Berbagai macam situasi bermunculan selama pandemi Covid-19, termasuk aksi unjuk rasa menyoal Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Menyikapi kondisi tersebut, hak anak atas pendidikan perlu selalu diutamakan.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Perlindungan Anak Indonesia mendorong hak anak atas pendidikan layak tetap terpenuhi selama terjadi aksi demonstrasi Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Pemenuhan pembelajaran peserta didik perlu selalu mengedepankan prinsip inklusif dan multikultur.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, Rabu (14/10/2020), di Jakarta, mengaku menerima sejumlah pengaduan melalui aplikasi pesan instan mengenai adanya pemerintah daerah yang mengancam memberikan sanksi kepada anak-anak yang ikut unjuk rasa Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Misalnya, ancaman dikeluarkan, dimutasi ke pendidikan paket C, atau dipindah ke sekolah yang berlokasi di pinggiran.
Menurut informasi yang dia dapat, Dinas Pendidikan Sumatera Selatan menyampaikan gertakan kepada pelajar yang masih mengikuti belajar dari rumah, tetapi keluar rumah dan ikut rombongan pengunjuk rasa. Gertakannya adalah siapa pun pelajar yang ikut berdemonstrasi diminta ambil paket C atau pindah sekolah ke pinggiran kota.
Retno juga menerima pengaduan terkait ancaman Pemerintah Kota Depok kepada anak yang ikut demonstrasi dan berakhir anarkistis. Isi ancamannya adalah anak bersangkutan akan dikeluarkan dari sekolah.
”Kami mengapresiasi pemerintah daerah yang mengeluarkan imbauan agar usia anak tidak ikut aksi unjuk rasa RUU Cipta kerja dengan alasan keamanan dan kesehatan. Akan tetapi, upaya melarang dengan menyertakan gertakan sanksi bukan kebijakan yang tepat,” katanya.
Retno memandang, satuan pendidikan dan pemerintah daerah melalui satuan pendidikan bisa membina anak yang ikut unjuk rasa. Namun, mereka harus melakukannya dengan berkoordinasi dengan wali kelas, guru bimbingan konseling, dan orangtua. Sanksi mengeluarkan atau mutasi bukan langkah tepat.
Jika langkah itu yang diambil, anak kehilangan hak atas pendidikan karena kemungkinan besar satuan pendidikan tujuan enggan menerima pelajar dengan catatan dikenai sanksi akibat ikut demonstrasi.
Inklusif
Retno mengingatkan, selama masa pandemi Covid-19 berlangsung, model pendidikan inklusif perlu dikedepankan. Modifikasi ataupun perubahan pembelajaran sehingga anak tetap mendapatkan hak atas pendidikan layak.
Sekolah ataupun dinas perlu rutin membenahi layanan pendidikan inklusif. Misalnya, identifikasi kesenjangan dan pemetaan, mengupayakan keberagaman sumber belajar, penyempurnaan aksesibilitas dari modul dan repositori materi ajar era Covid-19, serta pelatihan daring strategi pembelajaran yang berpusat pada anak.
Dosen Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, memandang, pendidikan multikultural juga bisa diterapkan selama masa pandemi meskipun dibatasi waktu dan ruang. Hal ini disebabkan pendekatan pendidikan ini mempunyai prinsip dialog dan kesetaraan. Prinsip pendidikan multikultural adalah semua peserta didik berhak mendapatkan pendidikan.
Kepala SMP Negeri 28 Surabaya, Jawa Timur, Tri Woro Parnoningrum menceritakan, berbagai macam pengalaman keluarga membuat anak menjadi terbuka. Aneka situasi sosial baru juga bermunculan selama pandemi Covid-19.
Dia memilih sedini mungkin mempersiapkan prosedur standar operasi sekolah lebih inklusif dan humanis. Pelayanan kami kepada siswa menjadi banyak penyesuaian, seperti harus praktik guru kunjung dan perlakuan khusus bagi keluarga yang perekonomiannya terdampak pandemi.