Ancaman Kapitalisasi Pendidikan di RUU Cipta Kerja
Keberadaan kluster pendidikan dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja sama halnya mereduksi pendidikan menjadi aktivitas industri dan ekonomi. Ini akan memberi jalan masuk praktik komersialisasi pendidikan.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat untuk disahkan menjadi undang-undang ternyata tetap memasukkan kluster pendidikan. Memasukkan entitas pendidikan sebagai sebuah kegiatan usaha sama halnya memberi jalan masuk untuk praktik komersialisasi pendidikan.
Pasal 65 pada Paragraf 12 Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan, pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Mengacu Pasal 1 ayat 4, yang dimaksud "perizinan berusaha" adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
Pasal 65 tersebut jelas sekali menunjukkan bahwa pendidikan direduksi menjadi suatu aktivitas industri dan ekonomi.(Satriwan Salim)
“Pasal 65 tersebut jelas sekali menunjukkan bahwa pendidikan direduksi menjadi suatu aktivitas industri dan ekonomi,” kata Satriwan Salim, Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru, di Jakarta, Rabu (8/10/2020).
Keberadaan Pasal 65 tersebut juga dinilai tidak konsisten dengan pernyataan Panitia Kerja RUU Cipta Kerja pada 25 September lalu yang menyatakan mencabut kluster pendidikan dari pembahasan RUU Ciptaker. Pencabutan itu diusulkan oleh pemerintah dan DPR kemudian menyetujuinya.
Ki Darmaningtyas, pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa mengatakan, keberadaan Pasal 65 tersebut sama dengan menempatkan pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan. Memasukkan pendidikan ke dalam bidang usaha yang dimaksud untuk mencari keuntungan bertentangan dengan UUD 1945 bahwa pendidikan adalah hak setiap warga dan negara wajib membiayainya.
“Jujur saja saya sedih sekali membaca pasal tersebut karena saat ini, sebelum pendidikan dilegalkan menjadi badan usaha saja akses pendidikan tinggi masih terbatas. Saat ini masih di bawah 40 persen orang yang kuliah, apalagi nanti kalau sudah menjadi badan usaha, pendidikan akan semakin mahal,” kata Darmaningtyas.
Pernyataan Baleg DPR bahwa perizinan pendidikan hanya akan berlaku di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) juga dinilai tidak menjamin ada pengecualian untuk bidang pendidikan. Dalam praktiknya, kata Darmaningtyas, ketika proses perizinan dilakukan dengan sistem tunggal seperti yang saat ini dikenal dengan Online Single Submission (OSS), maka akan mengikuti proses perizinan sebagaimana usaha yang lain.
Ayat 2 Pasal 65 yang menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan diatur dengan peraturan pemerintah, menurut Darmaningtyas, juga memberi atribusi pengaturan yang cukup besar kepada pemerintah untuk mengatur perizinan pendidikan. Ini artinya pemberi izin penyelenggaraan pendidikan bukan hanya di kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Ini berarti menghidupkan kembali roh Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan) yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010,” kata Darmaningtyas.
Jalur konstitusi
Guru Besar IPB University Hariadi Kartodihardjo mengatakan, peraturan pemerintah tersebut nanti tidak boleh bertentangan dengan undang-undang terkait pendidikan yang masih berlaku. Meskipun demikian, ada kekuatiran karena tidak ada klausul yang jelas di kluster pendidikan, deskresi pemerintah nanti akan besar.
“Pleno (Baleg) sudah dilakukan, kita menunggu sikap pemerintah bagaimana. Kalau pemerintah menyetujui (mengesahkan RUU Ciptaker menjadi undang-undang), pilihan kita tinggal pada peraturan pemerintah, mari kita perjuangkan dengan Kemendikbud. Opsi kedua, sebelum pemerintah menerima, kita menolak pasal (pendidikan di RUU Ciptaker),” kata Hariadi.
Darmaningtyas dan Satriwan juga tetap menolak kluster pendidikan di dalam RUU Ciptaker. “Sebagai orang yang dahulu memulai kampanye pendidikan gratis, menggugat UU BHP dan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), maka saya pribadi maupun kelembagaan akan menempuh jalur konstitusi ke Mahkamah Konstitusi,” kata dia.
Satriwan mengatakan, mengajukan peninjauan kembali RUU ini ke MK merupakan jalan terakhir upaya penolakan RUU Ciptaker. Dia berharap hasilnya akan sama dengan UU BHP dan pasal tentang RSBI dalam UU Sistem Pendidikan Nasional yang dibatalkan MK.
Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mendukung langkah kalangan pendidikan tersebut. “Saya kecewa kluster pendidikan tetap ada di RUU Ciptaker karena semula sudah dikeluarkan. Kami (Komisi X) juga mendapat aspirasi dari seluruh entitas pendidikan yang menolak RUU Ciptaker. Kami mendorong mereka menggunakan hak konstitusional melalui judicial review di MK,” kata dia.