Setelah 200 Tahun Lebih, Pojok Beteng Keraton Yogyakarta Kembali Utuh
Pojok Beteng Lor Wetan Keraton Yogyakarta yang hancur dalam peristiwa Geger Sepehi tahun 1812 kini dibangun kembali. Pembangunan yang ditargetkan selesai akhir Juli 2020 itu menghabiskan anggaran Rp 4,8 miliar.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Proses revitalisasi pojok beteng di sisi timur laut Keraton Yogyakarta memasuki tahap akhir. Proyek yang ditargetkan selesai akhir Juli 2020 itu menghabiskan anggaran sekitar Rp 4,8 miliar. Bangunan pojok beteng yang dibangun lagi itu merupakan bagian dari Benteng Keraton Yogyakarta yang hancur tahun 1812.
”Rencana awalnya, anggaran untuk pembangunan kembali pojok beteng itu sekitar Rp 6,2 miliar. Namun, dalam perjalanan waktu, ternyata hanya membutuhkan Rp 4,8 miliar,” kata Kepala Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Aris Eko Nugroho, Kamis (23/7/2020), di Yogyakarta.
Pojok beteng atau ”jokteng” merupakan bangunan yang menjadi bagian dari benteng yang dulu mengelilingi Keraton Yogyakarta. Awalnya, ada empat pojok beteng di sekitar Keraton Yogyakarta. Namun, saat ini, hanya ada tiga bangunan yang tersisa, yakni Pojok Beteng Wetan di sisi tenggara Keraton Yogyakarta, Pojok Beteng Kulon di sisi barat daya, dan Pojok Beteng Lor di barat laut.
Sementara itu, satu bangunan pojok beteng di sisi timur laut hancur saat tentara Inggris menyerbu Keraton Yogyakarta pada 1812 atau dikenal dengan peristiwa Geger Sepehi. Tahun ini, Pemerintah Daerah (Pemda) DIY dan Keraton Yogyakarta memutuskan membangun kembali pojok beteng itu. Berdasarkan kesepakatan beberapa pihak, pojok beteng itu diberi nama Pojok Beteng Lor Wetan.
Aris menjelaskan, berdasarkan perjanjian dalam kontrak proyek itu, pembangunan konstruksi Pojok Beteng Lor Wetan ditargetkan selesai pada Jumat (24/7/2020). Saat ini, pengerjaan bangunan sudah hampir selesai. Namun, setelah pembangunan pojok beteng, masih ada proses pemeliharaan dan pembuatan beberapa fasilitas tambahan, misalnya taman.
Selain itu, Aris menuturkan, Pemda DIY juga tengah mengkaji kemungkinan penataan kabel-kabel di sekitar Pojok Beteng Lor Wetan. Hal ini karena kabel-kabel yang semrawut itu dinilai mengganggu pemandangan di sekitar lokasi. Oleh karena itu, Pemda DIY akan membicarakan kemungkinan penataan kabel dengan sejumlah instansi terkait, seperti Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Telkom.
Keberadaan kabel-kabel yang semrawut itu dinilai mengganggu pemandangan di sekitar lokasi.
”Tampaknya kabel-kabel itu, kan, sebenarnya mengganggu. Ini menjadi bagian yang akan kami diskusikan dengan PLN, Telkom, dan sebagainya,” ujar Aris.
Aris memaparkan, pembangunan kembali Pojok Beteng Lor Wetan itu merupakan bagian dari penataan kawasan Sumbu Filosofi Yogyakarta. Sumbu Filosofi adalah garis lurus yang membentang dari tiga bangunan penting di Yogyakarta, yakni Tugu Golong Gilig atau Tugu Yogyakarta, Keraton Yogyakarta, dan Panggung Krapyak. Sumbu filosofi itu melambangkan perjalanan manusia sejak lahir hingga meninggal atau kembali kepada Sang Pencipta.
Menurut Aris, Pemda DIY berencana mengajukan kawasan Sumbu Filosofi untuk ditetapkan sebagai warisan budaya dunia. Agar penetapan itu bisa dilakukan, Pemda DIY akan mengirim usulan kepada Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sebagai lembaga yang berwenang menetapkan warisan budaya dunia.
Aris menyatakan, anggaran untuk membangun kembali Pojok Beteng Lor Wetan berasal dari dana hibah Pemerintah Daerah (Pemda) DIY kepada Keraton Yogyakarta. Sumber dana hibah itu berasal dari dana keistimewaan DIY yang dikucurkan pemerintah pusat untuk penyelenggaraan urusan keistimewaan di provinsi tersebut.
Selain pembangunan Pojok Beteng Lor Wetan, ada dua proyek lain yang juga dibiayai dana hibah semacam itu. Dua proyek itu adalah pembangunan pagar di Alun-alun Utara Yogyakarta dengan anggaran sekitar Rp 2,3 miliar dan rehabilitasi bangunan Masjid Gedhe Kauman dengan anggaran Rp 2,6 miliar.
Aris menyebut, pembangunan pagar Alun-alun Utara Yogyakarta ditarget selesai akhir Juli 2020, sedangkan rehabilitasi Masjid Gedhe Kauman kemungkinan selesai pertengahan Agustus 2020. ”Kalau yang pojok beteng dan pagar alun-alun insya Allah selesai akhir Juli, sedangkan yang Masjid Gedhe sekitar pertengahan Agustus,” tuturnya.
Menurut Aris, karena menggunakan dana hibah, proses lelang atau tender tiga proyek tersebut dilaksanakan sendiri oleh Keraton Yogyakarta. Hal ini berbeda dengan sejumlah proyek lain yang dibiayai dana keistimewaan DIY, tetapi tidak melalui mekanisme hibah. Dalam proyek yang anggarannya tak melalui mekanisne hibah, lelang biasanya dilakukan pemda.
Meski dilakukan Keraton Yogyakarta, Aris mengatakan, proses lelang yang dilakukan tetap mengacu aturan. Dia menambahkan, selama ini, Pemda DIY memang memberikan hibah berupa uang dari dana keistimewan DIY untuk dua institusi kerajaan tradisional di provinsi itu, yakni Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.
Selama ini, Pemda DIY memang memberikan hibah berupa uang dari dana keistimewan DIY untuk dua institusi kerajaan tradisional di provinsi itu, yakni Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.
”Dalam penganggaran dana keistimewaan ini, hibah berupa uang sampai saat ini terutama untuk Keraton dan Pura (Pakualaman). Kalau hibah dalam bentuk barang bisa untuk masyarakat, misalnya dalam bentuk gamelan. Seperti tahun kemarin, kami menghibahkan 36 gamelan kepada masyarakat,” ungkap Aris.
Berdasarkan Keputusan Gubernur DIY Nomor 126/KEP/2020 yang mengatur penetapan penerima hibah dan bantuan sosial berupa uang, alokasi dana hibah untuk Keraton Yogyakarta pada 2020 sekitar Rp 76,8 miliar. Adapun alokasi dana hibah untuk Kadipaten Pakualaman tahun ini sebesar Rp 24 miliar.
Namun, Aris menyebut, alokasi dana hibah untuk Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman itu masih mungkin berubah. Hal ini karena alokasi dana keistimewaan DIY tahun 2020 sedang dalam proses redesain atau didesain ulang. ”Ini, kan, masih proses redesain,” tuturnya.
Pembebasan lahan
Sebelum membangun kembali Pojok Beteng Lor Wetan, Pemda DIY telah melakukan pembebasan lahan dan bangunan di wilayah itu. Hal ini karena wilayah bekas pojok beteng itu dulunya menjadi permukiman penduduk. Oleh karena itu, agar bisa membangun kembali Pojok Beteng Lor Wetan, bangunan dan rumah di wilayah tersebut mesti dibongkar.
Dalam kesempatan sebelumnya, Kepala Paniradya Kaistimewan DIY Beny Suharsono mengatakan, anggaran pembebasan lahan Pojok Beteng Lor Wetan mencapai Rp 54 miliar. ”Ada sekitar 30 bidang lahan dan bangunan yang terkena dampak revitalisasi Pojok Beteng Lor Wetan,” tuturnya.
Sebagian lahan dan bangunan yang terkena dampak itu ada di sisi dalam beteng, sementara sebagian lainnya berada di sisi luar. Dari segi kepemilikan, status lahan di sisi dalam dan sisi luar beteng itu berbeda. Adapun Paniradya Kaistimewan merupakan organisasi perangkat daerah yang bertugas mengoordinasikan urusan keistimewaan DIY.
Menurut Beny, lahan di sisi dalam beteng merupakan area milik Keraton Yogyakarta atau biasa disebut dengan istilah Sultan Ground. Oleh karena itu, ganti rugi untuk warga di sisi dalam beteng hanya dihitung berdasarkan nilai bangunan. ”Tanah yang di dalam itu, kan, bukan milik pribadi warga,” ucapnya.
Sementara itu, sebagian lahan di sisi luar beteng merupakan lahan hak milik warga sehingga penghitungan ganti ruginya pun mempertimbangkan nilai tanah dan bangunan. Khusus untuk pemilik tempat usaha yang terdampak, Pemda DIY juga mempertimbangkan nilai ekonomi usaha mereka dalam penghitungan ganti rugi.
”Kalau untuk yang di luar, (ganti rugi) dihitung berdasarkan nilai tanah dan bangunan serta nilai ekonomi. Jadi, ini menjadi ganti untung betul,” kata Beny.