Memasukkan klausul perizinan sektor pendidikan dalam RUU Cipta Kerja dinilai membuka peluang komersialisasi pendidikan. Apalagi RUU ini dimaksudkan untuk memberi kemudahan berusaha bagi pemilik modal.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak berdiri, bangsa ini sudah menyepakati bahwa pendidikan adalah hak setiap warga dan negara wajib membiayai. Pendidikan juga menjadi prasyarat utama untuk mencapai dan merawat empat tujuan negara yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, salah satunya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Karena itu, pendidikan tidak seharusnya diperlakukan sebagai komoditas. Mengategorikan pendidikan sebagai kegiatan usaha, sekalipun itu usaha jasa, sama halnya menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan. Hal ini bukan hanya mengarah ke komersialisasi pendidikan, melainkan juga bertentangan dengan UUD 1945.
Penjelasan pemerintah dan Badan Legislasi DPR bahwa pendidikan tetap berprinsip nirlaba meskipun perizinan sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha dinilai bukan jaminan tidak ada komersialisasi pendidikan. Menurut pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa, Ki Darmaningtyas, Rabu (14/10/2020), Pasal 65 di Paragraf 12 Pendidikan dan Kebudayaan RUU Cipta Kerja yang telah disetujui DPR menjadi undang-undang justru memberikan legalitas kuat pada proses komersialisasi pendidikan.
Pasal 65 itu menyebutkan, ”Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini” (Ayat 1). ”Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah” (Ayat 2).
”Kalau kita mau jujur, negara ini lahir karena memperlakukan pendidikan bukan sebagai alat komersialisasi. Kalau kita lihat tonggak-tonggak perjalanan pendidikan, benih kesadaran mengenai pendidikan kita, pendidikan bukan untuk komersial,” kata Guru Besar Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta Hafid Abbas di Jakarta, Kamis (15/10/2020).
Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi mengatakan, Pasal 65 tersebut dicantumkan untuk menjembatani pendirian lembaga pendidikan di kawasan ekonomi khusus atau KEK (Kompas, 9/10/2020). Dalam rapat rapat Panitia Kerja RUU Cipta Kerja DPR dengan pemerintah pada 24 September 2020 yang diunggah di kanal Youtube DPR, Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ainun Naim mengatakan, pendidikan tetap berprinsip nirlaba meski di KEK.
Terkait perguruan tinggi asing, Ainun mengatakan, karena kluster pendidikan telah dicabut dari RUU Cipta Kerja, pendirian perguruan tinggi asing di KEK mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan yang berlaku. Perguruan tinggi yang masuk ke Indonesia pun diseleksi, hanya yang bereputasi bagus.
”Selama ini sudah ada perguruan tinggi (asing) yang masuk (mengajukan izin masuk ke Indonesia), yang bereputasi tinggi maupun yang tidak bereputasi. Yang tidak bereputasi itu langsung kami tolak. Tujuan menerima perguruan tinggi asing untuk meningkatkan kualitas (pendidikan). Jadi, kalau tidak berkualitas, langsung kita tolak,” kata Ainun dalam rapat tersebut.
Praktik seperti itu, yaitu menerima sekolah atau perguruan tinggi asing, menurut Hafid, juga merupakan bentuk komersialisasi, kapitalisasi, dan liberalisasi pendidikan meski juga jamak dilakukan sejumlah negara. Malaysia, misalnya, memberi kebebasan negara lain berinvestasi pendidikan di negaranya, tetapi diatur hanya di Serawak, daerah terisolasi dan tertinggal.
Itu artinya, ”Pendidikan (dijadikan) sebagai alat dagang, diperjualbelikan. Tetapi, sebenarnya kalau bisa dipahami, kita itu mengelola pendidikan bukan untuk memberi kesempatan negara lain untuk mendidik, mendikte anak-anak kita, mendikte bagaimana pendidikan yang baik, mengapa bukan kita yang mengatur,” kata Hafid.
Pascareformasi
Darmaningtyas mengatakan, upaya komersialisasi pendidikan ini bukan hanya di RUU Cipta Kerja, melainkan sejak reformasi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Peraturan pemerintah inilah yang melahirkan sejumlah perguruan tinggi negeri menjadi perguruan tinggi badan hukum milik negara (PTBHMN).
Ini menandai era baru pendidikan tinggi negeri menjadi komoditas yang diperdagangkan alias dikapitalisasi. Sejak itu, sejumlah perundang-undangan dan peraturan menempatkan pendidikan memberi peluang komersialisasi pendidikan, termasuk UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan juga Pasal 50 Ayat (3) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal 50 Ayat (3) ini mengatur keberadaan sekolah bertaraf internasional (SBI) yang menjadi dasar pengembangan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI).
”Mengatur izin pendirian lembaga pendidikan di dalam RUU Cipta Kerja berarti pemberi izin penyelenggaraan pendidikan bukan hanya Kemendikbud, tetapi juga institusi lain di luar Kemendikbud. Ini berarti menghidupkan kembali ruh UU BHP yang sudah dibatalkan oleh MK pada 31 Maret 2010,” kata Darmaningtyas.
Upaya komersialisasi pendidikan akan terus terjadi, disadari ataupun tidak, selama sejumlah peraturan perundang-undangan yang memberi peluang ke sana belum direvisi. Pasal 65 UU Sisdiknas, misalnya, mengatur lembaga pendidikan asing dapat mendirikan sekolah/kampus di Indonesia. Selain itu, UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal memasukkan pendidikan ke dalam sektor yang terbuka untuk penanaman modal asing.
UU No 25/2007 menjadi dasar pembuatan Peraturan Presiden Nomor 76 dan 77 Tahun 2007 yang kemudian direvisi menjadi Perpres No 111/2007 dan Perpres No 36/2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
”Semestinya peraturan-peraturan tersebut harus di-review (judicial review) di MK supaya persoalan pendidikan adalah wilayah yang tidak tersentuh atau digunakan sebagai komoditas dagang,” kata Hafid.