Memerangi Korona Melalui Literasi Media dan Informasi
Menanamkan keterampilan berpikir kritis dan literasi media akan meningkatkan kemampuan masyarakat menganalisis informasi yang salah, termasuk informasi kesehatan. Ini akan membantu upaya penanganan pandemi Covid-19.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Pengambilan jenazah pasien Covid-19 di sejumlah rumah sakit di Makassar, Sulawesi Selatan secara paksa menunjukkan masih banyak masyarakat yang belum paham soal Covid-19. Demikian juga di Ambon, sejumlah pasien Covid-19 melawan petugas dan membakar pos karantina karena tidak diperbolehkan pulang.
Salah paham, minim informasi, salah informasi, dan kepanikan membuat mereka mudah terprovokasi sehingga melakukan tindakan yang membahayakan bahkan menghalangi upaya penanganan pandemi Covid-19. Kasus di Makassar, misalnya, sejumlah orang yang mengambil paksa jenazah berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) menunjukkan reaktif Covid-19 setelah dites cepat (Kompas.id, 11 Juni 2020).
Dengan tipikal virus korona baru yang bisa tidak menimbulkan gejala pada mereka yang terinfeksi, atau gejala yang berbeda antara satu pasien dan pasien lainnya, sering kali membuat orang menyangkal bahaya Covid-19. Banyak pertanyaan tentang virus korona baru ini yang belum terjawab, bahkan oleh para ilmuwan, termasuk kemampuan virus ini bermutasi.
Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang Covid-19 ini memicu kehausan akan informasi. Namun, banyaknya informasi salah dan informasi palsu yang berkelindan dengan kurangnya informasi dari pihak yang berwenang dan cara masyarakat mengakses informasi menjadi pukulan balik bagi upaya penanganan pandemi Covid-19.
Pihaknya sampai kewalahan menangani hoaks terkait pandemi yang rata-rata 100 per bulan.
Hal tersebut memunculkan gelombang informasi yang salah dan palsu (hoaks)—atau disebut infodemik— yang dengan cepat menyebar melalui platform media sosial. Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho mengatakan, pihaknya sampai kewalahan menangani hoaks terkait pandemi yang rata-rata 100 per bulan, ini belum termasuk hoaks-hoaks lokal.
Kebutuhan informasi
Pemberitaan dan informasi yang disajikan media massa memang membantu masyarakat memahami Covid-19 dan upaya penanganannya. Kebutuhan masyarakat akan informasi dari media massa selama masa pandemi ini juga meningkat.
Survei Nielsen Indonesia menunjukkan, setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus Covid-19 di Indonesia pada awal Maret 2020, kepemirsaan televisi terhadap program berita naik signifikan, sekitar 25 persen. Data Asosiasi Media Siber Indonesia pun menunjukkan, traffic media daring yang menyajikan berita pun tumbuh rata-rata 30-35 persen.
Namun, dengan kondisi 70 persen masyarakat Indonesia mengakses informasi melalui media sosial, pemberitaan di media massa bisa ”tertutup” oleh informasi salah dan hoaks yang membanjiri platform media sosial. Fokus media massa pada jumlah orang yang terinfeksi Covid-19 dan pesan tentang cara terbaik untuk mencegah penyebaran virus sering kali juga tidak sepenuhnya memenuhi kebutuhan masyarakat yang mencari berita tentang Covid-19.
Survei di Argentina, Spanyol, Korea Selatan, Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat pada awal Maret dan awal April 2020 (Reuters Institute, 15 April) pun menunjukkan sebagian besar masyarakat menggunakan media sosial, mesin pencari, situs video, dan aplikasi pesan untuk mendapatkan berita dan informasi tentang Covid-19. Bahkan, 1 dari 3 responden merasa media massa telah melebih-lebihkan informasi soal pandemi.
Sering kali tidak selalu mudah juga bagi masyarakat untuk membedakan antara informasi dari media massa—yang mengikuti kerasnya pengumpulan berita, pemrosesan, dan verifikasi—dan informasi yang tersedia melalui media sosial, bahkan ketika ini jelas tidak akurat atau menyesatkan. Keinginan untuk percaya, terutama saat krisis, dapat melebihi keinginan untuk mendapatkan informasi.
Karena itu, salah satu pertahanan untuk menghadapi informasi salah dan hoaks, menurut Kepala Biro Information for All Program (IFAP) UNESCO Dorothy Gordon, adalah dengan kompetensi literasi media dan informasi. Orang yang melek media dan informasi secara kritis akan mengevaluasi informasi yang mereka dapatkan. Mereka akan berpikir dan memverifikasi sebelum menggunakan atau membagikan informasi tersebut.
Dengan belum adanya kepastian kapan pandemi ini akan berakhir, menjadi sangat penting memberdayakan masyarakat agar dapat mengevaluasi secara kritis konten media dan penyedia informasi lainnya terkait Covid-19. Di sektor pendidikan, literasi media dan informasi menjadi sangat relevan dalam pembelajaran di masa pandemi ini.
Di masyarakat, bisa dilakukan melalui komunitas-komunitas dengan melibatkan para tokoh masyarakat dan budayawan untuk menarasikan kearifan lokal soal verifikasi. Penelitian yang dilakukan International Research and Exchanges Board (IREX), organisasi sosial yang bergerak di bidang pendidikan dan pengembangan global, di Serbia, Ukraina, dan Jordania menunjukkan, perintisan pendekatan literasi media dapat membangun resistensi warga terhadap infodemik Covid-19.
Melalui program Learn to Discern, warga dilatih berpikir kritis untuk membedakan fakta dari fiksi. Hasilnya, pemberian keterampilan ini meningkatkan kemampuan untuk mendeteksi informasi palsu, termasuk informasi yang salah tentang kesehatan masyarakat. Dalam beberapa kasus, peserta hampir dua kali lebih baik menganalisis kesalahan informasi tentang topik kesehatan setelah pelatihan.