Kapasitas Memori Kerja Rendah, Kepatuhan Pembatasan Sosial Rendah
Kenapa banyak orang masih melanggar aturan pembatasan sosial terkait Covid-19? Studi terbaru menunjukkan, itu terkait dengan keterbatasan untuk secara bersamaan menyimpan beberapa informasi dalam memori kerja.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Tak kurang informasi dan juga penjelasan akan pentingnya pembatasan sosial untuk mencegah penyebaran Covid-19. Sosialisasi dan peringatan akan hal ini pun terus dilakukan, tetapi tetap saja masih banyak orang yang abai.
Ternyata hal tersebut terkait dengan keterbatasan kapasitas mental seseorang untuk secara bersamaan menyimpan beberapa informasi dalam memori kerja, untuk mengambil keputusan yang rasional yang mengarah pada kepatuhan terhadap ketentuan pembatasan sosial.
Jadi, kepatuhan tersebut tergantung dari seberapa banyak informasi yang dapat disimpan dalam memori kerja seseorang. Seseorang dengan kapasitas memori kerja lebih tinggi, memiliki kesadaran yang meningkat akan manfaat pembatasan sosial dan selanjutnya menunjukkan kepatuhan yang lebih besar terhadap ketentuan pembatasan sosial.
Hal tersebut terungkap dalam studi terbaru yang dilakukan tim peneliti dari Universitas California di Riverside yang diterbitkan dalam Prosiding National Academy of Sciences pada 10 Juli 2020. Studi ini menawarkan strategi potensial untuk mengurangi ketidakpatuhan sosial dalam krisis krisis kesehatan masyarakat.
Memori kerja merupakan proses psikologis menyimpan informasi dalam pikiran untuk periode waktu singkat, biasanya hanya beberapa detik. Jumlah informasi yang dapat disimpan oleh memori kerja secara singkat–yaitu kapasitasnya–merupakan prediksi dari banyak kemampuan mental, seperti kecerdasan, pemahaman, dan pembelajaran.
”Semakin tinggi kapasitas memori kerja, semakin besar kemungkinan perilaku menjaga jarak sosial,” kata Wieiwei Zhang, profesor psikologi di Universitas California di Riverside, yang dikutip Science Daily pada 10 Juli lalu.
Menjaga jarak
Hal yang menarik, kata Zhang, hubungan antara kapasitas memori kerja dan perilaku menjaga jarak sosial tersebut berlaku bahkan setelah tim peneliti secara statistik mengontrol faktor-faktor psikologis dan sosial yang relevan, seperti suasana hati yang tertekan dan cemas, ciri-ciri kepribadian, kecerdasan, dan pendapatan.
Di Amerika Serikat, di mana pembatasan sosial sebagian besar sukarela, ketidakpatuhan yang meluas masih ada, dan sangat tinggi selama tahap awal pandemi Covid-19. Menurut Zhang, salah satu alasan untuk ini adalah kekhawatiran tentang biaya sosial ekonomi akibat pembatasan sosial.
Semakin tinggi kapasitas memori kerja, semakin besar kemungkinan perilaku menjaga jarak sosial.
Namun, apa yang membentuk kemampuan kognitif seseorang untuk mengambil keputusan terkait kepatuhan dengan pedoman pembatasan sosial sebagian besar saat itu masih tidak jelas. Temuan dalam studi ini mengungkapkan akar kognitif baru kepatuhan pembatasan sosial selama tahap awal pandemi Covid-19.
”Kami mendapati kepatuhan pembatasan sosial mungkin bergantung pada proses pengambilan keputusan yang mudah untuk mengevaluasi biaya versus manfaat dari perilaku ini dalam ingatan kerja–alih-alih, katakanlah, hanya kebiasaan,” kata Zhang.
Pesan jelas dan singkat
Penelitian yang melibatkan 850 penduduk AS ini dilakukan pada 13 Maret hingga 25 Maret 2020, dua minggu pertama setelah Presiden Donald Trump mengumumkan tentang keadaan darurat nasional pandemi Covid-19.
Pertama-tama, peserta diminta mengisi survei demografis. Kemudian, mereka mengikuti serangkaian kuesioner yang menangkap perbedaan individu dalam kepatuhan sosial jarak, suasana hati yang tertekan, dan perasaan cemas. Tim peneliti juga mengukur variabel kepribadian, kecerdasan, dan pemahaman peserta tentang biaya dan manfaat praktik jarak sosial.
”Perbedaan individu dalam kapasitas memori kerja dapat memprediksi kepatuhan jarak sosial meliputi, antara lain, beberapa faktor sosial, seperti karakter kepribadian. Ini menyarankan para pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan kemampuan kognitif umum individu ketika mempromosikan perilaku kepatuhan, seperti mengenakan masker atau terlibat dalam menjaga jarak fisik,” kata Zhang.
Berdasarkan temuan tersebut, studi ini menawarkan strategi potensial untuk mengurangi ketidakpatuhan sosial dalam krisis krisis kesehatan masyarakat. Zhang dan rekan-rekannya merekomendasikan bahan media untuk mempromosikan perilaku kepatuhan norma untuk menghindari informasi yang berlebihan.
”Pesan dalam materi seperti itu harus jelas, singkat, dan padat. Buat proses pengambilan keputusan yang mudah bagi orang-orang,” kata Zhang yang melakukan penelitian ini bersama Weizhen Xie di National Institute of Neurological Disorders dan Stroke of National Institutes of Health serta Stephen Campbell Universitas California di Riverside.
Temuan penelitian ini juga menyarankan pembelajaran jarak sosial sebagai norma baru membutuhkan proses keputusan yang mudah yang bergantung pada memori kerja. ”Intinya, kita tidak boleh mengandalkan perilaku kebiasaan karena jarak sosial belum cukup dipatuhi di masyarakat,” kata Zhang.
”Sebelum pengelompokan sosial menjadi kebiasaan dan norma sosial yang diadopsi dengan baik, keputusan untuk mengikuti pembatasan sosial dan mengenakan masker akan menjadi upaya mental.”
Zhang berharap kontribusi memori kerja akan menurun ketika norma-norma sosial baru, seperti mengenakan masker atau pembatasan sosial terbentuk di masyarakat. ”Akhirnya jarak sosial dan mengenakan masker akan menjadi kebiasaan dan hubungan mereka dengan ingatan kerja akan berkurang,” katanya.
Selanjutnya, tim akan menganalisis data yang dikumpulkan di seluruh AS, China, dan Korea Selatan untuk mengidentifikasi faktor-faktor sosial dan mental yang membantu orang mengatasi pandemi.