Bagi aktris Dian Sastrowardoyo, pandemi menjadi momentum menyadari kembali bagaimana pendidikan nonformal menjadi hal yang penting, bahkan bagi komunitas yang memiliki akses terbatas terhadap kemajuan kota besar.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Disrupsi besar akibat pandemi Covid-19 tidak hanya menyebabkan pendidikan wajib tidak berjalan ideal, tetapi juga telah mengurangi kesempatan anak muda mengikuti kegiatan pendidikan nonformal, seperti kursus dan pelatihan. Padahal, pendidikan informal dapat memberikan bekal kehidupan yang sering tidak bisa didapatkan dari bangku sekolah.
Dampak pembatasan sosial terhadap penyelenggaraan pendidikan anak juga dirasakan aktris Dian Sastrowardoyo yang juga pendiri dari Yayasan Dian Sastrowardoyo (YDS). Sebagai seorang ibu, Dian menilai bahwa jelas pembelajaran jarak jauh bukanlah cara mendidik yang ideal.
Selain itu, Dian menilai, dalam segala kepanikan yang terjadi pada sektor penyelenggaraan pendidikan formal, kegiatan belajar nonformal, seperti kursus dan pelatihan keterampilan khusus, juga perlu tetap mendapat perhatian.
”Kegiatan seperti kursus-kursus ini bisa menambah skill yang mungkin life-changing,” kata Dian dalam acara bincang virtual IdeaTalks bertema ”Knowledge for All Increasing Access to Education for Underserved Communities” yang digelar virtual, Jumat (13/11/2020), bersama Managing Partner Magnifique Indonesia Arifaldi Dasril.
Keduanya adalah pemrakarsa M-Class, sebuah rangkaian webinar yang berfokus membagikan pengetahuan dan keterampilan mengenai industri kreatif Indonesia bagi kelompok masyarakat dengan akses ekonomi dan geografis yang rendah.
Arifaldi juga memiliki pandangan yang sama. Pekerjaannya di bidang komunikasi membuatnya menyadari bahwa dengan munculnya pandemi, jumlah kegiatan seminar ke kampus dan sekolah yang digelarnya bersama klien perusahaannya semakin sedikit.
Selain itu, Arifaldi juga menyadari bahwa keberadaan pendidikan nonformal sebagai pendamping pendidikan wajib juga semakin hilang. Padahal, sering kali, keterampilan yang diajarkan dapat melengkapi ilmu dari pendidikan formal untuk memasuki jenjang profesional.
”Kegiatan-kegiatan ini padahal sangat bermanfaat. Biasanya masih ada gap dari pendidikan dengan dunia kerja,” katanya.
Arifaldi pun mencontohkan pada beberapa waktu yang lalu, M-Class dengan topik belajar koding digelar dengan peserta lebih dari 100 anak muda yang tidak mampu melanjutkan kuliah ataupun putus kuliah.
Pada September pun, kata Dian, YDS bersama Magnifique Indonesia menggelar M-Class mengenai industri film nasional dengan peserta khusus para siswa di Papua.
Dian mengatakan, hal ini tidak dapat terlaksana tanpa adanya gelombang digitalisasi yang terjadi akibat pandemi Covid-19. Menurut dia, teknologi digital telah benar-benar menjadi alat untuk melakukan demokratisasi informasi dan pengetahuan.
”Kursus penyutradaraan, misalnya, ini biasanya cuma available di kota-kota besar. Jadi, dengan digitalisasi ini lebih aksesibel buat yang di luar Jakarta. Ini jadi demokratisasi akses terhadap informasi dan diskusi,” kata Dian.
Berbagi
Dengan adanya pandemi ini, membuat Dian merasa bahwa akses terhadap ilmu dan pengajar selama ini kurang terapresiasi. ”Dengan pandemi, enggak bisa ketemu pengajar langsung. Ternyata impact-nya esensial, gitu,” kata Dian.
Oleh karena itu, menurut dia, perlu bagi siapa pun yang memiliki ilmu dalam bidang apa pun untuk berbagai pengetahuan seluas mungkin. Jadi, akan semakin banyak orang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan tersebut. Pada akhirnya Indonesia akan semakin maju.
”Biar ilmu yang kita miliki ini lebih merata. Tidak harus berbasis bisnis, kalau bisa free. Jangan sampailah argo jalan melulu,” kata Dian.