan Komnas Perempuan), Rosniati (Solidaritas Perempuan/SP), Nurhidayah Arsyad (DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia), Den Upe Rambelayuk (koordinator Dewan AMAN), Lily Dorianty Purba (mantan perwakilan Indonesia di ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children), Yusan Yeblo (mantan komisioner Komnas Perempuan), Tapi Imas Ihromi Simatupang (akademisi/aktivis perempuan), Eyang Sri Sulistyawati (jurnalis di tahun 1950-an dan bekerja di koran Ekonomi Nasional), Cut Risma Aini (aktivis SP di Aceh), dan Christina Sumarmiaty (aktivis, korban kekerasan seksual tahun 1967).
Trauma berkepanjangan
Retty Ratnawati, anggota Komnas Perempuan, menegaskan, sebagai lembaga nasional HAM, Komnas Perempuan mencatat begitu banyak kasus kekerasan terhadap perempuan pembela HAM baik sebelum maupun saat pandemi Covid-19. Secara umum, bentuk kekerasan tidak mengalami perubahan, seperti ancaman, kriminalisasi, pelecehan, kekerasan seksual, serta terjadi di ruang sosial dan media sosial.
Namun, sesungguhnya dampak kekerasan tersebut menjadi lebih dalam akibat pandemi karena stres dan trauma panjang dialami perempuan pembela HAM, termasuk keluarga mereka. Demi mengatasi masalah kelelahan psikis dan mental, para perempuan pembela HAM berupaya melakukan penyembuhan secara personal atau bersama teman seperjuangan.
”Situasi ini tidak dapat terus-menerus dilakukan sendiri oleh perempuan pembela HAM. Upaya membantu mereka pulih sepatutnya juga dilakukan oleh negara melalui berbagai kebijakan yang memungkinkan mereka dapat bekerja dalam rasa aman dan tanpa kekerasan,” ujar Retty yang berharap ke depan perlindungan perempuan pembela HAM dari negara menjadi kenyataan.
Ririn Sefsani dari Koalisi Perempuan Pembela HAM berharap negara tidak hanya menghormati, tetapi juga mewujudkan perlindungan bagi perempuan pembela HAM. Dengan demikian, perlindungan terhadap perempuan pembela HAM hendaknya tidak hanya menjadi slogan, tetapi diwujudkan dalam praktik yang nyata.
Karena itulah, Koalisi Perempuan Pembela HAM menuntut pemerintah segera mengadopsi rekomendasi umum yang melindungi perempuan, terutama perempuan pembela HAM, termasuk yang mengadvokasi kasus-kasus di perdesaan, dengan membentuk badan sipil yang tidak memihak, independen, yang ditugaskan untuk menyelidiki pengaduan yang diajukan terhadap pejabat penegak hukum, dan memastikan para pelaku tindakan tersebut diadili.
Pemerintah juga hendaknya memastikan semua perempuan pembela HAM memiliki akses terhadap keadilan, melalui bantuan hukum, dan penyediaan pemulihan bagi korban. Selain itu, memastikan akuntabilitas sistem peradilan, sejalan dengan Rekomendasi Umum CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) atau Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan Nomor 33. Perempuan pembela HAM juga diharapkan menerima kompensasi yang memadai dan bentuk reparasi lain ketika mereka menjadi sasaran pelanggaran HAM.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati, pekan lalu, dalam sebuah acara di Komnas Perempuan, mengakui bahwa perempuan berada dalam kelompok rentan ketika berada dalam berbagai situasi konflik, termasuk saat mengadvokasi sejumlah kasus. Bahkan, pada masa pandemi Covid-19, perempuan rentan berbagai kekerasan.
”Padahal, tantangan yang melingkupi perempuan, terutama mereka yang menjadi korban konflik, masih menjadi pekerjaan rumah dan tugas kita bersama untuk diselesaikan di tengah situasi pandemi ini. Bahkan, patut menjadi kewaspadaan kita semua bahwa pandemi justru menambah daftar panjang kerentanan perempuan korban konflik,” ujar Darmawati.