JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 memberikan tantangan bagi media untuk tidak sekadar menyajikan informasi, tetapi lebih dari itu, informasi yang memberikan solusi bagi masyarakat menghadapi pandemi ini. Di tengah banyaknya misinformasi, bahkan yang bersumber dari pejabat pemerintah, peran media sebagai pengawas semakin dibutuhkan.
Media sebagai pengawas (watchdog) berarti menjalankan fungsi kontrol sosial. Dalam masa pandemi ini, media harus kritis, tidak sekadar melaporkan kebijakan terkait penanganan Covid-19, tetapi juga harus melaporkan hal-hal tersembunyi yang dilakukan pihak-pihak yang berkuasa, baik pemerintah, bisnis, maupun lembaga lainnya, yang perlu diketahui publik.
Selain itu juga dengan mengembangkan berita analitis, reflektif, kontekstual. Berita-berita harian tetap diperlukan, tetapi berita-berita yang menjelaskan ”mengapa” akan memberikan pemahaman kepada masyarakat akan suatu permasalahan yang terjadi, termasuk berita yang melibatkan banyak perspektif, serta menghadirkan banyak nuansa dan para pakar sebagai narasumber.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Gilang Desti Parahita, mengatakan, tidak semua yang dikatakan pejabat publik terkait Covid-19 benar dan tepat. Ada sejumlah pernyataan pejabat publik, terutama di masa awal pandemi, yang justru berpotensi tidak jelas atau membuat informasi semakin terdistorsi.
Namun, yang dilakukan media online (daring) justru mengamplifikasi (menyebarluaskan) distorsi informasi tersebut.
”Namun, yang dilakukan media online (daring) justru mengamplifikasi (menyebarluaskan) distorsi informasi tersebut,” kata Gilang dalam diskusi daring tertema ”Menakar Jurnalisme Pandemi di Media Kita” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Senin (3/8/2020).
Baca juga : Jurnalisme Berkualitas Merawat Harapan Publik
Gilang mencontohkan berita di sebuah media daring yang berjudul ”Terawan Bicara Kekuatan Doa yang Bikin RI Bebas Corona”. Dari kacamata kajian konten media, katanya, ketika media mengamplifikasi pernyataan tersebut, dapat dianggap bahwa media berpihak pada pernyataan itu.
”Jika ingin menunjukkan bahwa pernyataan itu tidak benar, harus mencari pihak (narasumber atau bukti) lain yang menunjukkan anti pada distorsi informasi tersebut,” ujarnya. Pemilihan narasumber yang kompeten dan kritis berdasarkan data, menurut Gilang, sangat penting untuk ”melawan” pernyataan tersebut.
Adapun televisi, kata Direktur Remotivi Yovantra Arief, mempunyai peranan penting untuk mengomunikasikan protokol kesehatan di masa pandemi ini. Namun, berdasarkan pantauan Remotivi atas enam berita prime time (utama) di enam televisi nasional pada 19-26 Mei 2020, televisi gagal menjalankan fungsinya itu dengan baik.
”Sebanyak 65 persen berita (peliputannya) masih dilakukan dengan cara tatap muka. Narasumber yang ditampilkan pun hanya sebagian kecil, 28,1 persen, yang memenuhi semua protokol kesehatan,” katanya. Demikian pula pada acara di luar program berita, sejak Mei 2020, beberapa program utama tidak lagi mempromosikan protokol kesehatan.
Dari perannya menyebarkan informasi, kata Yovantra, televisi masih sekadar menyampaikan informasi, belum menjadi bagian dari solusi atas suatu permasalahan. Padahal, televisi sebagai media yang jamak dikonsumsi masyarakat, dengan 90 persen masyarakat memiliki televisi, seharusnya bisa menjadi bagian dari solusi.
Kesenjangan
Gilang menilai masih ada kesenjangan yang lebar antara tataran konseptual dan praksis jurnalisme di Indonesia. Media ataupun jurnalis sudah memahami tugas dan fungsi mereka dengan baik, tetapi di tataran praktik masih banyak yang belum menjalankan fungsinya dengan baik.
Ada sejumlah hal, kata Gilang, yang harus dilakukan agar media/jurnalis bisa menjadi pengawas yang baik. Salah satunya dengan menjaga independensi dengan cara tetap berjarak dengan penguasa dan tidak terinfiltrasi dengan kepentingan politik tertentu. Selain itu, dengan mendasarkan diri pada kebutuhan publik yang riil, bukan apa yang dibayangkan media/jurnalis.
”Semakin jurnalis itu paham apa yang dibutuhkan warga dan apa yang sebenarnya terjadi ketika sebuah kebijakan diimplementasikan, dari situ jurnalis atau organisasi media bisa melihat kekurangan program atau kebijakan (pemerintah),” katanya.
Selain bisa mengawasi pengampu kebijakan, menurut Gilang, hal lain yang perlu dilakukan jurnalis/media saat ini adalah membangun kedekatan dengan komunitas atau publik yang diwakili. Publik yang diwakili ini sering kali tidak sama dengan audience (pembaca/penonton), tetapi kelompok-kelompok marjinal.
”Pembaca itu hanya sebagian kecil yang diwakili. Yang tidak pernah membaca juga perlu kita wakili. Mereka tidak membaca karena tidak punya akses untuk membaca,” katanya.
Baca juga : Informasi, Komoditas yang Mudah Rusak Selama Pandemi
Pemimpin Redaksi CNN Indonesia Titin Rosmasari mengatakan, media harus menyajikan informasi yang relevan dengan masyarakat. Ini tantangan di masa pandemi ini karena banyak hal yang baru terkait Covid-19. Ketika media harus beradaptasi dengan cara baru untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat, media juga harus beradaptasi dengan disrupsi akibat pandemi ini.