Lembaga Pers Dr Soetomo tengah menggodok konsep pelatihan jurnalistik bagi pegiat media sosial. Tujuannya agar informasi yang mereka sebarkan juga berbasis jurnalisme. Ini salah satu upaya untuk menangkal hoaks.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyebaran informasi yang berbasis jurnalisme di media sosial diyakini bisa menjadi salah satu upaya untuk menangkal penyebaran hoaks atau berita bohong. Informasi ini tidak hanya yang dihasilkan oleh jurnalis, tetapi juga yang dihasilkan masyarakat, terutama pegiat media sosial.
Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) tengah menggodok konsep pelatihan jurnalistik untuk masyarakat, termasuk pegiat media sosial. Selama ini, LPDS telah memberikan pelatihan kepada sekitar 17.000 orang. Semakin banyak masyarakat yang memahami jurnalisme, akan semakin banyak informasi yang dapat dipertanggungjawabkan pada era media sosial ini.
”Dengan jurnalisme, semua informasi yang disebar ke masyarakat merupakan informasi yang terkonfirmasi. Semakin banyak masyarakat terlibat dalam jurnalisme, hoaks dapat diperkecil,” kata Ketua Dewan Pengurus Yayasan Pendidikan Multimedia Adinegoro (YPMA) Ahmad Djauhar ketika membuka webinar dalam rangka ulang tahun ke-32 LPDS, Kamis (23/7/2020).
Djauhar mengatakan, media sosial penting dari segi kecepatan dan aksesibilitas. Sayangnya banyak pegiat media sosial tidak memahami jurnalisme sehingga sering kali informasi yang mereka sebarkan searah, bahkan tidak jarang salah dan memuat kebohongan yang kemudian melahirkan hoaks. Selama ini banyak orang mengalami kesesatan karena hoaks.
Dengan kondisi sebagian besar masyarakat mengakses informasi melalui media sosial, menjadi sangat penting untuk menyebarkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan di media sosial. ”Di luar negeri, pegiat media sosial juga melakukan kerja jurnalisme. Di Amerika Serikat, blogger sudah masuk sebagai eksponen jurnalisme, kenapa tidak di Indonesia (juga begitu),” kata Djauhar.
Tantangan besar
Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh mengatakan, pers mempunyai peran untuk mengedukasi publik. Krisis yang terus mendera perusahaan pers seharusnya tidak lantas menjadikan peran tersebut menjadi berkurang, apalagi terhenti.
”Kalau pers bungkam, bubar, tambah tidak karuan. Peran pers luar biasa, tetapi tantangannya juga besar untuk terus mengedukasi publik,” kata Nuh.
Karena perannya yang sangat penting ini, menurut Nuh, wartawan harus mempunyai basis data yang kuat untuk dikemas menjadi informasi. ”Dari informasi ini dikemas menjadi pengetahuan. Yang mencerdaskan (masyarakat) itu bukan informasi, tetapi pengetahuan,” ujarnya.
Pada era media sosial ini, ujar Nuh, wartawan juga harus peka pada hoaks agar tidak turut menyebarkan hoaks melalui medianya. Menghadapi informasi yang beredar di media sosial, wartawan harus skeptis dan bertindak profesional. ”Kemampuan wartawan dalam memanfaatkan teknologi digital juga harus ditingkatkan. Ini PR (pekerjaan rumah) LPDS,” kata Nuh.
Ketua Dewan Pengawas YPMA-LPDS Bambang Harymurti mengemukakan, penyebarluasan konten palsu maupun ujaran kebencian di media sosial tak terhindarkan karena platform digital global mewadahinya. Bahkan, para pembuat dan penyebar kontennya bisa mendapatkan keuntungan dari iklan yang dipasang di platform tersebut.
”Model bisnis (platform digital global) hanya berdasar klik, tidak peduli kontennya seperti apa. Celakanya sistem hukum yang ada belum dimodifikasi untuk ini. Ini seperti (perusahaan) percetakan, isi di luar tanggung jawab percetakan,” kata Bambang.
Menurut Bambang, Pemerintah Indonesia seharusnya mengantisipasi hal ini dengan menambahkan pengaturan untuk platform digital global dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Paling tidak aturan sebagaimana berlaku bagi perusahaan percetakan, jika identitas penulisnya diketahui dan berdomisili di Indonesia, perusahaan percetakan juga bertanggung jawab atas isi.
”Facebook dan Google seharusnya bertanggung jawab jika identitas penulisnya jelas dan sedang berdomisili di Indonesia. Ini salah satu kelemahan sistem hukum kita yang belum di-upgrade (disesuaikan dengan kondisi terkini) untuk melindungi masyarakat dari produk sampah digital,” kata Bambang.