Orangtua Pegang Peran Sentral Dampingi Anak di Dunia Digital
Pengasuhan digital yang baik membutuhkan peran sentral orangtua. Oleh karena itu, orangtua harus terliterasi teknologi digital terlebih dulu.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengasuhan digital tetap menekankan dialog aktif antara orangtua dan anak. Orangtua diharapkan tidak mengabaikan makna penting kehadiran mereka.
Pendiri dan CEO Family Online Safety Institute (FOSI) Stephen Balkam mengatakan, anak cenderung selalu meniru orangtuanya. Ketika orangtua rajin mengecek surel atau pesan instan di gawai, misalnya, anak kemungkinan besar akan penasaran.
”Jadilah teladan dan panutan yang baik ketika Anda berkumpul dengan anak. Ini adalah inti pengasuhan digital yang baik,” ujar Stephen saat menghadiri webinar ”Pengasuhan Digital dalam Adaptasi Kebiasaan Baru”, Senin (20/7/2020), di Jakarta.
Kebanyakan anak generasi terkini sudah ”daring” sejak usia dini. Artinya, mereka umumnya telah mengenal gawai beserta aplikasi karena lahir di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital. Bahkan, mereka sering kali lebih paham memanfaatkan gawai ataupun aplikasi dibandingkan orangtua.
Orangtua tidak perlu bereaksi berlebihan jika kejadian itu terjadi di dalam keluarga mereka. Orangtua cukup terus mengedukasi dirinya sendiri, memahami gawai, dan alat-alat digital.
Orangtua boleh menerapkan fitur-fitur kontrol pengasuhan (parental control) yang kini marak dikembangkan produsen gawai ataupun aplikasi. Namun, Stephen mengingatkan agar orangtua tetap membuka komunikasi dengan anak, menemani, dan berdialog dengan mereka.
Dia menyebutkan ada tiga lapisan yang harus dimiliki oleh keluarga saat ini sebagai bagian dari kewarganegaraan digital. Lapisan pertama adalah kesadaran pentingnya keselamatan, keamanan, dan privasi. Lapisan kedua, literasi media agar lebih bijak menyikapi hadirnya informasi palsu dan kebenaran konten. Adapun lapisan ketiga menyangkut kesadaran tentang hak dan tanggung jawab.
Tidak mudah membangun tiga lapisan kesadaran kewarganegaraan digital itu sekaligus, apalagi ketika pandemi Covid-19. Mayoritas warga harus beraktivitas di rumah saja sehingga cara berkomunikasi utama adalah menggunakan media daring. Begitu pula anak yang harus berkomunikasi dengan teman dan gurunya melalui aplikasi pesan instan ataupun telekonferensi.
Anda juga harus mendialogkan kepada mereka tentang kerawanan-kerawanan interaksi di ruang virtual.
”Susunlah jadwal bekerja dan belajar menggunakan media daring. Utamakan komunikasi langsung dengan anak. Anda juga harus mendialogkan kepada mereka tentang kerawanan-kerawanan interaksi di ruang virtual,” kata Stephen.
Pendiri Parentalk.id, Nucha Bachri, menyebut ada krisis keterikatan yang kini dialami sejumlah keluarga yang dipicu pemakaian gawai berlebih. Krisis berpotensi naik ketika segala aktivitas dilakukan di rumah saja. Sebagai gambaran, orangtua bekerja dari rumah dan harus menjalani rangkaian rapat virtual. Lalu, anak mengikuti pembelajaran jarak jauh menggunakan metode daring.
”Kondisi orangtua seperti itu kemungkinan telah mengaktifkan fitur kontrol di gawai masing-masing anaknya sehingga mereka tetap terus dapat melanjutkan bekerja. Suasananya mirip saat sebelum pandemi, yaitu orangtua bekerja di kantor dan anak ke sekolah. Perbedaannya sekarang adalah sama-sama di rumah, tetapi perhatian masing-masing terpusat pada layar,” tuturnya.
Nucha memandang, ketika durasi menatap layar gawai naik, ada potensi stres terjadi, baik dialami orangtua maupun anak. Apalagi, aktivitas di rumah saja tidak ada selingan interaksi fisik.
Tanggung jawab literasi tidak boleh dilupakan orangtua meskipun mereka telah mengaktifkan fitur kontrol di gawai masing-masing anak dan ada pengasuh. Maka, berdialog dan interaksi langsung dengan anak itu penting.
Keamanan siber
Coordinator of Indonesia Child Online Protection (ID-COP) Andy Ardian mengatakan, Indonesia telah lama mendapat sorotan internasional terkait keamanan siber, termasuk perlindungan anak. Pada tahun 2019, misalnya, para pemimpin negara ASEAN menandatangani komitmen perlindungan anak di ruang virtual. Komitmen ini menuntut peta jalan perlindungan anak di ranah daring, meningkatkan peran gugus tugas pencegahan dan penanganan pornografi, serta literasi digital kepada masyarakat. Salah satu permasalahan perlindungan anak di ranah digital adalah ketiadaan pendataan yang terintegrasi.
Direktur Tata Kelola Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Mariam F Barata menyampaikan, sekitar 25,6 persen dari total pengakses internet sesuai data Badan Pusat Statistik adalah anak berusia 5-12 tahun. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) juga menyebut, satu dari tiga pengguna internet di dunia adalah anak berusia di bawah 18 tahun.
Internet mampu meningkatkan literasi dan wawasan kepada anak. Akan tetapi, di sisi lain terdapat sejumlah tantangan yang mengancam perlindungan dan hak anak, misalnya perundungan digital dan pencurian data pribadi.
Mariam sependapat bahwa orangtua memegang peranan sentral dalam pengasuhan digital yang baik. Oleh karena itu, orangtua harus terliterasi teknologi digital terlebih dulu.
”Kami berharap sektor swasta (perusahaan) mendukung pengasuhan digital yang baik. Kami juga mendorong inovasi yang keluar semestinya menjunjung tinggi kenyamanan dan keamanan privasi data,” katanya.