Perajin Batik Pekalongan Percaya Diri Hadapi Klaim Negara Lain
Sejumlah perajin batik di Kota Pekalongan, Jawa Tegah, mengaku tidak terpengaruh dengan adanya klaim China terhadap batik. Kasus ini dinilai bisa memperkuat kepedulian masyarakat terhadap batik Indonesia.
Oleh
KRISTI UTAMI
·3 menit baca
KOMPAS/ KRISTI UTAMI
Seorang buruh batik melintas di tempat penjemuran batik cetak, Sabtu (18/5/2019) di Kota Pekalongan. Batik jenis cetak banyak diminati karena pembuatan batik cetak lebih cepat dan harganya lebih murah.
PEKALONGAN, KOMPAS — Sejumlah perajin batik di Kota Pekalongan, Jawa Tengah, percaya diri tidak terpengaruh klaim dari China terhadap batik. Klaim batik oleh negara lain itu dinilai bakal menumbuhkan rasa memiliki masyarakat Indonesia terhadap batik.
Warganet Indonesia digegerkan video yang diunggah akun Twitter media Pemerintah China, Xinhua, pada Minggu (12/7/2020). Video berdurasi 45 detik tersebut menampilkan aktivitas seseorang menggambar di atas kain menggunakan lilin cair dan alat bantu. Video itu disertai keterangan batik adalah kerajinan tradisional yang umum di kalangan kelompok etnis China.
Sehari setelah unggahan itu ramai diperbincangkan, Kementerian Luar Negeri Indonesia menggunggah utas terkait batik di Twitter. Di sana dijelaskan batik merupakan warisan leluhur dan erat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Batik juga sudah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sejak 2 Oktober 2009 sehingga tanggal 2 Oktober dirayakan sebagai Hari Batik Nasional. Unggahan itu juga disertai sebuah foto yang menunjukkan Indonesia pernah ”membatikkan” sebuah sidang keamananan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2019.
Pada hari yang sama, Xinhua kembali mengunggah cuitan terkait batik. Mereka menyebut kerajinan yang dimaksud dalam video sebelumnya dikenal sebagai batik, sebuah kata dari bahasa Indonesia.
”Saya tidak mempermasalahkan klaim itu. Justru hal itu menunjukkan adanya kekayaan batik di dunia. Tapi, saya kira, dunia bisa menilai mana batik yang memiliki nilai yang kuat,” kata Tamakun (37), perajin batik asal Kota Pekalongan, Selasa (14/7/2020).
Sebagai perajin batik, Tamakun tidak khawatir tersaingi. Menurut Tamakun, di negara lain, batik belum menjadi industri dan masih eksklusif. Kondisi itu, berbeda dengan Kota Pekalongan yang sudah menjadikan batik sebagai industri.
Seorang buruh batik mengangkat kain batik jenis cetak yang telah selesai dijemur di Kota Pekalongan, Jawa Tengah, Sabtu (18/5/2019).
”Kita harus ambil sisi positif dari kasus ini. Misalnya, orang yang tadinya tidak peduli batik akhirnya mulai takut kehilangan, kemudian timbul rasa memiliki,” ujar Tamakun.
Tamakun berharap kecintaan masyarakat terhadap batik diwujudkan dengan cara ikut membeli batik-batik asli Indonesia. Dengan demikian, masyarakat bisa turut ambil bagian dalam usaha melestarikan batik.
Dewan Pakar Yayasan Batik Indonesia Romi Okta Birawa mengatakan, proses perintangan warna sudah dilakukan di berbagai belahan dunia sejak tahun 600-an. Namun, batik merupakan merek dagang dari proses perintangan warna sehelai kain atau tekstil dari Jawa.
KOMPAS/ KRISTI UTAMI
Seorang buruh batik di sebuah pabrik batik cetak sedang menggulung batik. Setelah selesai dicetak, batik tersebut akan dicuci kemudian dijemur. Foto diambil pada Sabtu (18/5/2019) di Kota Pekalongan.
”Kata batik sendiri berasal dari kata amba dan titik. Ada juga yang menyebut batik itu sebagai ngemban titik yang berarti satu kain diemban seorang,” kata Romi, yang juga seorang perajin batik Pekalongan tersebut.
Romi mengatakan, nilai-nilai luhur batik Indonesia jauh lebih kuat dari batik-batik dari negera lain. Kendati demikian, perajin batik Indonesia juga harus bersiap kemungkinan masuknya batik-batik dari negera lain ke Indonesia. Perajin dan pedagang batik harus terus berinovasi sembari meningkatkan kualitas batik agar batik semakin dicintai masyarakat.
Dampak pandemi
Pandemi Covid-19 turut memengaruhi industri batik di Kota Pekalongan. Dalam kondisi krisis, sebagian orang memiliki kecenderungan menunda pembelian batik yang merupakan kebutuhan sekunder.
KOMPAS/KRISTI UTAMI
A worker scrapes of residual wax from a length of dyed batik on Saturday (7/3/2020), when batik production resumed in Tirto district, Pekalongan regency, Central Java. A recent flood disrupted the local batik industry when it inundated equipment and materials.
Tamakun mengatakan, selama pandemi, jumlah pesanan batiknya turun, dari 30 potong menjadi lima potong sebulan. Tidak mau menyerah, Tamakun bertahan dengan menjual masker batik.
Dalam seminggu, Tamakun menjual hingga 100 potong masker. Harga satu masker batik Rp 45.000. Masker itu dijual daring kepada pelanggan dari luar kota seperti, Bandung, Jakarta, serta sejumlah kota di Maluku dan Nusa Tenggara Barat.
Untuk meringankan perajin batik yang terdampak, Dinas Perdagangan, Koperasi, dan UMKM Kota Pekalongan juga memberdayakan 30 kelompok untuk membuat masker. Sebanyak 133.900 masker dibagikan secara gratis kepada masyarakat.
”Kami juga sudah menyalurkan bantuan berupa bahan makanan kepada 48 pelaku UMKM yang terdampak Covid-19. Ke depannya, kami akan menyalurkan bantuan bahan makanan kepada 100 pelaku UMKM terdampak Covid-19 lainnya,” kata Kepala Bidang Koperasi dan UMKM di Dinas Perdagangan, Koperasi, dan UMKM Kota Pekalongan Tjandrawati.