Tidak mudah mengasuh anak berkebutuhan khusus saat pandemi Covid-19. Para orangtua mesti bekerja ekstra dari biasanya. Mereka menjadi pendamping, terapis, sekaligus guru bagi anak-anaknya.
Oleh
Melati Mewangi/Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
Gita Pratiwi (30), ibu dari Abam (4), anak berkebutuhan khusus dengan attention deficit hyperactivitydisorder (ADHD), kesulitan mencari pusat terapi yang beroperasi saat pandemi. Bagi Gita, kelas terapi merupakan kebutuhan mendesak untuk Abam. Ia sudah mendatangi lebih dari empat pusat terapi di Kota Bandung, Jawa Barat, dan hanya satu yang buka.
Abam cenderung aktif dan berlimpah energi sehingga harus disalurkan dengan banyak kegiatan. Di rumah, Gita menyiapkan berbagai macam mainan untuk terapi, seperti balok susun, lego, dan plastisin.
Saya memberanikan diri keluar rumah karena Abam butuh banget terapi. Pertumbuhan dia bisa makin lambat kalau tidak diterapi segera.
”Saya memberanikan diri keluar rumah karena Abam butuh banget terapi. Pertumbuhan dia bisa makin lambat kalau tidak diterapi segera,” kata Gita.
Lewat terapi yang rutin, dia berharap Abam bisa berinteraksi dengan sekitar dan menjadi pribadi yang mandiri. Pandemi benar-benar melatih dia bersabar dan memahami maksud buah hatinya.
”Saya lebih khawatir kalau tidak ada perkembangan pada anak saya selama pandemi. Target kemampuan yang harus dia capai tetap harus berjalan lewat terapi,” ujar Gita.
Pandemi juga menjadi tantangan berat bagi pasangan Sarah Kumala Dewi (37) dan Narko (43), warga Bandung. Anak sulung mereka, Alanis (10), sejak lahir mengalami cerebral palsy (CP), kondisi lumpuh otak yang menyebabkan gangguan pada gerakan dan koordinasi tubuh.
Sebelum pandemi Covid-19, Sarah dan Narko meneruskan terapi untuk anaknya setelah setahun lalu berhenti total. Namun, baru dua kali terapi, pandemi tiba-tiba datang sehingga terapi Alanis terpaksa dihentikan.
Kesulitan pun datang saat pekerjaan Narko sebagai produsen tas alat musik terganggu. Selama pandemi, Sarah dan suaminya kemudian banting setir menjadi pedagang telur. ”Semoga Covid cepat berlalu, ekonomi membaik, anak kami bisa terapi lagi,” ujar Sarah.
Terapis mengunjungi
Di Karawang, Jabar, kegiatan terapi anak berkebutuhan khusus (ABK) di Amanda Learning Center (ALC) juga sempat terhenti pada Maret 2020. Akan tetapi, sejumlah orangtua mendorong agar kegiatan dibuka kembali karena mereka kewalahan. Terapi mulai dilakukan dengan sistem home visit, yakni terapis atau pendamping mendatangi rumah dan memberikan modul setiap seminggu sekali.
”Beberapa orangtua kesulitan untuk mempraktikkan dan mendampingi anaknya dengan modul yang diberikan. Mereka belum memahami betul bagaimana menangani anaknya. Ada yang mengeluh anaknya semakin sulit dikontrol karena lama tidak menjalani terapi. Pandemi membuat kami kesulitan dalam mengawasi perkembangan mereka,” kata Kholid Nurcholish, Co-founder ALC, Kamis (10/9/2020).
Kamis siang, tampak ada enam ABK mengikuti terapi di ALC. Keenamnya duduk di kursi yang berjarak satu sama lain. Mereka diperbolehkan terapi di kelas karena dianggap sudah memahami perintah untuk menggunakan masker.
Anak-anak diizinkan melepas masker hanya saat istirahat atau makan. Begitu kelas dimulai, semua wajib bermasker. ”Maskernya dipakai,” kata Rafi (11), ABK dengan tunagrahita terlambat bicara.
Pembatasan sosial dan fisik membuat aktivitas mereka terkendala. Agenda jalan-jalan pagi sebelum kelas ditiadakan, padahal kegiatan itu penting untuk melatih motorik dan sensorik mereka. Durasi belajar juga dibatasi hingga pukul 12.00, tidak sampai sore. Pembelajaran daring tidak dilakukan di ALC sebab, kata Kholid, ABK membutuhkan stimulasi langsung untuk menunjang perkembangan psikomotorik.