Sejak didirikan 38 tahun silam, Bentara Budaya diwakafkan sebagai panggung bagi para seniman pinggiran. Keberadaannya mengejawantahkan falsafah amanat hati nurani rakyat.
Oleh
Aloysius B Kurniawan/Mediana
·4 menit baca
Kompas
Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama berbincang santai dengan pemerhati seni seusai memberikan kata sambutan dalam pameran lukisan dan peluncuran buku Perjalanan Seni Lukis Indonesia Koleksi Bentara Budaya di Gedung Bentara Budaya Jakarta, Kamis (5/8/2004).
Tahun 1982, wartawan senior Sindhunata bersenda gurau dengan salah satu pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama (almarhum). ”Pak, saya dengar gedung ini mau disewakan, apa benar?” ujarnya. Waktu itu beredar kabar, sebuah gedung kecil milik Kompas Gramedia di pinggir Jalan Jenderal Sudirman, Yogyakarta, hendak disewakan setelah Toko Buku Gramedia pindah ke gedung yang lebih besar.
”Kamu punya usul apa?” kata Jakob. Sindhunata yang waktu itu menjadi kontributor harian Kompas langsung mengutarakan unek-uneknya. ”Pak, saya usul, di Yogya ini tidak ada tempat untuk pameran seni-seni pinggiran, ruang publik masih minim, apalagi untuk mereka yang tidak punya kesempatan tampil. Bagaimana kalau kita memberikan tempat bagi mereka?” kata Sindhunata.
Tanpa ragu, Jakob langsung menjawab, ”Ya sudah, saya setuju, kamu urus ya.” Perbincangan singkat ini rupanya menjadi titik awal berdirinya Bentara Budaya.
”Rekaman (perbincangan) ini sangat sederhana, tetapi di sana terlihat visi Jakob Oetama,” kata Sindhunata dalam acara #terasbentara ”Utusan Budaya Jakob Oetama” yang disiarkan melalui akun Instagram @bentarabudayayk, Rabu (23/9/2020).
Konsep awal pendirian Bentara Budaya dirancang sejumlah jurnalis Kompas, antara lain Sindhunata, JB Kristanto, Julius Pour, Djoko Poernomo (almarhum), dan Ardus M Sawega. Sebagai pengelola pertama, direkrutlah Marjuki, seorang guru swasta, yang kemudian dibantu beberapa seniman, seperti Hajar Satoto, Hari Budiono, Hermanu, dan Gepeng, untuk menggelar pameran pertama. Bentara Budaya akhirnya berdiri pada 26 September 1982.
Ini sungguh sebuah kebetulan yang menjadi berkah, sebuah keniscayaan sejarah. Koran harus punya jiwa kebudayaan. Tanpa itu, koran tidak bisa menjalankan visi humanismenya.
”Ini sungguh sebuah kebetulan yang menjadi berkah, sebuah keniscayaan sejarah. Koran harus punya jiwa kebudayaan. Tanpa itu, koran tidak bisa menjalankan visi humanismenya," imbuh Sindhunata.
Seperti tujuan awalnya, yaitu memanggungkan seniman-seniman pinggiran, dua seniman yang tampil pertama di Bentara Budaya adalah Citro Waluyo dan Sastro Gambar. Citro Waluyo adalah seniman dari Solo yang biasa membuat dongeng dalam wujud gambar di atas kertas karton dan dijual pada acara Sekatenan. Sementara itu, Sastro Gambar adalah seniman asal Muntilan pembuat gambar-gambar wayang.
”Bentara Budaya seperti mengejawantahkan amanat hati nurani rakyat (Kompas),” kata Hari Budiono, kurator Bentara Budaya.
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Patung yang menyerupai Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama dipajang dalam acara Pasar Yakopan di Bentara Budaya Yogyakarta, Rabu (17/9/2014). Pasar Yakopan berisi berbagai stan yang menjual kerajinan barang jadul.
Angkat seniman pinggiran
Tidak tanggung-tanggung, pembukaan pameran dua seniman pinggiran itu dimeriahkan dengan perhelatan wayang kulit dalang kondang Ki Hadi Sugito. Sebuah kemewahan bahwa seniman-seniman tradisional bisa disambut seperti seperti itu. ”Tahun 1993, Ki Hadi Sugito kembali memeriahkan peresmian gedung Bentara Budaya ketika pindah ke Jalan Suroto,” ungkap Hermanu, kurator Bentara Budaya.
Sejak awal, target pendirian Bentara Budaya betul-betul semata pemberdayaan seniman-seniman pinggiran, syukur-syukur nantinya Bentara Budaya dengan memanggungkan karya-karya bisa mendatangkan uang bagi mereka, mengangkat mereka. ”Waktu itu, saya ditugaskan untuk meliput apa saja peristiwa di Bentara Budaya. Saya akhirnya banyak bergaul dengan seniman yang membentuk diri saya, sampai saya terjun di bidang seni sebagai wartawan hingga sekarang,” ujar Sindhunata.
Menurut seniman Theresia Agustina Sitompul, Bentara Budaya kini telah menjadi ruang publik untuk segala kegiatan seni tradisi, kontemporer, hingga pertunjukan. Kenangannya terhadap Bentara Budaya berawal dari rasa kagum dan berlanjut sampai dia bisa menggelar pameran sendiri, jadi juri kompetensi, dan jadi pemateri acara di Bentara Budaya.
Selama dia berkegiatan di Bentara Budaya Yogyakarta, dia mengakui, ada sesuatu yang selalu menggelitik pikirannya, yakni orang-orang yang berinteraksi kurang beragam. ”Apa benar seni itu eksklusif? Apakah konten pameran kurang menarik? Apakah penataan kegiatan kurang atraktif. Saya kira ini menjadi PR (pekerjaan rumah) kita semua, juga galeri-galeri seni lainnya,” kata Theresia.
Dia berharap Bentara Budaya tetap terus ada. Bentara Budaya dulu diawali dengan mengakomodasi seni tradisi, lalu seni kontemporer, dengan melibatkan orang-orang muda. Maka, dia menyarankan agar semakin banyak anak muda dirangkul.
Agar tumbuh berkelanjutan, pengelolaan Bentara Budaya perlu mempunyai tujuan program yang jelas. Jika diperlukan, Bentara Budaya juga bisa melakukan pencitraan ulang (rebranding). Program-program lama diremajakan. ”Pembenahan Bentara Budaya bisa mengajak seniman--seniman,” lanjut Theresia.
Hingga saat ini, Bentara Budaya telah hadir di Yogyakarta, Jakarta, Solo, dan Bali. Beberapa hari ke depan, Bentara Budaya akan genap berusia 38 tahun.