Pengetahuan Pelajar soal Bahaya Rokok Masih Tetap Rendah
Rokok hingga kini menjadi ancaman terselubung bagi masa depan anak-anak di Indonesia. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, prevalensi anak-anak yang merokok meningkat tajam, bahkan di ASEAN Indonesia peringkat pertama.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati sosialiasi tentang bahaya rokok terhadap kesehatan sudah sering dilakukan, hingga kini pengetahuan masyarakat, terutama pelajar masih saja tetap rendah. Berbagai upaya untuk mencegah anak-anak terpapar dengan zat adiktif berupa produk tembakau juga belum menyentuh langsung ke sasaran. Kenyataannya anak-anak masih terpapar rokok.
”Data memperlihatkan bahwa pengetahuan pelajar tentang bahaya rokok masih rendah sehingga bisa dipahami bahwa prevalensi merokok di kalangan anak dan remaja meningkat,” ujar Sumarjati Arjoso (Ketua Tobacco Control Support Center, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia /IAKMI), pada Rapat Koordinasi tentang ”Peningkatan Efektivitas Perlindungan Anak dari Paparan Rokok” yang diselenggarakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Senin (2/11/2020) secara daring.
Menurut Sumarjati, pemerintah masih ”mendengarkan” intervensi Industri rokok dalam pengambilan kebijakan seperti kenaikan cukai dan impor tembakau sehingga kebijakan tidak berfokus pada kesehatan untuk mencapai visi Indonesia menuju sumber daya manusia unggul, Indonesia maju.
Selain Sumarjati, rakor yang dibuka Ketua KPAI Susanto juga menghadirkan pembicara Riskiyana Sukandhi Putra, Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan dan Vivien Sungkono, dan anggota Komite Eksekutif/Exco Persatuan Sepak Bola Indonesia.
Riskiyana saat memaparkan situasi dan kondisi prevalensi merokok di Indonesia menyatakan, dalam beberapa tahun terakhir, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 terjadi peningkatan persentase perokok usia muda antara 10-18 tahun sebesar 9,1 persen.
”Untuk kawasan ASEAN, perokok usia 13-15 tahun Indonesia menduduki peringkat pertama dengan angka 19,4 persen berdasarkan Global Youth Tobacco Survey 2014-2016,” kata Riskiyana.
Bahkan, target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional untuk menurunkan prevalensi perokok di bawah umur 5,4 persen di tahun 2019 tidak bisa tercapai dan prevalensi perokok di bawah umur justru meningkat dari 7,2 persen pada tahun 2013 menjadi 8,8 persen pada 2016 dan terus meningkat hingga 9,1 persen tahun 2018.
Apabila tidak didukung seluruh sektor, Riskiyana mengingatkan prevalensi perokok usia 10-18 tahun akan meningkat menjadi 16 persen di tahun 2030.
Rekomendasi KPAI
Dari situasi dan kondisi itulah, KPAI perwakilan kementerian/lembaga serta perwakilan lembaga masyarakat merekomendasikan sejumlah langkah yang harus dilakukan pemerintah, yakni segera merevisi Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Selain larangan sponsor, promosi iklan rokok agar anak tidak rentan terpapar termasuk di internet, dalam revisi PP No 109/2012 harus mengatur pembesaran pencantuman peringatan bergambar bahaya merokok sampai dengan 90 persen; pencantuman tulisan di bungkus rokok, dilarang dijual kepada usia anak (dibawah 18 tahun); serta melarang penjualan rokok batangan/ketengan; dan mengatur dengan ketat produksi, konsumsi, dan distribusi rokok elektronik.
Kami merekomendasikan agar partisipasi anak harus didorong untuk mencegah anak sebagai perokok pemula dan melarang pihak-pihak yang bekerja dengan anak agar bebas dari rokok, termasuk tidak bekerja sama dengan industri rokok dan afiliasinya. (Rita Pranawati)
Sosialisasi bahaya rokok bagi anak-anak melalui sekolah dan madrasah bebas rokok harus ditingkatkan, serta mengaktifkan kembali Unit Kesehatan Sekolah (UKS). ”Selain itu, kami merekomendasikan agar partisipasi anak harus didorong untuk mencegah anak sebagai perokok pemula dan melarang pihak-pihak yang bekerja dengan anak agar bebas dari rokok, termasuk tidak bekerja sama dengan industri rokok dan afiliasinya,” kata Rita Pranawati, Wakil Ketua KPAI.
Penguatan keluarga bebas rokok, termasuk bagi calon pengantin, sebagai upaya perlindungan anak dan pencegahan tengkse, juga menjadi bagian dari rekomendasi KPAI. Termasuk mendorong bebas iklan rokok sebagai indikator Kota Layak Anak (KLA) sebagai syarat mutlak capaian KLA, serta mendorong regulasi semua cabang olahraga tanpa rokok melalui Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
”Pada prinsipnya, kami mendukung perubahan PP No 109 Tahun 2012 karena target menurunkan perokok pemula enggak tercapai. Kami tidak melihat rokok hanya satu aspek, tapi juga aspek kemiskinan yang akan merambat pada isu perlindungan anak lainnya, mulai dari kesehatan, karena kan dekat sekali dengan tengkes, infeksi saluran pernapasan akut, dan lain-lain,” papar Rita.