Panggilan Zaman Generasi Pembelajar
Sekolah tak hanya membuat siswa pintar dan berpengetahuan luas. Namun yang lebih penting, menghasilkan siswa yang punya hati dan mampu bekerjasama dengan orang lain, dua hal yang tak bisa digantikan oleh teknologi
Kemajuan teknologi memengaruhi karakteristik dan cara pandang generasi muda saat ini, juga masa depan mereka. Mereka lebih terbuka dan kritis, dan lebih siap berubah dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Karena itu, memahami generasi muda saat ini tidak bisa dengan membandingkan mereka dengan generasi sebelumnya. Demikian pula, menyiapkan masa depan mereka tidak bisa dengan cara-cara yang dilakukan terhadap generasi sebelumnya.
Lahir di era kemajuan teknologi membuat generasi muda saat ini cepat menguasai teknologi. Namun, teknologi yang berkembang pesat secara eksponensial juga menyebabkan perubahan yang sangat cepat, tidak terduga, dan penuh ketidakpastian.
Daya komputasi yang berlipat berpotensi menghilangkan jutaan pekerjaan, tetapi juga berpotensi menciptakan lebih banyak pekerjaan dan peluang baru. Kompetensi baru yang tak tergantikan teknologi menjadi syarat mutlak untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut.
Otomatisasi dan perubahan yang sangat cepat itulah tantangan terbesar dunia pendidikan saat ini karena apa yang dipelajari saat ini seolah tidak lagi relevan ketika anak didik menyelesaikan pendidikannya. Pasalnya, sekolah atau pendidikan seringkali dimaknai sebagai tempat mempersiapkan tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan industri.
Baca juga Pemuda Adaptif Lebih Dibutuhkan Saat Ini
Menurut Wakil Rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Ouda Teda Ena, hal tersebut tidak sepenuhnya salah. Namun ketika masa depan berubah dengan cepat, paling pas kalau sekolah dan universitas lebih berorientasi pada proses pembelajaran yang kreatif. “Sekolah hendaknya mengasah keterampilan berpikir, bukan keterampilan bekerja,” ujarnya ketika dihubungi di Yogyakarta, Senin (26/10/2020).
Apalagi realitas saat ini, pengangguran terdidik justru lebih tinggi dibandingkan yang berpendidikan rendah. Indeks Pembangunan Pemuda 2019 yang mencatat capaian tinggi di bidang pendidikan (70 persen), ternyata tidak berbanding lurus dengan bidang lapangan dan kesempatan kerja (45 persen). Ini mengindikasikan ada masalah pada sisi produktivitas tenaga kerja. Dan tantangan ke depan akan lebih besar lagi.
Karena itu, mengajak siswa menghadapi permasalahan yang mungkin terjadi di masa depan, mengenalkan pengalaman baru kepada siswa akan membuat siswa belajar dan mudah beradaptasi terhadap berbagai situasi. Menumbuhkan rasa ingin tahu yang tinggi akan mendorong siswa terus belajar.
Untuk ini, guru atau pendidik harus mengubah metode pembelajaran mereka. Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia yang juga Guru Besar Fakultas Teknik Institut Teknologi Bandung Satryo Soemantri Brodjonegoro, Sabtu (24/10), mengatakan, saat ini bukan zamannya lagi guru mengajari siswa, tetapi harus membelajarkan siswa. Membuat siswa belajar, guru pun belajar bersama siswa.
“Saya dan mahasiswa saya sepakat mencari persoalan masa depan dan bersama-sama mencari solusinya. Misalnya, pada 2045 apakah persediaan air yang ada cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia di dunia. Bagaimana cara membuat skenario atau program agar air tersebut cukup. Dari sini akan muncul dialog, diskusi, dan kerja sama memecahkan permasalahan,” kata Satryo.
Baca juga Jangan Remehkan Generasi Z
Hasilnya tidak ada yang benar ataupun salah, semua ide bisa menjadi alternatif solusi dengan semua penjelasan logisnya. Ini akan mendorong siswa berani berpikir, berbeda pendapat, dan mengambil risiko. Dengan tantangan ke depan yang tidak pasti, berpikir tidak bisa lagi linear, tetapi dinamis sesuai tantangan yang ada.
Fungsi guru atau pendidik di sini sebagai fasilitator dan karena itu mereka harus diberi keleluasaan untuk memaksimalkan pembelajaran sesuai kondisi yang berlaku. “Beri kebebasan guru untuk mendidik siswa,” kata Satryo.
Namun sistem pendidikan saat ini belum sepenuhnya mendukung ekosistem tersebut. Dalam masa pandemi Covid-19 ini misalnya, ketika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan tiga pilihan kurikulum darurat untuk sekolah, dalam praktiknya pemerintah daerah melalui dinas pendidikanlah yang menentukan opsi mana yang harus dipilih sekolah.
Tantangan besar
Tantangan terbesar memang ada sekolah dan terutama para guru dalam menghadapi anomali, ketidakpastian, kerumitan, dan ketidakjelasan akibat perkembangan teknologi. Idealnya, kata Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim, desain kebijakan pendidikan nasional mampu menjawab tantangan tersebut.
Baru kemudian turunannya yakni tentang strategi pembelajaran oleh guru di sekolah. “Bagaimana guru memberikan pengalaman pembelajaran yang bermakna terhadap kehidupan siswa, juga pengalaman baru yang membuat siswa belajar dan mudah beradaptasi terhadap berbagai situasi,” katanya.
Sekolah dan terutama para guru dalam menghadapi anomali, ketidakpastian, kerumitan, dan ketidakjelasan akibat perkembangan teknologi.
Kemajuan teknologi tidak hanya akan menghadapkan siswa pada tantangan di dunia kerja yang belum pasti, tetapi juga kesadaran baru bahwa mereka hidup di “desa global”. Teknologi digital yang menghilangkan sekat-sekat tradisional antarbangsa telah menghubungkan antarwarga dunia. Merawat rasa cinta terhadap bangsa dan Tanah Air pun menjadi kebutuhan.
Generasi muda saat ini. menurut Ouda, mempunyai rasa nasionalisme dan kebangsaan yang besar. Akan tetapi, keterikatan mereka bukan lagi pada Tanah Air, bukan lagi pada hal-hal bersifat fisik semata, tetapi lebih pada nilai-nilai dari bangsa Indonesia.
Menjadi tanggung jawab orangtua, guru, pemerintah, dan semua orang untuk membangun dan mengembangkan keterikatan nilai-nilai tersebut dengan generasi muda. Itu dilakukan bukan dengan membandingkan mereka dengan generasi lama, tetapi mendefinisikan ulang nasionalisme atau kesadaran kolektif sebagai sebuah bangsa.
Bangsa kita terbentuk bukan dari satu wilayah atau satu etnisitas tertentu, tetapi dari sebuah ide atau bahkan sebuah imajinasi. “Maka yang perlu kita rawat dan kembangkan adalah ide tentang bangsa Indonesia. Bersama kaum muda kita harus bertanya, apa sih menjadi Indonesia, apa sih mengindonesia? Semakin anak Indonesia menjelajah dunia, dia akan semakin mengindonesia, baik penjelajahan sesungguhnya ataupun penjelajahan virtual,” kata Ouda.
Baca juga Muda, Bersepeda, dan Abai Virus Korona
Didukung pendidikan yang mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kolaboratif, bukan tantangan sulit untuk membuat para pemuda dan remaja dari berbagai daerah di Indonesia mempunyai “ikatan batin” sebagai saudara sebangsa. Teknologi digital akan menjembataninya.
Dengan memanfaatkan teknologi digital, mereka akan memenuhi panggilan zamannya, untuk mengisi kemerdekaan dan memupuk persatuan dan cinta Tanah Tanah Air sebagaimana generasi-generasi pendahulu mereka.