Pembelajaran jarak jauh tidak harus dilaksanakan secara daring, tetapi bisa juga secara luring, atau kombinasi keduanya. Ini disesuaikan dengan kondisi guru dan terutama siswa, agar siswa tetap dapat belajar.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah kendala dalam pembelajaran jarak jauh, baik daring maupun luring, sekolah dituntut menyelenggarakan pembelajaran sesuai dengan kondisi guru dan siswa. Pembelajaran jarak jauh jangan sampai membebani siswa dan membuat siswa tidak belajar.
Ketika tidak semua siswa memiliki telepon, apalagi telepon pintar, sejumlah sekolah menyelenggarakan pembelajaran daring dan luring sekaligus. Siswa yang tidak memiliki telepon mengikuti pembelajaran secara luring dengan datang ke sekolah atau melalui guru kunjung.
Penggunaan teknologi digital untuk pembelajaran jarak jauh pun disesuaikan kemampuan ekonomi orangtua siswa. Penggunaan teknologi sesederhana mungkin, misalnya menggunakan aplikasi Whatsapp, menjadi pilihan agar tidak membebani guru ataupun siswa dengan biaya kuota internet.
Di SDN Candirejo, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya, sekolah mengandalkan aplikasi Whatsapp yang lebih hemat pulsa internet untuk menyampaikan materi kepada siswa. Adapun pemberian tugas kepada siswa menggunakan lembar tugas yang diambil orangtua ke sekolah.
Untuk variasi juga agar tidak daring terus. Selain itu, saat orangtua mengambil atau mengembalikan tugas siswa, bisa sekaligus bertanya kepada guru jika ada kesulitan yang dialami siswa selama belajar di rumah. (Paryati)
”Untuk variasi juga agar tidak daring terus. Selain itu saat orangtua mengambil atau mengembalikan tugas siswa bisa sekaligus bertanya kepada guru jika ada kesulitan yang dialami siswa selama belajar di rumah,” kata Paryati, Kepala SDN Candirejo, ketika dihubungi pada Rabu (26/8/2020).
Pembelajaran di SDN Wonosalam, Ngaglik, Sleman, DIY, juga mengandalkan komunikasi melalui aplikasi Whatsapp. Adapun pemberian tugas kepada siswa menggunakan aplikasi Google Form. Pertimbangannya, lebih hemat pulsa dibandingkan dengan menggunakan aplikasi lainnya, dan hampir semua siswa memiliki telepon pintar.
”Kuota internet tetap menjadi masalah. Bahkan, ada juga siswa yang tidak mempunyai telepon seluler. Kami meminta siswa tersebut datang ke sekolah seminggu dua kali untuk mendapat penjelasan dari guru dan mengambil tugas. Pada awal pandemi, guru bisa mengunjungi siswa, tetapi kini tidak bisa lagi karena kasus (Covid-19) melonjak,” kata Warsiti, Kepala SDN Wonosalam.
Bagi Paryati dan Warsiti, mencegah guru dan siswa terpapar Covid-19 menjadi prioritas utama, tetapi pembelajaran harus tetap berjalan. ”Saya meminta kepada para guru agar tidak memberikan tugas terlalu banyak kepada siswa, yang penting literasi jalan,” kata Paryati.
Kurikulum
Penetapan kurikulum yang disederhanakan, kata Paryati, memudahkan guru dalam melaksanakan tugasnya pada masa pandemi ini. Kini guru tidak terbebani menuntaskan capaian Kurikulum 13, siswa pun tak terbebani dengan pelajaran yang padat.
”Kalau dahulu sehari bisa 8-9 mata pelajaran, kini cukup enam mata pelajaran. Jam belajar pun berkurang, dari 37,7 jam per minggu menjadi 24 jam per minggu,” kata Paryati.
Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 719/P/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus, sekolah diberi kebebasan menentukan kurikulum sesuai dengan kebutuhan pembelajaran peserta didik. Kurikulum yang disederhanakan ini mengacu pada Kurikulum 13.
Maman Fathurrahman, Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan, ada tiga pilihan untuk sekolah. Pertama, sekolah bisa tetap melaksanakan Kurikulum 13 seperti selama ini.
Kedua, sekolah bisa melaksanakan kurikulum sesuai dengan kompetensi inti dan kompetensi dasar yang disederhanakan untuk kondisi khusus yang ditetapkan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan, atau Ditjen Vokasi untuk sekolah kejuruan. Ketiga, sekolah dapat menyederhanakan kurikulum secara mandiri.
”Sekolah bisa memilih sesuai kondisi sekolah (guru dan siswa). Yang diutamakan tetap ada pembelajaran agar tidak lost of learning (hilang belajar),” kata Maman.
Dalam pelaksanaannya, seperti di Kabupaten Kulon Progo dan Sleman, dinas pendidikan menetapkan sekolah untuk menerapkan kurikulum sesuai dengan kompetensi inti dan kompetensi dasar yang disederhanakan. Mengacu keputusan dinas pendidikan dan SK Mendikbud, sekolah kini menyusun kurikulum yang disederhanakan untuk diterapkan pada tahun ajaran 2020/2021 ini.
”Dinas pendidikan sudah menentukan kompetensi dasar esensial apa saja yang akan diterapkan (sekolah). Ini memang akan memudahkan sekolah dan guru, tetapi kendala dalam pembelajaran jarak jauh ini tetap sama, mulai dari masalah teknis, kendala penyampaian (dari guru ke siswa), serta kemampuan orangtua untuk membimbing anaknya selama belajar di rumah,” kata Warsiti.
Meski kurikulum disederhanakan, kata Warsiti, penyampaian materi pelajaran kepada siswa sangat tergantung pada kemampuan guru. Harus ada upaya lebih dari guru agar materi yang disampaikan membuat siswa paham dan bisa menerapkannya.
Tantangan lainnya, kata dia, saat evaluasi belajar, siswa benar-benar mengerjakan soal, bukan dibantu orang lain. Guru tidak bisa mengontrol apakah hasil evaluasi belajar tersebut murni hasil kerja siswa atau karena dibantu orang lain.
”Ini tergantung orangtua, orangtua seharusnya sekadar membimbing, bukan membantu mengerjakan soal. Kalau orangtua terus membantu mengerjakan soal, nilai anak memang bisa bagus, tetapi 2-3 tahun lagi baru ketahuan dampaknya pada anak,” kata Warsiti.