Demi mencegah penularan virus korona jenis baru, warga berinisiatif meniadakan tradisi yang sudah berjalan bertahun-tahun. Di sebagian tempat, warga memodifikasinya sehingga tetap aman dijalankan.
Oleh
Insan Alfajri / Aditya Putra Perdana
·3 menit baca
Sains sudah saatnya menjadi pandu kehidupan. Begitu pun dengan tradisi, meski sudah berlaku bertahun-tahun, warga harus menyesuaikan diri dengan pandemi yang masih terjadi. Tanpa langkah itu, potensi penularan virus korona jenis baru sangat tinggi.
Di Sumatera Barat, warga biasa melakukan ”sumbayang 40”, shalat lima waktu berjemaah di surau selama 40 hari. Kebiasaan ini dimulai sejak lima hari menjelang Ramadhan dan berakhir setelah Lebaran. Bagi jemaah berusia lanjut, mereka biasanya menginap di surau, sementara jemaah yang masih muda tetap di rumah.
”Lantaran shalat ada batasan dan anjuran untuk beribadah di rumah, sumbayang 40 sudah tidak ada,” kata Michael Jarda (26), warga Gunung Medan, Kecamatan Sitiung, Dharmasraya, Sumatera Barat, Rabu (20/5/2020).
Selain sumbayang 40, warga juga tidak lagi melakukan ”bakawu”, tradisi makan bersama di tanah lapang atau di makam keramat. Kegiatan ini bertujuan untuk menjalin silaturahmi dan berdoa untuk menolak bala.
Amelia Remonda (25), warga Kota Solok, Sumatera Barat, menambahkan, ”mandi balimau” untuk menyambut bulan Ramadhan juga ditiadakan tahun ini. Biasanya, Amel dan keluarga mandi balimau di obyek wisata Mato Aia, Solok. Untuk memutus penularan virus korona, Amel terpaksa tak melakukan mandi balimau, sebuah tradisi yang diperkenalkan kepadanya sejak kecil.
Di Ranah Minang, mandi balimau merupakan ritual untuk menyucikan diri sebelum puasa. Di Kota Padang, misalnya, lokasi pemandian terbuka di Lubuak Minturun dan Lubuak Paraku biasanya diserbu pengunjung. Sementara di Kabupaten Padang Pariaman, masyarakat membuat ramuan dari air jeruk dan rempah-rempah. Lalu, ramuan itu diusapkan ke ubun-ubun.
Budayawan Ranah Minang, Syuhendri, menuturkan, mandi balimau merupakan kelindan budaya antara pra-Islam dan setelah Islam bernaung di Ranah Minang. Tujuannya untuk menyucikan diri dari kotoran yang menempel di tubuh, (Kompas, 5 Mei 2019). Tidak hanya di Sumatera Barat, warga Kelurahan Sekaran, Gunungpati, sekitar 12 kilometer dari pusat Kota Semarang, Jawa Tengah, juga memodifikasi tradisi ruwahan. Tradisi ini biasa dilakukan menjelang Ramadhan.
Ruwahan atau juga kerap disebut punggahan merupakan tradisi umat Islam di Semarang yang dilakukan pada pertengahan bulan Syakban atau menjelang Ramadhan. Pelaksanaannya bervariasi, tetapi intinya berkumpul dan berdoa menyambut bulan puasa.
Ruwahan biasa dilakukan warga dengan saling berkunjung dan bersilaturahmi. Tuan rumah menyajikan jamuan, juga menyediakan nasi kenduri atau nasi berkat. Isinya, antara lain, nasi, ketan, dan roti atau bahan pokok untuk dibawa pulang para tamu.
Pada masa pandemi, warga dan tokoh masyarakat menyepakati pembacaan doa serta tahlil dilakukan dari masjid, lalu diikuti warga dari rumah masing-masing. Sedekah atau shadaqah dilakukan dengan mengumpulkan uang untuk membeli bahan pokok, yang kemudian dibagikan kepada yang membutuhkan. Selama enam hari terkumpul Rp 15,9 juta.
”Prinsipnya, shadaqah harus sampai pada yang membutuhkan. Urutan yang diutamakan adalah orang miskin, janda atau duda yang sudah tua, dan yang terdampak ekonomi saat pandemi,” kata H Isman, Takmir Masjid Roudhotul Muslimin.