Fobia Sosial, Bukan Sekadar Malu-malu
Ketakutan berinteraksi atau bersosialisasi dengan orang lain yang menetap dan terjadi secara berkelanjutan dalam waktu lama merupakan tanda-tanda umum fobia sosial.
Bagi sebagian orang, bertatap muka dengan orang lain, berbicara di depan orang banyak, hingga berada di kerumunan adalah penderitaan. Perasaan takut diperhatikan orang lain dan khawatir atas bayangan situasi yang akan terjadi menimbulkan gugup hingga cemas. Jika situasi itu berlangsung lama dan terus menerus, saatnya kita sadar itu bukan sekedar malu-malu.
Ketakutan berinteraksi atau bersosialisasi dengan orang lain yang menetap dan terjadi secara berkelanjutan dalam waktu lama merupakan tanda-tanda umum fobia sosial, kecemasan sosial (social anxiety), atau kadang juga disebut demam panggung. Rasa takut itu muncul karena khawatir atas perhatian, tatapan, hingga penilaian orang tentang mereka yang seringkali semu.
"Rasa takut dan cemas saat akan bertemu seseorang sebenarnya wajar, semua orang pernah mengalami. Namun jika terjadi terus menerus, itu baru tidak wajar," kata pencipta konten kesehatan mental @mudahbergaul yang juga mahasiswa psikologi Universitas Gunadarma Depok Dimas Alwin Haryono dalam diskusi virtual kecemasan sosial dari Jakarta, Jumat (6/11/2020).
Situasi itu membuat penderita fobia sosial menghindari interaksi dengan orang lain hingga menjadi sulit bergaul. Mereka cenderung menghindari aktivitas sosial, seperti berteman, sekolah, menghadiri reuni keluarga, nongkrong di kafe atau aktivitas lain yang melibatkan banyak orang. Bahkan, sebagian orang jadi sulit berkencan atau membangun hubungan asmara.
Saat berada di keramaian, penderita kecemasan sosial akan mencoba untuk tidak terlihat di depan umum. Ia seperti ada namun tidak ada.(Dimas Alwin Haryono)
"Saat berada di keramaian, penderita kecemasan sosial akan mencoba untuk tidak terlihat di depan umum. Ia seperti ada namun tidak ada," tambah Dimas. Kalaupun diajak bicara orang lain, mereka umumnya akan menghindari tatapan mata dan menjadi gugup.
Saat kecemasan datang, menurut dokter spesialis kedokteran jiwa ahli psikosomatik di Rumah Sakit Omni Alam Sutera, Tangerang Selatan, Andri, gejala fisik yang paling sering muncul umumnya melibatkan tiga organ somatik, yaitu jantung, lambung dan paru-paru.
Akibatnya, "Jantung berdebar, mual ingin muntah, rasa melayang atau gemetar serta sesak napas hingga sulit bicara," katanya. Gejala lain yang turut menyertai munculnya kecemasan itu bisa berupa berkeringat, wajah memerah, mulut kering, pusing, otot tegang, hingga merasa pikiran kosong.
Mengutip Harvard Women\'s Health Watch, Desember 2008, sebanyak 12 persen orang dewasa di Amerika Serikat pernah menderita fobia sosial pada satu waktu tertentu dalam hidupnya dan tiap tahunnya ada 7 persen orang yang mengalaminya.
Di Indonesia, tidak ada data pasti jumlah orang yang menderita kecemasan sosial. Namun Riset Kesehatan Dasar 2018 menyebut 9,8 persen penduduk berumur lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional. Sementara hasil swaperiksa Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia pada 4 April-7 Oktober 2020 atau selama pandemi Covid-19 ada 67,4 persen responden melaporkan cemas.
Bukan malu-malu
Meski demikian, fobia sosial bukanlah malu-malu biasa. Dikutip dari situs Social Anxiety Institute yang didirikan psikolog Thomas A Richards dari AS, orang yang pemalu bisa saja memiliki kecemasan sosial, namun tidak semua orang yang fobia sosial adalah pemalu. Fobia sosial juga tidak selalu identik dengan orang introvert atau berkepribadian tertutup karena orang ekstrovert pun bisa mengalami kecemasan sosial.
Pemalu dianggap sebagai salah satu bentuk kepribadian.Mereka yang pemalu tidak memandang karakternya itu sebagai emosi negatif seperti yang dialami penderita kecemasan sosial. Mereka yang pemalu lebih mudah menjalani hidupnya dengan normal, sedangkan penderita gangguan fobia sosial merasa tertekan dengan kecemasan yang dirasakan.
Fobia yang dialami menghambat penderitanya melakukan apa yang mereka ingin atau harus lakukan. Ketakutan itu bisa muncul saat seseorang akan presentasi, bertemu anggota keluarga lebih tua atau bertemu orang penting. Namun bisa saja kecemasan itu datang saat bertemu orang baru, pergi ke sekolah atau bekerja, makan di tempat umum, antre, hingga pergi ke toilet umum.
Baca juga: Makin Lama Pandemi, Kecemasan dan Depresi Meningkat
Sementara itu, Harvard Mental Health Letter, Maret, 2010 menyebutkan hal yang membedakan malu-malu dengan kecemasan sosial adalah beratnya tekanan dan gangguan yang ditimbulkan. Mereka yang menderita kecemasan sosial lebih berpotensi putus sekolah, lebih berisiko kehilangan pekerjaan, bahkan berpeluang lebih kecil menikah.
Karena itu, Andri mengingatkan pentingnya untuk memeriksakan diri gangguan kecemasan yang dialami kepada tenaga kesehatan, baik dokter, psikiater atau psikolog, tidak menganalisis dan menyimpulkan sendiri kondisi mental yang dihadapi.
"Walau mengalami tanda-tanda kecemasan sosial, belum tentu yang mereka alami itu adalah kecemasan sosial. Pastikan dengan memeriksakan diri ke profesional kesehatan," katanya.
Disepelekan
Meski nyata mengganggu kehidupan sehari-hari serta memengaruhi produktivitas dan berkembangnya potensi individu, nyatanya fobia sosial masih disepelekan. Di AS saja, hanya separuh orang dengan gangguan fobia sosial yang mendapat pengobatan.
Di Indonesia kemungkinan tak terobatinya kecemasan sosial lebih besar lagi. Studi Organisasi Kesehatan Dunia menyebut kesenjangan layanan kesehatan jiwa di negara berpendapatan menengah bawah mencapai lebih dari 80 persen. (
Kompas, 21/10/2020)
Gangguan ini biasanya muncul sejak usia remaja, antara 10-19 tahun. Dikutip dari situs Mayo Clinic, jaringan rumah sakit terkemuka di AS, pemicu fobia sosial itu beragam. Salah satunya adalah diturunkan dari orangtua meski kondisi ini belum jelas apakah disebabkan karena persoalan genetika atau akibat perilaku yang dipelajari anak dari orangtuanya.
Pada penderita kecemasan sosial, amigdala atau bagian otak yang mengontrol emosi dan mengendalikan respon terhadap rasa takut mereka menjadi sangat aktif. Akibatnya, rasa takut seseorang terhadap sesuatu menjadi berlebihan hingga memicu kecemasan saat menghadapi situasi sosial tertentu.
Kecemasan sosial juga bisa disebabkan masalah lingkungan, khususnya akibat trauma masa lalu. Penderita fobia sosial umumnya pernah mengalami situasi sosial yang tidak menyenangkan atau memalukan, mendapat hinaan, perisakan, mengalami penolakan, menghadapi konflik keluarga, hingga jadi korban pelecehan.
Selain itu, orang yang memiliki kondisi fisik yang menarik perhatian, seperti ada kerusakan wajah, gagap, atau gemetar akibat penyakit Parkinson, akan meningkatkan kesadaran diri hingga membuatnya mudah cemas. Bahkan, orangtua yang terlalu melindungi anaknya juga bisa menyebabkan anak menjadi mudah cemas saat mereka tumbuh dewasa.
Jika tidak diobati, fobia sosial bisa memicu rendahnya kepercayaan diri, sulit bersikap tegas, berpikir negatif tentang diri, dan hipersensitif atas kritik. Keterampilan sosial mereka juga akan buruk, sulit membangun relasi sosial, serta prestasi dan kinerja rendah. Bahkan, mereka bisa mengembangkan perilaku merusak, seperti penyalahgunaan obat terlarang dan alkohol hingga keinginan bunuh diri.
Andri mengatakan banyak terapi bisa diberikan untuk mengatasi kecemasan sosial, baik terapi obat menggunakan antidepresan SSRI (selective serotonin reuptake inhibitor) maupun psikoterapi. "Obat saja tidak cukup. Kecemasan yang muncul perlu dialihkan melalui upaya desensitivitas terhadap sumber kecemasan secara bertahap," katanya.
Obat memang memberi dampak lebih cepat untuk mengatasi kecemasan, tetapi manfaatnya tidak akan berkelanjutan seperti psikoterapi. Salah satu psikoterapi yang bisa diberikan adalah terapi perilaku kognitif (cognitive behavioral therapy/CBT) untuk melatih penderita mengubah cara berpikir dan berperilaku saat menghadapi situasi yang mereka takutkan.
Pemaparan dengan sumber kecemasan itu bisa dilakukan secara berjenjang, mulai dari membayangkan situasi, penguatan diri, hingga menghadapi sumber kecemasan secara langsung. Penderita umumnya juga dibekali dengan sejumlah teknik rileksasi, seperti pernapasan dalam, yang membantu mereka lebih tenang saat kecemasan itu datang.
Namun berbagai terapi itu juga tidak akan membuahkan hasil optimal selama tidak ditunjang oleh gaya hidup sehat. Olahraga teratur, makan bergizi seimbang, membangun pikiran positif, menghindari konsumsi alkohol dan obat terlarang, membangun relasi sosial secara bertahap, hingga tidur malam cukup.
Baca juga: Mayoritas Warga Cemas Selama Pandemi Covid-19, Butuh Layanan Dukungan Psikososial
Karena itu, kepedulian terhadap kecemasan sosial adalah gerbang awal untuk bisa mengatasi gangguan ini. Penyakit mental bisa diobati dan diterapi, sama seperti penyakit fisik. Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Karena itu tanpa keduanya, tidak akan ada kehidupan manusia yang berkualitas dan sejahtera.