Mendikbud: Masyarakat Tak Perlu Khawatir, Asesmen Nasional Bukan Pengganti Ujian Nasional
Pemerintah berharap masyarakat tidak perlu cemas menyikapi asesmen nasional yang akan dilaksanakan pada 2021. Masyarakat juga tidak perlu mengindahkan maraknya tawaran bimbingan belajar asesmen kompetensi minimum.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menegaskan, asesmen nasional tidak akan berdampak pada hasil rapor, kelulusan, dan penerimaan peserta didik baru. Masyarakat diharapkan bisa memahami bahwa asesmen nasional berfungsi untuk memetakan kondisi sistem pendidikan.
”Mohon masyarakat fokus pada proses logistik pelaksanaan, yaitu komputer dan jaringan. Asesmen kompetensi minimum (AKM), yang menjadi salah satu bagian asesmen nasional, tidak perlu dicemaskan. Soal AKM bersifat penalaran, bukan soal yang bisa dibahas di kursus bimbingan belajar (bimbel),” ujar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim saat menghadiri rapat kerja bersama Komisi X DPR, Senin (16/11/2020) siang, di Jakarta.
Dia berharap masyarakat tidak terhasut penawaran-penawaran kursus bimbel terkait AKM yang kini marak. Dia menjamin masyarakat tak perlu mengeluarkan uang. Peserta asesmen nasional, termasuk AKM, juga bukan semua siswa, melainkan sampling murid kelas V, VIII, dan XI.
Banyak sekali masyarakat menganggap asesmen nasional sebagai ganti ujian nasional. Mereka tidak menyadari bahwa fungsi asesmen nasional dan ujian nasional berbeda. Saya tekankan sekali lagi bahwa asesmen nasional tidak punya konsekuensi negatif kepada siswa. (Nadiem Makarim)
”Banyak sekali masyarakat menganggap asesmen nasional sebagai ganti ujian nasional. Mereka tidak menyadari bahwa fungsi asesmen nasional dan ujian nasional berbeda. Saya tekankan sekali lagi bahwa asesmen nasional tidak punya konsekuensi negatif kepada siswa,” ucap Nadiem.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud Totok Suprayitno menambahkan, asesmen nasional digunakan pemerintah sebagai landasan mengevaluasi kinerja sistem pendidikan, bukan hanya skor rerata. Perubahan hasil dari tahun ke tahun berikutnya dipakai untuk menilai kebijakan. Tidak akan ada peringkat hasil kepada siswa sehingga mereka tidak perlu khawatir akan dibanding-bandingkan.
Asesmen nasional dilaksanakan di semua sekolah, tetapi siswa yang ikut hanya sesuai sampling. Dengan demikian, semua daerah akan tahu kondisi hasil pelaksanaan sistem pendidikan sehingga mereka diharapkan mau memperbaiki.
Ujian nasional berbasis komputer meninggalkan infrastruktur komputer dan jaringan yang cukup kuat. Meski begitu, Kemendikbud tetap mengajukan anggaran sekitar Rp 150 miliar untuk persiapan asesmen nasional yang salah satunya menyangkut infrastruktur itu. Hal ini perlu dilihat sebagai investasi teknologi informasi komunikasi jangka panjang.
Pelaksanaan asesmen nasional dimulai dari jenjang menengah atas pada sekitar Juli 2021, lalu terakhir jenjang sekolah dasar pada sekitar Agustus 2021. Laporan hasilnya diharapkan keluar Oktober 2021. Inspektorat Jenderal Kemendikbud sedang menyusun peraturan dan uji coba asesmen nasional dilakukan November-Desember 2020.
Terkait dengan penawaran dari lembaga kursus bimbel, senada dengan Nadiem, Totok menyarankan pula agar orangtua dan guru tidak menyikapi. Mereka perlu memperbaiki proses pembelajaran yang menekankan penalaran.
”Tidak perlu cari lembaga kursus bimbel. Soal AKM bukan soal pilihan ganda, melainkan soal yang memerlukan penalaran kritis. Asesmen nasional mengubah paradigma proses pembelajaran dan kultur sekolah,” ujar Totok.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Pendidikan (PSKP) Nisa Felicia, Selasa (17/11/2020), di Jakarta, menyampaikan, dalam kegiatan Poros Pelajar Peduli Pendidikan secara daring, pekan lalu, PSKP menghadirkan sejumlah siswa SMA/SMK dari 18 kota/kabupaten dari seluruh Indonesia, mulai dari Takengon hingga Merauke dan dari Nunukan hingga Maumere. Para pelajar yang hadir pun memiliki latar belakang yang berbeda-beda mulai dari aktivis organisasi, pegiat riset keilmiahan, hingga penggagas inovasi.
Dalam kesempatan itu, mereka menyampaikan pandangannya terhadap kurikulum dan asesmen. Kebanyakan siswa menganggap asesmen nasional adalah ujian sehingga mayoritas pelajar takut, tertekan, pesimistis, cemas, dan panik. Mereka percaya bahwa pelaksanaan ujian melahirkan budaya mencontek.
Masukan mereka, pelaksanaan ujian bukan dipakai mengukur tolok ukur kepintaran seseorang, sistemnya disesuaikan dengan kemampuan individu dan tidak semua mata pelajaran diadakan asesmen. ”Cara terbaik menilai kompetensi siswa adalah ujian lisan yang membuat siswa tidak bisa mencontek, studi kasus, dan sekolah menilai proses anak,” ujar Nisa.