Zona merah terarah pada suatu lokasi/wilayah yang perlu mendapat perhatian ekstra karena situasinya membahayakan. Radius 3-5 kilometer dari puncak Gunung Sinabung yang sedang meletus, contohnya, ditetapkan sebagai zona merah (Kompas, 11/8/2020). Dari sisi bahasa, frase ”zona merah” cukup jelas sebagai tanda peringatan kewaspadaan, tetapi tidak tegas sebagai bentuk larangan. Perlu kata-kata penegasan ”dilarang masuk” jika suatu zona dinyatakan sebagai daerah terlarang—seperti ”restricted area, no trespassing” dalam kebiasaan bahasa Inggris.
Namun, stempel ”merah”, dalam banyak konvensi, tampak telah menjadi kode kuat yang meyakinkan bahwa suatu keadaan atau gejala (tak selalu mengenai bahaya) yang dibubuhi kata sifat itu perlu perhatian serius. Supaya efektif, pemakaian kata ”merah” dalam papan peringatan marabahaya, misalnya, tak jarang diperkuat dengan visualisasi warna merah atau gambar tengkorak simbol maut. Dimanfaatkan secara ekstensif untuk berbagai kepentingan, kata ”merah”, dan juga warna merah, terasa sangat ikonik dan sugestif. Daya tariknya melebihi warna-warna yang lain.
Pada situasi pandemi virus korona di Tanah Air, ”zona merah” merujuk daerah terparah dilanda wabah. Di sini, kata ”merah” bermakna penting sebagai tanda ekstrawaspada demi keselamatan hidup warga. Makin bermakna positif ketika kata dan warna merah berpadu putih dijadikan nama vaksin lawan virus korona, yakni vaksin Merah-Putih, yang dikembangkan sendiri oleh peneliti-ilmuwan Indonesia. Sangat membanggakan tatkala Menteri Riset dan Teknologi menyatakan vaksin Merah-Putih—senada dengan sebutan bendera negara kita—sebagai ”simbol kemandirian bangsa” dalam inovasi keilmuan (tampilan iklannya dalam media).
Akan tetapi, sangat disayangkan, di tengah ikhtiar segenap elemen bangsa membasmi pandemi ini menyusup perkara ”merah” yang lain: raibnya ”red notice” buron kakap secara misterius. Istilah ”red notice” adalah kode Interpol untuk memburu pelaku tindak pidana lintas negara. Ironis, buron itu malah dikiaskan mendapat gelaran ”karpet merah” untuk bergerak ke mana ia suka. Bukankah ”karpet merah" itu, aslinya, lajur khusus (dalam arti sebenarnya) tanda pemulia bagi tamu istimewa, seperti kepala negara dalam suatu upacara?
Pemanfaatan merah paling fenomenal–dan mungkin pula ’stigmatik’–terlihat pada pemakaiannya sebagai warna ideologi kekuasaan.
Pemanfaatan merah paling fenomenal–dan mungkin pula ”stigmatik”–terlihat pada pemakaiannya sebagai warna ideologi kekuasaan. ”Tentara Merah” adalah sebutan bagi militer Uni Soviet yang ”keras” setelah pecah Revolusi Bolshevik; ditiru oleh gerakan komunisme di Hongaria dan Jerman awal abad ke-20. Julukan ”Tiongkok Merah” bagi Republik Rakyat China yang berideologi komunis membedakannya dengan China Nasionalis di Taiwan. Roman peranakan ”Merah” (1937) karangan Liem Khing Hoo berkisah tentang konflik buruh ”kiri” versus ”kanan” di pabrik rokok Koepoe Taroeng pada zaman Hindia Belanda–berdasarkan peristiwa ”jang soenggoe terdjadi”.
Dulu, setiap kali ”rapotan” (pembagian rapor) di sekolah dasar, saya selalu deg-degan kalau-kalau ada ”biji abang” ’nilai merah’ nongol di rapor. Tapi, sangat senang pas ada ”tanggal abang” selain Minggu. Jauh hari kemudian, ketika saya sempat belajar di negeri luar, seorang penyair menjawil saya ”sekadar tengok-tengok” ke ”red light district”. Yang saya ingat, lagi-lagi, nasihat mendiang simbah semasa kecil saya: ”åjå nganèh-anèhi”.
KASIJANTO SASTRODINOMO, Alumnus FIB Universitas Indonesia