Sapardi Djoko Damono (80) meninggal, Minggu (19/7/2020), pukul 09.17. Semasa hidupnya, sastrawan yang populer dengan karya Hujan Bulan Juni ini banyak menginspirasi akademisi, penyair muda, dan juga awam.
Oleh
Mediana
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sastrawan senior Indonesia, Sapardi Djoko Damono (80), meninggal pada Minggu (19/7/2020) pukul 09.17.
Sapardi mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Eka Hospital, Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Sebelumnya, Sonya Indriati Sondakh, istri Sapardi, saat dihubungi Jumat (10/7/2020), di Jakarta, menceritakan, selama dua hari berturut-turut, Sapardi mengalami batuk berat. Dia menggambarkan, suaminya bisa batuk berjam-jam tidak berhenti dari pagi hingga sore.
Menurut Sonya, awalnya, Sapardi enggan dibawa ke rumah sakit. Ketika batuk berat tak kunjung mereda, bahkan mengarah sesak, Sapardi akhirnya mau dibawa ke rumah sakit. Rumah Sakit Eka Hospital, Serpong, Tangerang Selatan, dipilih karena dokter yang terakhir merawat Sapardi kini praktik di sana. Dokter bersangkutan sebelumnya pernah praktik di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan.
Sastrawan sekaligus dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Ibnu Wahyudi, saat dihubungi Minggu (19/7/2020), menilai, almarhum dosen yang menjadi ”guru”, artinya Sapardi menanamkan kecintaan kepada sastra secara penuh. Almarhum juga menawarkan pemahaman sastra secara humanistik, interdisipliner, dan liberal.
Almarhum menginisiasi Sosiologi Sastra dan Sastra Bandingan. (Ibnu Wahyudi)
”Sastra harus pula dikaitkan dengan disiplin lain. Almarhum menginisiasi Sosiologi Sastra dan Sastra Bandingan. Saya kemudian yang diwarisi,” katanya.
Sebab, pada hakikatnya, sastra bicara tentang kehidupan dan dimensi kehidupan manusia yang beraneka ragam. Amat mustahil apabila kajian sastra hanya bertumpu dari sastra itu saja, seperti hanya bicara keindahan bahasa.
Ibnu ingat, semasa hidup, Sapardi pernah menginisiasi kuliah Masyarakat dan Kesenian Indonesia. Kini, kuliah itu bernama Kebudayaan Indonesia.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Ketua Bidang Umum Dewan Kesenian Jakarta Yusi Avianto Pareanom menilai, Sapardi adalah salah seorang penyair liris terbaik Indonesia. Pengaruhnya bisa dilihat pada karya-karya penyair yang muncul sesudahnya.
”Almarhum juga orang yang sangat baik dan tidak pernah ragu membesarkan hati penulis-penulis muda. Indonesia sangat kehilangan,” katanya.
Kendati bukan penyair, Yusi menyukai syair-syair yang dibuat Sapardi semasa hidup.
Sapardi aktif menjadi sastrawan sejak sekitar tahun 1950. Dia tidak hanya menulis banyak sajak yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, tetapi juga esai, cerita pendek, dan novel. Salah satu karyanya yang populer adalah Hujan Bulan Juni yang pernah diangkat ke film layar lebarnya.
Kini, jenazah Sapardi disemayamkan di kompleks dosen Universitas Indonesia, Ciputat, Tangerang Selatan. Sesuai rencana keluarga, jenazah akan dimakamkan sore hari ini setelah ashar di Taman Pemakaman Giritama, Giri Tonjong, Bogor.
Pihak keluarga mohon doa untuk almarhum dan dengan hormat meminta supaya para kerabat dan sahabat tidak mengantar/hadir di pemakaman, mengingat di situasi pandemi saat ini perlu diutamakan protokol kesehatan dari pemerintah.