Kala Penari Beradaptasi di Depan Kamera dan di Balik ”Face Shield”
Pandemi memaksa banyak pihak mencari cara baru untuk beradaptasi. Tak terkecuali penari tradisional. Mereka kini harus membiasakan menari dengan pelindung wajah dan menari di depan kamera agar tetap bisa berkesenian.
Pandemi memaksa banyak pihak mencari cara baru untuk beradaptasi. Tak terkecuali para penari tradisional. Mereka kini harus membiasakan menari dengan pelindung wajah dan menari di depan kamera agar tetap bisa berkesenian.
Tangan Agus Haryanto (35) kaku memegang telepon selulernya. Ia harus memastikan gambar video yang ia rekam tidak terlalu banyak goyangan. Dari layar telepon seluler itu, ia memastikan penarinya menari dengan indah.
Agus Haryanto, yang biasa disebut Cak Anto, merupakan pemimpin sanggar tari Cinde Sutro. Sabtu (3/10/2020), sejumlah penarinya menghibur tamu di Hotel Ketapang Indah, Banyuwangi, Jawa Timur. Penampilan mereka malam itu merupakan yang ketiga kali sejak awal pandemi di bulan Maret.
”Banyak penyesuaian yang harus dilakukan menghadapi kondisi ini. Latihan di sanggar semakin jarang karena tanggapan juga hampir tidak ada. Dulu latihan bisa seminggu sekali. Tanggapan untuk hajatan atau gelaran festival juga pasti ada dalam seminggu. Sejak Maret sampai Juni, kami sama sekali tidak tampil. Sejak Juni sampai sekarang baru ada tiga kali tanggapan,” katanya.
Baca juga: Nasib Pariwisata Banyuwangi di Tengah Pandemi
Malam itu, selain menghibur tamu hotel, penampilan anak asuh Cak Anto dari sanggar Cinde Sutro itu juga disiarkan langsung melalui sejumlah media sosial Banyuwangi Tourism milik Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi.
Setidaknya sudah tiga kali Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi menggelar pertunjukan kesenian daring melalui siaran langsung di media sosial. Selain menyiarkan pertunjukan secara daring, salah satu penyesuaian yang juga dilakukan adalah meminta penari dan penabuh gamelan untuk tetap mengenakan masker atau pelindung wajah (face shield).
Anto mengatakan, di tengah tiadanya permintaan untuk tampil, pihaknya justru harus mengeluarkan biaya untuk membeli face shield bagi penari dan masker bagi penabuh gamelan. Hal itu merupakan salah satu adaptasi baru kesenian tari tradisional.
”Semula, kami minta penari mengenakan masker dan face shield. Namun, mereka mengeluh pengap kalau harus menari menggunakan masker. Akhirnya mereka kami izinkan hanya menggunakan face shield,” kata Anto.
Hal itu diambil karena selama beraksi, penari tidak bercakap-cakap. Lagi pula, apabila dipaksakan menggunakan masker, Anto khawatir penari justru tidak fokus pada gerakan tari karena kesulitan bernapas.
Namun, Anto tetap meminta penabuh gamelan untuk mengenakan masker. Pasalnya, penabuh gamelan duduk berdekatan. ”Tetapi kasihan juga mereka. Karena pakai masker, mereka sulit berkoordinasi. Untuk ngobrol, mereka harus teriak agar bisa dimengerti,” ujarnya.
Pengalaman menari menggunakan masker dan face shield pernah dirasakan Ajeng Dyah Purbaningrum (17) dan Ike Muji Ayu Farista (21). Keduanya kompak mengatakan, menari menggunakan masker dan face shield itu tidak mudah, tidak nyaman, tetapi juga tidak bisa ditawar.
Ajeng, penari dari sanggar Langlang Buana, menceritakan, dirinya pertama kali coba menari pakai masker dan face shield saat pembuatan video promosi pariwisata normal baru (new normal). Karena untuk pengambilan gambar, Ajeng tidak terlalu merasakan kesulitan karena hanya sesekali menari.
Baca juga: Gunakan Aplikasi Ini Sebelum Berwisata di Banyuwangi
”Namun, saat diminta menari di acara kunjungan Presiden Joko Widodo, saya baru merasakan susahnya menari menggunakan masker dan face shield. Rasanya pengap, panas, tidak nyaman, dan susah bernapas. Tetapi, ya, mau bagaimana lagi daripada enggak dapat tanggapan, he-he-he...,” tuturnya sambil bercanda.
Menari menggunakan face shield juga tidak semudah yang terlihat. Muji, penari dari sanggar Cinde Sutro, mengatakan, kendati menari menggunakan face shield lebih mudah untuk bernapas ketimbang menggunakan masker, pergerakan penari juga jadi lebih sulit.
”Saya pernah menari di pinggir pantai menggunakan face shield. Tahu sendiri angin di pinggir pantai seperti apa. Itu face shield rasanya ingin terbang. Tidak mudah menari menggunakan omprok (mahkota penari gandrung) dan face shield, takut jatuh,” ujarnya.
Kini, masker dan face shield menjadi tameng pelindung bagi penari. Keduanya menjadi salah satu upaya adaptasi penari di tengah masa pandemi.
Saat diminta menari di acara kunjungan Presiden Joko Widodo, saya baru merasakan susahnya menari menggunakan masker dan face shield. Rasanya pengap, panas, tidak nyaman, dan susah bernapas.
Pertunjukan daring
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi juga terus berupaya mencari jalan agar para pelaku seni dan sanggar seni terus menggeliat di masa-masa sulit pandemi. Salah satunya dengan memfasilitasi pertunjukan daring. Pertunjukan itu disiarkan melalui media sosial Banyuwangi Tourism milik Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi Yanuarto Bramuda mengatakan, pihaknya menggelar pertunjukan di sejumlah hotel dan tempat lain. Hotel yang dijadikan lokasi pertunjukan merupakan hotel yang mengembangkan konsep staycation.
”Ini merupakan reward bagi hotel yang turut berupaya menjaga kunjungan wisatawan. Kami menyediakan pertunjukan di hotel bagi tamu staycation yang menginap. Nantinya pertunjukan tersebut juga kami siarkan melalui media sosial,” tuturnya.
Baca juga: Zona Hijau dan Kuning Boleh Buka Pariwisata
Bramuda mengatakan, pertunjukan tersebut juga ditujukan untuk membantu sanggar-sanggar seni yang selama pandemi kesulitan mendapatkan tanggapan. Melalui pertunjukan daring tersebut, diharapkan sanggar seni tetap mendapat kegiatan dan tentunya pemasukan.
Sedikitnya ada 60 sanggar seni yang dilibatkan dalam kegiatan ini. Mereka akan bergantian tampil secara daring di sejumlah tempat. Pertunjukan daring akan digelar seminggu tiga kali. Dalam sehari, mereka bisa ada dua kali hingga tiga kali pertunjukan daring.
”Sekali tampil, sanggar seni mendapat Rp 3 juta hingga Rp 5 juta. Sementara sanggar jaranan dan barong mendapat Rp 5 juta hingga Rp 6 juta. Adapun sanggar janger mendapat Rp 8 juta hingga Rp 10 juta,” kata Bramuda.
Hingga Kamis (8/10/2020), pertunjukan kesenian daring melalui media sosial Banyuwangi Tourism sudah digelar lima kali. Antusiasme warga cukup baik. Aneka komentar positif disematkan melalui kolom komentar.
Baca juga: Yoga Manjakan Wisatawan ”Staycation” di Banyuwangi
Bahkan, penontonnya tidak hanya dari Banyuwangi. Beberapa tenaga migran yang menonton juga menyambut baik gelaran tersebut. Salah satu penontonnya ialah akun Zulaikha yang sedang berada di Taiwan.
”Taiwan hadir…. Tetap semangat dulur-dulur lare Osing Banyuwangi. Tetap berkesenian di tengah pandemi yang sulit ini. Marai hun kangen Banyuwangi ikai (Membuat saya rindu Banyuwangi ini),” tulisnya.
Sambutan baik juga disampaikan Opik (36), seorang pedagang bakso sekaligus penggemar kesenian jaranan di Banyuwangi. Pertunjukan daring cukup memuaskan kerinduannya menonton kesenian yang sudah tujuh bulan lamanya tidak digelar.
”Kadung mbiyen, ono jaranan nang ndi byaen hun tekani. Hun nonton ambi bakulan bakso. Saiki, hun malah iso nonton nang ndi byaen. Hing usah adoh-adoh. (Kalau dulu, di mana ada jaranan pasti saya datangi. Saya nonton sambil jualan bakso. Sekarang saya justru bisa menonton dari mana saja. Tidak perlu jauh-jauh). Buka HP, buka Youtube, langsung nonton,” tuturnya.
Namun, menurut Opik, tetap ada yang hilang dari pertunjukan daring tersebut. Keramaian dan sorak-sorai penonton tak bisa ia rasakan. Ia juga tidak bisa merasakan peningkatan penjualan seperti biasanya saat ia berjualan di lokasi pertunjukan jaranan.
Berbagai adaptasi telah dilakukan agar berkesenian tetap menggeliat di tengah pandemi. Penari dan penabuh gamelan mencoba beradaptasi dengan mengenakan masker dan face shield. Penonton pun mencoba beradaptasi dengan suasana baru menonton secara daring.
Pandemi memang memukul banyak sendi kehidupan, termasuk berkesenian. Namun, dengan kesenian itu pula, mereka mencoba bangkit dengan berbagai upaya adaptasi.