Bagaimana kemerdekaan dimaknai? Kemerdekaan adalah sesuatu yang harus terus dimaknai secara dinamis demi memahami diri sebagai sebuah bangsa yang berdaulat dan merdeka.
Oleh
Wisnu Dewabrata
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS.Id — Kemerdekaan harus terus-menerus dimaknai dan disikapi dinamis agar manusia tak malah terbelenggu dengan makna kemerdekaan itu sendiri. Kemerdekaan yang berketuhanan adalah salah satu cara memastikan manusia bisa merasa memiliki kebebasan (freedom) dan tak tergantung (dependent) pada pihak lain.
Hal itu disampaikan budayawan Habib Anis Sholeh Ba’asyin dalam acara Suluk Maleman di Rumah Adab Nusantara, Pati, yang telah memasuki edisi ke-104, dan digelar secara daring, Sabtu (15/8/2020) malam. Acara itu membahas tema ”Daulat Manusia dan Dunia yang Kehilangan Makna”.
Turut hadir sejumlah pembicara seperti Guru Besar Universitas Negeri Semarang Saratri Wilonoyudho, dosen STAIN Kudus Abdul Jalil, Ilyas Arifin, dan Budi Maryono. Acara gelar seni dan diskusi budaya rutin ini membahas beragam masalah kebangsaan, yang juga bertujuan merekatkan kembali hubungan kemanusiaan dan kemasyarakatan.
”Kemerdekaan dan kedaulatan bisa menjadi ilusi yang menjebak bagi manusia. Kemerdekaan dan kedaulatan bisa memiliki pengertian yang sangat labil. Berbeda dengan Nabi Yusuf, yang merasa merdeka di dalam penjara, kebanyakan manusia justru kebalikannya. Orang tak sadar sebenarnya dipenjara, tetapi dia merasa merdeka,” ujar Habib Anis.
Dengan begitu, tambah Habib Anis, kemerdekaan dan kedaulatan tertinggi seorang manusia hanyalah ketika dia merdeka dari dirinya sendiri dan dunia. Dia merdeka dan berdaulat saat merasa dan meyakini dirinya hanya terikat kepada Allah SWT.
Memang dia masih memiliki nafsu lain seperti kebutuhan akan makan dan syahwat. Namun, hal itu tidak menjadikannya diperbudak oleh dunia lantaran dia mampu mengikat dirinya pada Yang Mahamutlak. Sesederhana itu. (Habib Anis Sholeh Ba’asyin)
”Memang dia masih memiliki nafsu lain seperti kebutuhan akan makan dan syahwat. Namun, hal itu tidak menjadikannya diperbudak oleh dunia lantaran dia mampu mengikat dirinya pada Yang Mahamutlak. Sesederhana itu,” papar Habib Anis.
Dari pemahaman seperti itu, tambahnya lagi, kemerdekaan bangsa Indonesia tak lagi sebatas dilihat dari momentum ketika Soekarno dan Hatta memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945. Kemerdekaan dan kedaulatan harus terus diperjuangkan, bahkan di setiap detik per detik dan seterusnya.
Dalam kesempatan sama, Saratri mengingatkan, bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat beruntung. Dengan banyaknya suku dan bangsa yang ada di dalamnya, semua sepakat untuk sama-sama menyatakan kemerdekaan menjadi bangsa Indonesia.
Hal itu seharusnya tidak lagi sekadar menjadi modal bersama dan bukan berarti untuk dieksploitasi atau bahkan diingkari. Penyelewengan dan penyalahgunaan kewenangan, salah satunya dalam bentuk praktik korupsi, adalah salah satu bentuk pengingkaran dan pengkhianatan terhadap kesepakatan bersama sebagai suatu bangsa tadi.
”Indonesia jika dikelola dengan baik, terutama dengan banyaknya suku bangsa di dalamnya, kita akan bisa menjadi pemimpin dunia,” ujar Saratri.
Sementara itu, Ilyas Arifin yang juga ikut urun rembuk dalam acara ini mengingatkan pentingnya seseorang sebagai bagian dari suatu bangsa untuk mengenali dirinya sendiri. Ketidaktahuan akan hal itu akan membawa suatu bangsa ke dalam kehancuran lantaran dia tak paham harus dibawa ke mana bangsanya sendiri.
Menurut Ilyas, kebangkitan kedaulatan akan muncul saat orang mengetahui sekaligus memahami potensi dirinya sendiri. Untuk bisa seperti itu, orang harus mampu mempelajari dan melihat kecenderungan dirinya sendiri.
Adapun budayawan Budi Maryono juga mengingatkan pentingnya seorang pemimpin suatu bangsa untuk percaya diri sekaligus mengerti dan memahami betul apa kelebihan dan kekurangan bangsanya sendiri. Hal itu bisa menjadi modal kuat terutama dalam bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain.