Korban kekerasan seksual hingga kini masih sulit mendapatkan keadilan. Selain menghadapi stigma negatif di tengah masyarakat, dalam proses hukum mereka menemui berbagai kendala kurangnya pemahaman aparat penegak hukum.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proses hukum kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan yang masih sering mengabaikan perspektif jender dan perlindungan anak membuat para korban memilih tidak menempuh jalur hukum. Selain khawatir masalah yang dihadapi akan semakin rumit, belum semua aparat penegak hukum juga memiliki perspektif jender dan sejumlah aturan hukum masih bias jender.
Padahal, pendekatan penyelesaian hukum yang berperspektif jender dan berpihak pada anak sebagai korban sangat dibutuhkan. Hal itu penting untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran dan pengabaian hak anak atas dasar apa pun.
Masih ada aparat penegak hukum yang tidak memiliki perspektif hukum. (Siti Mazuma)
”Masih ada aparat penegak hukum yang tidak memiliki perspektif hukum. Dalam beberapa kasus, tidak ada satu pemahaman yang sama soal dalam restitusi antara jaksa penuntut umum dan lembaga perlindungan saksi dan korban. Restitusi kerap kali tidak diajukan oleh jaksa penuntut umum,” ujar Direktur Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta Siti Mazuma pada Diskusi Daring tentang Perspektif Gender dan Perlindungan Anak dalam Penanganan Kekerasan Seksual terhadap Anak, Kamis (24/9/2020), yang digelar Kalyanamitra.
Selain Mazuma, juga hadir sebagai pembicara Rani Hastari (Yayasan Plan International Indonesia), Dio Ashar Wicaksana (Indonesia Judicial Research Society), dan Rena Herdiyani (Kalyanamitra).
Menurut Mazuma, masih banyak hambatan dan tantangan yang dihadapi anak korban kekerasan seksual ketika kasusnya diproses hukum. Misalnya, ketika menjadi korban anak bukan dipandang sebagai subyek hukum sehingga keputusan orangtua/wali lebih didengarkan.
Hak perlindungan atas korban juga kerap diabaikan. Misalnya, ketika pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang yang dekat dengan korban, tinggal serumah dengan korban, atau menjadi tetangga korban, maka sering kali pelaku dianggap bukan sebagai ancaman. Bahkan, pelaku tidak segera ditangkap dan berkeliaran di lingkungan sekitar korban.
Senada dengan Mazuma, Rani menyatakan, pada penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, sering kali perempuan diposisikan sebagai pemicu dari terjadinya tindak pidana. Sistem dan kondisi sosial-kultural yang patriarkis mempersulit perempuan untuk mengakses layanan berperspektif korban dan sensitif jender.
”Bahkan, ketika perempuan mengajukan laporan yang akan menempuh jalan panjang dan di dalam prosesnya menerima victim blaming (korban disalahkan akibat kesalahan atau bencana yang menimpanya), tidak dipercaya, dan respons negatif lainnya,” kata Rani.
Pertimbangan hakim
Dio Azhar menyatakan, sebenarnya sudah ada jaminan dalam beberapa aturan. Namun, secara substansi hukum, hingga kini masih terdapat produk hukum yang masih mengandung perspektif bias jender. Contohnya, Pasal 185 Ayat (6) Kitab Undang-undang Hukum Acara (KUHAP) memberikan justifikasi bahwa hakim bisa menilai suatu kebenaran berdasarkan cara hidup dan kesusilaan saksi.
”Ini sangat berbahaya karena dalam penelitian kami tahun 2015-2016, kami menemukan masih banyak hakim memberikan pertimbangan, dia akan menghukum lebih ringan kepada pelaku jika korbannya sudah tidak ‘perawan’ atau sudah pernah berhubungan seksual sebelumnya. Karena itu, justifikasi bahwa yang keluar malam atau sudah tidak perawan dianggap perempuan tidak baik, dan itu ada, kami menemukan di pertimbangan putusan seperti itu,” papar Dio.
Meskipun sudah ada peraturan Mahkamah Agung mengenai tata cara mengadili perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum, persoalannya apakah peraturan tersebut sudah diimplementasikan oleh semua hakim.
Tak hanya hakim, masyarakat juga perlu diubah tentang perspektif dalam memandang korban kekerasan seksual yang juga masih bias jender. Karena itu, penting mendorong pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Soal pendampingan korban, sebenarnya sudah ada Undang-Undang (UU) Bantuan Hukum yang mengatur peran pemerintah untuk mendukung lembaga-lembaga pemberi bantuan hukum untuk memberikan bantuan hukum, tetapi sayangnya UU Bantuan Hukum hanya terbatas bantuan hukum untuk kelompok miskin.
”Padahal, kita melihat anak dan perempuan ada kerentanan sendiri, ketika mengalami kasus terutama kekerasan seksual, bisa saja sulit melapor karena tekanan, intervensi, dan lain-lain. Hambatan ini belum dilihat dalam UU Bantuan Hukum,” katanya.
Dio juga memaparkan gambaran umum reaksi masyarakat terhadap permasalahan hukum, berdasarkan data Indeks Akses Keadilan, tahun 2019, yang antara lain menemukan bahwa 60 persen perempuan tidak menggunakan bantuan hukum, dan 62 persen beralasan bahwa mereka khawatir permasalahan akan semakin rumit jika menggunakan bantuan hukum.
Adapun Rena memaparkan riset yang dilakukan oleh Weaving Women\'s Voices in ASEAN (WEAVE) tahun 2016 di enam negara anggota ASEAN (Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Myanmar, Filipina, dan Thailand).
Riset menemukan, antara lain, anak perempuan rentan mengalami kekerasan sampai usia remaja, dewasa, dan lanjut usia, serta dampak sepanjang hidup mereka. Selain itu, anak perempuan juga rentan mengalami praktik diskriminatif, pandangan stereotip berbasis jender/seksis, dan victim blaming.