Sejak 2 Oktober 2009, UNESCO mengakui batik sebagai warisan budaya tak benda dari Indonesia. Namun, isu klaim batik sebagai bagian budaya negara lain masih muncul.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Klaim batik sebagai bagian dari negara lain kembali viral. Ini menunjukkan masih ada pekerjaan rumah terkait upaya pelestarian budaya yang belum tuntas.
Sebelumnya, pada Minggu (12/7/2020), media asal China, China Xinhua News, mengunggah postingan video berdurasi 49 detik. Unggahan itu disertai keterangan, ”Batik adalah kerajinan tradisional yang umum di kalangan kelompok etnis di China. Menggunakan lilin leleh dan alat seperti spatula, orang mewarnai kain dan memanaskannya untuk menghilangkan lilin. Lihatlah bagaimana kerajinan kuno berkembang di zaman modern #AmazingChina.”
Unggahan itu segera viral di dunia maya. Warganet Indonesia menilai unggahan China Xinhua News ingin mengklaim Batik bagian utama dari China.
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI melalui akun Twitter @Kemlu_RI, pada Senin (13/7/2020), menjelaskan bahwa batik adalah warisan leluhur Indonesia yang erat dengan keseharian masyarakat. ”Batik adalah warisan leluhur yg erat dgn kehidupan kita sehari-hari. Sejak 2/10/2009, @UNESCO telah tetapkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi. Oleh sebab itu, kita rayakan 2 Oktober sebagai #HariBatikNasional.” Unggahan ini disertai tagar #IniDiplomasi.
Kemlu RI juga mengunggah foto saat Menlu Retno Lestari Priansari Marsudi menjadi Presiden Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan berfoto dengan peserta dari negara lain. Mereka semuanya mengenakan batik. ”Foto berikut adalah momen tidak terlupakan saat Indonesia Flag of Indonesia membatikkan ruang sidang Dewan Keamanan PBB ketika Indonesia menjadi Presiden DK PBB (07/05/2019). Nah, #SahabatKemlu, post disini dong batik kebanggaanmu! #BatikDiplomacy #IniDiplomasi.”
Setelah itu, China Xinhua News merevisi pernyataannya dengan mengunggah keterangan yang menerangkan kerajinan cetak lilin Tiongkok kuno sangat terampil dan memakan waktu. Kerajinan ini juga dikenal sebagai batik, sebuah kata dengan asal Indonesia yang mengacu pada teknik pewarnaan tahan lilin yang dipraktikkan di banyak bagian dunia. Unggahan ini disertai ucapan terima kasih yang dialamatkan ke akun Twitter Kemlu RI.
Bukan yang pertama
Isu klaim batik bukan kali pertama. Beberapa tahun lalu, Malaysia pernah mengklaim batik adalah milik mereka. Polemik muncul dan membuat geram masyarakat Indonesia.
Pentingnya memperkuat aspek kognitif Batik di kalangan masyarakat Indonesia.
Sejarawan dan pendiri Komunitas Historia Indonesia, Asep Kambali, saat dihubungi Selasa (14/7/2020), di Jakarta, berpendapat pentingnya memperkuat aspek kognitif Batik di kalangan masyarakat Indonesia. Aspek kognitif adalah fondasi. Ketika dasar pengetahuan kuat, maka saat muncul isu klaim dari negara lain tidak akan melunturkan sikap warga. Tidak pula muncul sentimen-sentimen negatif mengikuti isu klaim.
Pada 12 Juli 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan Museum Batik. Dalam diskusi dan seminar saat peresmian, muncul usulan menominasikan batik kepada Organisasi Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa UNESCO agar menjadi Warisan Budaya Tak Benda atau Intangible Cultural Heritage. Tanggal 4 September 2008, seluruh berkas nominasi yang akan disetor siap.
Sekitar Januari 2009, formulir dan berkas dari Indonesia telah diterima oleh pihak UNESCO. Lalu, 2 Oktober 2009, UNESCO menetapkan batik sebagai warisan budaya tak benda dari Indonesia. Teknik, simbolisme, dan budaya terkait dianggap melekat dengan kebudayaan Indonesia.
”UNESCO ’memformalkan’ proses membuat batik dan tradisi menyertainya. Intangible asset. Hal inilah yang harus dipahami masyarakat Indonesia,” ujar Asep.
Dia memandang, secara afektif, pengakuan UNESCO itu sudah terlihat, seperti viral warganet yang mengecam unggahan China Xinhua News. Artinya, rasa memiliki sudah berkembang pesat. Secara gerakan, masyarakat Indonesia muncul kebiasaan memakai pakaian Batik di hari tertentu, baik untuk bekerja, bersekolah, maupun peringatan hari formal khusus.
Namun, dia mengamati aspek kognitif terhadap Batik belum kuat. Jika hal itu dibiarkan, upaya pelestarian Batik sebagai Warisan Budaya Tak Benda UNESCO tak akan optimal. Pendalaman aspek kognitif bisa melalui pendidikan, seperti kurikulum di sekolah.
”Dalam konteks kekinian, sejarah akan selalu dinamis sehingga tidak akan ada kebenaran yang mendekati. Begitu pula dengan batik di Indonesia. Saya kira isu klaim batik yang dipicu unggahan China Xinghua News tidak perlu diperbesarkan karena hal terpenting penanaman aspek kognitif batik sebagai tindak lanjut pengakuan UNESCO,” kata Asep.
Desainer mode senior Edward Hutabarat saat dihubungi terpisah menekankan, batik bukan sekadar estetika. Batik adalah satu dari kain peradaban Indonesia.
Sebagai bagian dari peradaban, kehadiran batik melengkapi upacara adat sampai seremoni kenegaraan. Sebagai bagian dari peradaban, motif-motif Batik itu hidup. Edward mencontohkan pemakaian batik dalam pernikahan adat Jawa. Pemilihan motif kainnya pun memiliki makna.
”Batik itu memiliki jiwa. Dalam tradisi, ada pakem-pakem yang wajib diikuti pembatik. Melukis motif pun harus memakai rasa,” ujarnya.
Desainer mode dan pendiri Nusantara Wisdom, Era Soekamto, saat dihubungi terpisah, memandang pentingnya mengembalikan batik ke dalam subliminal message (pesan alam bawah sadar). Nilai-nilai kebijaksanaan dari batik beserta proses membatik tulis harus diangkat.
Misalnya, motif Batik ”Parang Barong” adalah hasil meditasi Panembahan Senopati. Contoh lain motif Batik ”Truntum” yang diciptakan Kanjeng Ratu Kencana (Permaisuri Sultan Pakubuwana III) memiliki makna kasih sayang sehingga biasa dipakai pada tradisi midodareni dalam pernikahan adat Jawa.
Batik mengajarkan banyak hal dalam siklus kehidupan masyarakat, tetapi tidak semua orang bisa memahami. Dalam tradisi di Jawa, membatik tulis adalah bagian dari menghaluskan atau olah rasa.
Menurut Era, ketika batik berkembang menjadi nilai ekonomi, masuklah berbagai asimilasi motif. Ini adalah ciri perdagangan yang selalu menyesuaikan dengan pasar. Teknik dan proses membuat produk batik pun ikut berkembang luas. Dia bahkan menemukan canting di Sri Lanka, tetapi ukurannya lebih besar.
”Berdebat mengenai teknis tidak akan pernah selesai karena ada arus asimilasi. Agar tak rentan terkena klaim, maka kita semua harus mengembalikan diskursus ini ke dalam subliminal message batik. Tantangannya sekarang memang tidak ada buku batik yang komprehensif mengulas subliminal message,” katanya.