Kebebasan pers menghadapi tantangan besar oleh menurunnya kepercayaan masyarakat, kehadiran platform digital global, serta tingginya ancaman terhadap wartawan.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Reformasi telah melahirkan pers yang bebas dan pers dapat memainkan peran sebagai pilar keempat demokrasi. Namun, seiring perkembangan politik, sosial, dan ekonomi, kebebasan pers menghadapi tantangan besar oleh menurunnya kepercayaan masyarakat, kehadiran platform digital global, serta tingginya ancaman terhadap wartawan.
Kebebasan pers di Indonesia telah memberi ruang adanya dominasi pemilik modal besar di perusahaan pers yang lebih mengutamakan kepentingan ekonomi. Mereka, kata Ade Armando, dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, mengintervensi jurnalisme untuk kepentingan pemilik modal yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan publik.
Kondisi tersebut mempunyai andil menurunkan kepercayaan masyarakat kepada pers. Ditambah lagi, kata dia, masih ada perusahaan pers yang diisi wartawan tidak profesional, yang membuat berita dengan tidak bertanggung jawab. Pers yang bebas juga dimanfaatkan para petualang politik untuk membuat media massa dan merekrut wartawan untuk menyebarkan informasi sesuai kepentingan mereka
”Betapapun buruknya kondisi-kondisi tersebut, saya masih percaya kebebasan pers daripada pers yang terkontrol seperti pada zaman Orba. Mungkin dulu enggak ada clickbait, tetapi kita tidak mempunyai daya untuk menghadapi penguasa yang otoriter,” kata Ade dalam webinar bertema ”Masihkah Pers Menjadi Pilar Ke-4 Demokrasi?” yang diselenggarakan oleh Gerakan Alumni UI4NKRI, Rabu (8/7/2020), di Jakarta.
Pembicara lain dalam webinar ini adalah Pinckey Triputra, dosen Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi UI; Nasir Tamara, Ketua Umum Persatuan Penulis Indonesia SATUPENA; serta Abdul Manan, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Diskusi dipandu oleh Intan Nugroho, News Anchor TVRI.
Meski reformasi telah melahirkan kebebasan pers, menurut Manan, dalam perjalanan waktu justru pemerintah membuat sejumlah kebijakan yang melanggar kebebasan pers. Salah satunya adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang sering kali menjerat wartawan dengan tuduhan penghinaan dan pencemaran nama baik.
Sejak tahun 2009, rata-rata setiap tahun terjadi 40-45 kasus kekerasan terhadap wartawan, pada 2019 bahkan ada 53 kasus
”Sejak tahun 2009 rata-rata setiap tahun terjadi 40-45 kasus kekerasan terhadap wartawan, pada 2019 bahkan ada 53 kasus. Model kekerasannya pun berkembang, mulai dari pengusiran hingga pembunuhan. Intimidasi atau serangan secara digital menjadi tren baru serangan terhadap wartawan seperti dialami wartawan Detik.com beberapa waktu lalu,” paparnya.
Iklim ekonomi dengan struktur kepemilikan media yang terkonsentrasi di 10 kepemilikan besar yang berdampak pada profesionalisme wartawan. Menurut Manan, pemerintah mempunyai kontribusi pada terjadinya konsentrasi kepemilikan media tersebut. Undang-Undang Penyiaran mengatur soal kepemilikan media, tetapi pemerintah tidak pernah menerapkannya.
”Dengan iklim kebebasan itu bagaimana pers bisa menjadi pilar keempat demokrasi? Pilar keempat itu andaikan media sebagai check and balance ketika tiga pilar lainnya tidak berkerja dengan baik. Konsep empat pilar ini seperti konsep imajiner karena membandingkan hal yang tidak setara. Kita memberikan beban besar kepada wartawan untuk jalankan pilar keempat demokrasi. Padahal yang terjadi hanya menjalankan fungsi sebagai watchdog,” kata Manan.
Lanskap berubah
Menurut Pinkey, pers masih menjadi pilar keempat demokrasi meski realitas media dan lanskap media sekarang sudah jauh berbeda. Perkembangan teknologi yang memunculkan platform digital global mempunyai pengaruh besar, bukan hanya mendisrupsi industri pers, melainkan juga membanjiri masyarakat dengan hoaks dan informasi salah.
Kehadiran teknologi yang memungkinkan siapa saja terlibat dalam bidang media, kata Ade. Kondisi ini melahirkan informasi yang tidak memenuhi syarat sebagai produk jurnalistik yang profesional meski kontennya menarik.
Menurut Nasir, media massa harus berjalan beriringan untuk memperkuat demokrasi, terutama menghadapi perkembangan teknologi informasi yang melahirkan dominasi platform media global atas informasi yang beredar di masyarakat. Informasi tersebut bukan hanya menggerus kepercayaan masyarakat kepada pers, melainkan juga bisa menggerus demokrasi.
”Media harus duduk bersama (untuk menghadapi ini). Negara mempunyai kekuatan untuk mengontrol platform media global dengan pajak, mereka harus dikenai pajak yang adil. Ini instrumen untuk menciptakan keadilan dari ekses demokrasi yang menyebabkan orang tidak percaya pada demokrasi,” kata Nasir.