200 Akademisi Teken Petisi Penolakan, Pemerintah Nilai Banyak yang Belum Baca
200 akademisi di Indonesia menandatangani petisi tolak UU Cipta Kerja. Mereka menilai DPR dan pemerintah abaikan rakyat saat penyusunannya. Namun, pemerintah menilai, selain banyak hoaks, banyak yang belum baca UU-nya.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ratusan akademisi dari puluhan perguruan tinggi se-Indonesia menolak Undang-Undang Cipta Kerja yang disetujui untuk disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (5/10/2020). Mereka menyuarakannya lewat penandatanganan petisi secara daring. Namun, pemerintah menyayangkan, selain banyak hoaks, juga karena banyak yang belum baca secara utuh UU Cipta Kerja tersebut.
Sebelum petisi tersebut dibuka secara umum, telah bergabung 200 akademisi dari 67 perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Petisi tersebut menjadi bentuk kepedulian dan rasa tanggung jawab dunia akademik atas tindakan kesewenang-wenangan DPR dan pemerintah yang dinilai tidak mendengarkan rakyat dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja.
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti membacakan petisi tersebut pada konferensi pers yang dilakukan secara daring, Rabu (7/10/2020).
Hadir juga sebagai pembicara dalam kegiatan tersebut Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Eddy OS Hiariej; pakar hukum tata negara UGM, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar; Guru Besar Fakultas Hukum UGM Maria SW Sumardjono; dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Ramdan Andri Gunawan Wibisana.
Petisi itu berisi sikap mereka terkait persetujuan UU Cipta Kerja yang dilaksanakan tengah malam yang sering kali dekat dengan penyimpangan. UU tersebut dianggap telah mengabaikan nilai konstitusional yang diatur UUD 1945.
Petisi itu berisi sikap mereka terkait persetujuan UU Cipta Kerja yang dilaksanakan tengah malam yang sering kali dekat dengan penyimpangan. UU tersebut dianggap telah mengabaikan nilai konstitusional yang diatur UUD 1945.
Contohnya, Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945 menyatakan, pemerintahan daerah dijalankan dengan otonomi seluas-luasnya kecuali terhadap kewenangan yang ditentukan sebagai kewenangan pusat. Pada UU Cipta Kerja, kewenangan pemda ditarik ke pusat dengan peraturan pemerintah yang menjadi turunan UU itu. Peran pemerintah daerah dikerdilkan. Bahkan, pendapatan asli daerah bisa berkurang.
Hak-hak buruh juga dinilai diambil alih dengan menyerahkan melalui peraturan perusahaan. ”Bagaimana relasi buruh dan perusahaan dapat adil jika buruh diwajibkan mematuhi aturan perusahaan yang dibentuk oleh perusahaannya? Jangankan hak manusia, hak lingkungan hidup pun diabaikan,” kata Susi.
Susi menegaskan, petisi tersebut merupakan keberatan yang disampaikan oleh rakyat, terutama kaum akademisi. Ia berharap semua yang terlibat dalam pembentukan UU Cipta Kerja mendengarkan suara keberatan mereka. Para akademisi tidak menginginkan Indonesia bergerak ke arah negara di mana demoralisasi dan korupsi terjadi secara meluas akibat UU Cipta Kerja.
Maria SW Sumardjono berharap para akademisi mengawal UU ini sesuai dengan spesialisasi masing-masing. ”Kalau ada potensi maju ke MK (Mahkamah Konstitusi), ya, kita harus maju ke MK baik dari segi formil maupun segi materiilnya,” kata Maria.
Ramdan Andri Gunawan Wibisana siap untuk memberikan sumbangan pemikiran ketika harus melakukan judicial review (JR). Hal tersebut dilakukan sebagai perlawanan yang baik secara hukum.
Zainal Arifin Mochtar mengungkapkan, JR menjadi ajang pengujian. Meskipun demikian, pada saat yang sama harus dilakukan tindakan lain, yakni tekanan publik. Apa pun tekanan publik dapat dilakukan sepanjang tidak melanggar hukum dan protokol kesehatan.
Sementara itu, Eddy OS Hiariej menuturkan, tujuh bulan yang lalu Fakultas Hukum UGM di bawah pimpinan Sigit Riyanto sebagai dekan sudah menyampaikan kritik dan solusi terhadap RUU Cipta Kerja. Salah satu catatannya, RUU tersebut sangat rentan untuk menjadi materi uji di MK.
Dia melihat ada pasal yang tidak sesuai antara isi dan judul. Eddy melihat dalam RUU Cipta Kerja ada sanksi pidana pada isinya, tetapi di judulnya tertulis sanksi administrasi. Padahal, sanksi administrasi dan sanksi pidana adalah dua hal yang berbeda secara prinsip.
Banyak yang belum baca
Sementara itu, dalam keterangan pers pemerintah yang dihadiri 10 menteri lainnya dan ditayangkan di Youtube, Rabu sore, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengakui, isu kluster ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja paling banyak yang diserang berita-berita hoaks dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Selain itu, banyak pula yang belum membaca secara utuh isi UU Cipta Kerja.
”Kami akan menjelaskan isu yang beredar agar masyarakat yang belum sempat membaca UU-nya secara lengkap, setidaknya, mendapatkan pemahaman mengenai isi kluster dalam UU dan juga tidak mudah percaya dengan hoaks yang sudah sangat banyak beredar di masyarakat sekarang ini terkait UU Cipta Kerja,” kata Airlangga.
Kami akan menjelaskan isu yang beredar agar masyarakat yang belum sempat membaca UU-nya secara lengkap, setidaknya, mendapatkan pemahaman mengenai isi kluster dalam UU dan juga tidak mudah percaya dengan hoaks yang sudah sangat banyak beredar di masyarakat terkait UU Cipta Kerja.
Ia membantah mengenai isu upah minimum dihapuskan. Menurut Airlangga, upah minimum tetap ada dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. ”Maka, upah tidak akan turun. UU Cipta Kerja mengatur upah pekerja harus lebih tinggi dari upah minimum,” paparnya.
Topik selanjutnya yang diluruskan Airlangga adalah terkait pesangon. Dalam aturan UU Cipta Kerja tersebut, para pekerja mendapatkan kepastian pembayaran pesangon dan mendapat tambahan Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
Adapun lewat akun yang sama, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah menegaskan, UU Cipta Kerja tetap mengatur ketentuan pesangon yang diterima pekerja ketika kehilangan pekerjaan. Di samping itu, pekerja juga akan mendapatkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Ia menyatakan banyak hoaks terkait UU Cipta Kerja.
”Untuk memberikan jaminan sosial bagi pekerja atau buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), UU Cipta Kerja mengatur ketentuan mengenai program Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang manfaatnya berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja,” kata Ida menjelaskan.