Dampak sekunder pandemi Covid-19 akan lebih buruk pada anak-anak daripada Covid-19 itu sendiri, terutama pada anak-anak yang rentan. Akses terhadap makanan dan gizi, pendidikan, serta perlindungan terganggu.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Langkah-langkah untuk mengendalikan pandemi Covid-19 berdampak luas pada semua dimensi kehidupan anak. Meski risiko terinfeksi Covid-19 pada anak-anak lebih rendah daripada kelompok usia yang lebih tua, dampak sekunder pandemi ini lebih mengancam keselamatan anak-anak.
Dampak sekunder pandemi ini akan jauh lebih buruk pada anak-anak yang rentan, terutama anak-anak dari keluarga miskin. Mereka menghadapi risiko lebih tinggi terkait keselamatan dan kesejahteraan, baik jangka pendek maupun jangka panjang, bahkan bisa seumur hidup mereka.
Krisis akibat pandemi Covid-19 bisa berdampak ganda pada anak-anak yang rentan. Menurunnya pendapatan orangtua, bahkan beberapa kehilangan pekerjaan, berdampak sangat dalam pada kesejahteraan anak-anak.
Sebelum pandemi, sekitar 10 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Angka ini meningkat menjadi 13 persen. Akibat pandemi, banyak pekerja kehilangan pekerjaan. Pada Juni 2020, Kementerian Tenaga Kerja memperkirakan sekitar 1,7 juta pekerja kehilangan pekerjaan dan bisa terus bertambah.
Kemiskinan anak bersifat multidimensi, yaitu berdampak pula pada akses terhadap makanan dan gizi, layanan kesehatan, pendidikan, sanitasi, dan juga perlindungan.
Kemiskinan anak bersifat multidimensi, yaitu berdampak pula pada akses terhadap makanan dan gizi, layanan kesehatan, pendidikan, sanitasi, dan juga perlindungan. Data Unicef Indonesia menyebutkan, sebelum pandemi, kondisi ini dialami sembilan dari sepuluh anak.
Penurunan bahkan hilangnya sumber penghasilan keluarga akibat pandemi ini akan memperparah kondisi mereka. Hasil survei Wahana Visi Indonesia (WVI) terhadap 900 rumah tangga dan 943 anak dari kelompok miskin pada 12-18 Mei 2020 di sembilan provinsi menyebutkan, 53 persen responden rumah tangga tidak mampu menyediakan makanan bergizi.
Kemudian, 96,5 persen bayi di bawah dua tahun tidak terpenuhi kebutuhan minimum makanannya berdasarkan frekuensi dan variasi makanan. Sejumlah rumah tangga (25,4 persen) yang pendapatannya terdampak pandemi memang mengurangi jumlah dan kualitas makan. Mereka memilih makanan yang mengenyangkan, tetapi kurang bergizi.
Kondisi tersebut bisa berdampak pada kualitas dan kesejahteraan mereka dalam jangka panjang, bahkan bisa seumur hidup. Kekurangan gizi pada bayi bisa berdampak rawan terkena penyakit dan juga tengkes (stunting). Sebelum pandemi, sekitar 30 persen anak di bawah usia 24 bulan di Indonesia mengalami tengkes.
Pembatasan sosial selama pandemi juga membuat keluarga miskin rentan tidak dapat mengakses layanan kesehatan. Program posyandu terhenti, petugas kesehatan tidak datang lagi, sementara jam operasional puskesmas juga terbatas selama pandemi atau memprioritaskan layanan untuk mencegah dan mengatasi Covid-19.
Hal tersebut, berdasarkan survei WVI, dialami 54 responden rumah tangga yang memiliki anak di bawah usia lima tahun. Selama pandemi, mereka tidak dapat mengakses fasilitas perawatan kesehatan primer, seperti pemantauan pertumbuhan dan perkembangan, serta imunisasi.
Di bidang pendidikan pun demikian, anak-anak dari keluarga miskin rentan terkendala akses pendidikan selama sekolah ditutup untuk mencegah penyebaran Covid-19. Pembelajaran jarak jauh secara daring mensyaratkan akses pada teknologi digital dan internet. Sejumlah anak bisa mengakses pembelajaran daring meski terbatas, tetapi 32 persen anak yang disurvei WVI sama sekali tidak bisa mengakses pembelajaran daring ataupun luring.
Kekerasan
Di bidang perlindungan anak, orangtua yang terdampak perekonomiannya akibat pandemi sering kali mengamplifikasi masalah mereka kepada anak. Anak pun rentan mengalami kekerasan, baik verbal maupun fisik. Penutupan sekolah juga membuat sejumlah anak kehilangan tempat perlindungan di sekolah sehingga rentan mengalami kekerasan seksual.
Dalam survei WVI, 61,5 persen responden anak mengalami kekerasan verbal dan 11,3 persen responden anak mengalami kekerasan fisik. Keputusan-keputusan rumah tangga juga dapat berdampak negatif pada anak, misal menjadikan anak bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (dilakukan oleh 3,6 persen rumah tangga yang disurvei).
Dalam jangka panjang, kata Cahyo Prihadi, Manajer Kualitas dan Program Akuntabilitas WVI, kondisi tersebut bisa menjadikan anak-anak semakin berlipat risiko mendapatkan kerentanan ganda. Kerentanan yang belum ditangani dengan baik sebelum bencana pandemi menjadi momok dan dengan tambahan risiko rentan lainnya, masa depan anak sebagai generasi penerus akan terancam.
”Respons penanganan yang kurang akan berpotensi menjadi tambahan kerentanan baru ataupun memperburuk kondisi yang sudah ada,” kata Cahyo ketika dihubungi pada Jumat (21/8/2020) di Jakarta.
Dampaknya, ujar Cahyo, tumbuh kembang anak yang terganggu karena penanganan pandemi tidak tepat akan menjadi kerugian bagi anak dan juga bangsa di masa depan, seperti menjadi beban negara dan tidak menjadi generasi produktif untuk membangun negara. Kualitas pembangunan manusia yang turun akan berdampak pada keseluruhan sektor yang membutuhkan sumber daya manusia.
Ini menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan semua pemangku kepentingan. Diperlukan metode kreatif dan inovatif untuk mengatasinya. ”Penanganan yang direkomendasikan adalah tetap mengusahakan akses layanan dasar tersedia dan berfungsi, seperti akses pendidikan, kesehatan, dan perlindungan anak,” katanya.
Menurut Direktur Eksekutif Unicef Henrietta Fore dalam laporan Unicef pada April lalu, investasi pada kesehatan, pendidikan, dan perlindungan anak harus menjadi prioritas dalam penanganan pandemi ini. Langkah segera juga harus dilakukan agar anak-anak tidak menjadi korban tersembunyi pandemi.
Berpihak kepada anak-anak di masa pandemi berarti memastikan ketersediaan dan aksesibilitas pada kesehatan, pendidikan, dan perlindungan. Langkah apa pun yang dilakukan saat ini akan berdampak bagi masa depan anak-anak dan negara.