Perguruan Tinggi Petakan Kesiapan Mahasiswa Hadapi Perkuliahan Daring
Kuliah daring di perguruan tinggi akan berlangsung paling tidak hingga Januari 2021. Agar lebih optimal, perguruan tinggi memetakan kesiapan mahasiswa, dan menyiapkan solusi untuk mahasiswa yang terkendala.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah perguruan tinggi mulai memetakan kesiapan mahasiswa, terutama mahasiswa baru untuk mengikuti perkuliahan daring mulai tahun ajaran baru 2020/2021 pada September-Oktober mendatang. Sejumlah solusi pun disiapkan untuk membantu mahasiswa yang terkendala mengikuti kuliah daring.
Meskipun belum memiliki pengalaman mengikuti kuliah daring, para mahasiswa baru diyakini bisa beradaptasi dengan teknologi. Perkuliahan daring pun bisa disesuaikan dengan perangkat yang dimiliki mahasiswa, mulai dari telepon pintar hingga laptop. Masalah biasanya muncul terkait akses internet dan biaya kuota internet.
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, misalnya, melakukan survei kesiapan kuliah daring kepada seluruh mahasiswa, termasuk mahasiswa baru. Survei yang dilaksanakan hingga minggu pertama September ini untuk memetakan kapasitas, kemampuan, kemudahan akses internet, dan preferensi aplikasi perkuliahan daring.
”Semua kendala mahasiswa (untuk kuliah daring) dapat diidentifikasi dari hasil survei itu nanti. Kalau masalahnya keterbatasan akses internet, solusinya misalnya mengurangi intensitas sinkronus,” kata Hatma Suryatmojo, Kepala Pusat Inovasi dan Kajian Akademik (PIKA) UGM, ketika dihubungi, Kamis (13/8/2020).
Hatma mengatakan, jika ternyata ada mahasiswa yang benar-benar kesulitan mengikuti perkuliahan daring, pihaknya merekomendasikan fakultas bisa menyelenggarakan kuliah tatap muka di kampus. Kuliah di kampus bisa dipadatkan hingga 50 persen dari durasi normal.
Dengan demikian, mahasiswa bisa menghemat pulsa. Meskipun demikian, UGM juga telah bekerja sama dengan sejumlah perusahaan penyelenggara telekomunikasi untuk memberikan paket kuota tak terbatas untuk akses ke sistem daring UGM.
Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta juga melakukan survei serupa. Hasilnya, mayoritas mahasiswa siap mengikuti kuliah daring meski mereka lebih senang kalau bisa belajar secara tatap muka di kampus.
Untuk (mahasiswa) yang kesulitan akses internet, bagi yang tinggal di Yogyakarta, bisa datang ke kampus, dengan protokol kesehatan. (Ouda Teda Ena)
”Untuk (mahasiswa) yang kesulitan akses internet, bagi yang tinggal di Yogyakarta, bisa datang ke kampus, dengan protokol kesehatan. Ada ruangan yang bisa digunakan untuk mengakses internet di kampus. Kampus juga selalu disemprot disinfektan,” kata Ouda Teda Ena, Wakil Rektor USD Yogyakarta.
Adapun bagi bagi mahasiswa di luar Yogyakarta yang terkendala akses internet, kata Ouda, pihaknya bekerja sama lembaga atau masyarakat di mana mahasiswa tersebut berada. ”Misalnya di Manokwari, kami bekerja sama dengan Keuskupan Manokwari untuk menampung mahasiswa asal Papua agar dapat mengikuti kuliah daring,” katanya.
Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Budi Djatmiko mengatakan, kuota internet menjadi kendala utama mahasiswa di sebagian besar perguruan tinggi swasta untuk mengikuti perkuliahan daring. Karena itu dia mengusulkan agar pemerintah memberikan bantuan dana pembelian kuota internet kepada mahasiswa agar dapat mengikuti perkuliahan daring.
”Bantuan KIP (Kartu Indonesia Pintar) untuk mahasiswa perguruan tinggi swasta juga perlu ditingkatkan. Bantuan ini memang telah meningkat menjadi 10 persen, tetapi masih jauh (dari kebutuhan). Perguruan tinggi swasta kecil paling terdampak pandemi ini, banyak mahasiswa yang tidak bisa membayar kuliah,” katanya.
Selain memetakan kesiapan mahasiswa, kalangan perguruan tinggi juga menyiapkan dosen dengan memberikan pelatihan, dan menyiapkan infrastruktur teknologi untuk mengoptimalkan kuliah daring. Paling tidak hingga Januari 2021, perguruan tinggi di semua zona belum boleh menyelenggarakan kuliah tatap muka.
Menyiapkan diri
Adapun kalangan mahasiswa baru, mereka mulai menyiapkan diri untuk mengikuti kuliah daring. Paulina Ristea Herdiningytas yang diterima di program studi pendidikan guru sekolah dasar (PGSD) di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah, melalui jalur Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), misalnya, membeli laptop baru. Dia juga telah memperhitungkan biaya kuota internet untuk kuliah daring.
”Saya tanya kakak kelas, sekali pertemuan (kuliah daring) kalau menggunakan Google Meet bisa menghabiskan satu sampai dua gigabyte, kira-kira ya Rp 15.000. Rata-rata seminggu tiga kali pertemuan. Saya juga tanya, kira-kira materi kuliahnya seperti apa,” kata Ristea.
Berdasarkan pengalaman kakak kelasnya tersebut, Ristea yakin akan dapat mengikuti kuliah daring meski ini akan menjadi pengalaman pertama baginya. Dia bersyukur akses internet di tempat tinggalnya di Solo selama ini lancar. Dia juga berusaha mengenal kampus UNS melalui situs web UNS ataupun akun media sosial UNS.
Suzia Ulhaq yang juga diterima di prodi PGSD UNS melalui jalur SNMPTN juga mengaku siap mengikuti perkuliahan daring. Terbiasa menggunakan aplikasi Google Meet melalui telepon pintar, dia yakin akan dapat mengikuti kuliah daring menggunakan telepon pintar.
”Meski begitu saya merasa akan banyak tantangan. Saya takut ada kendala jaringan internet. Kalau listrik mati, jaringan internet juga terputus. Akhir-akhir ini listrik sering mati karena ada pembenahan instalasi listrik,” kata Suzia yang tinggal di Lubuk Linggau, Kabupaten Musirawas, Sumatera Selatan.