Krisis akibat disrupsi digital dan kini pandemi Covid-19 menghantam daya hidup perusahaan pers nasional hingga di ambang batas. Padahal, peran pers justru semakin penting dan dibutuhkan di masa pandemi ini.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
”Sejak 2 Maret 2020, saat Presiden mengumumkan kasus Covid-19, kami dengan 600 anggota mulai mengedukasi pendengar radio. Kemudian, pemerintah berduyun-duyun mengirimkan iklan layanan masyarakat, cuma-cuma (gratis). Kami menyadari ada kewajiban 10 persen untuk (menayangkan) iklan layanan masyarakat, tetapi sekarang sudah 70-80 persen.”
Muhammad Rafiq, Sekretaris Umum Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), mengatakan hal tersebut dalam konferensi pers Media Sustainability Task Force yang diselenggarakan Dewan Pers secara daring pada Kamis (14/5/2020). Rafiq mengatakan, iklan layanan masyarakat tersebut dari sejumlah kementerian, kepolisian, hingga pemerintah daerah.
Kondisi tersebut, kata Rafiq, memberatkan karena krisis akibat pandemi Covid-19 ini menyebabkan pendapatan iklan turun hingga 70 persen. Dalam kondisi seperti itu, Kementerian Koordinasi Kemaritiman dan Investasi minta tolong agar radio menyiarkan program gerakan untuk membeli produk UMKM Indonesia, seperti batik dan tenun.
”Lembaga penyiaran harus membayar izin frekuensi dan izin menyelenggarakan siaran. Alangkah baiknya kalau ini tidak (perlu) membayar karena kami sudah menyiarkan iklan layanan masyarakat. Relaksasi pajak sudah bisa kami nikmati, terima kasih kepada pemerintah, tetapi kami juga membutuhkan pengurangan biaya listrik,” katanya.
Pengurangan biaya listrik sebesar 30 persen, kata Rafiq, bisa untuk menutup biaya gaji karyawan. Rata-rata setiap stasiun radio membutuhkan Rp 25 juta-Rp 30 juta untuk biaya listrik pemancar radio, belum termasuk biaya listrik untuk operasional kantor.
Subsidi listrik 30 persen tersebut merupakan satu dari tujuh usulan insentif untuk perusahaan pers yang diajukan Dewan Pers dan konstituen pers nasional kepada negara melalui pemerintah untuk menyelamatkan pers nasional. Sebelumnya, pada 9 April 2020, Dewan Pers dan konstituen pers nasional mengajukan sembilan usulan insentif untuk perusahaan pers.
Usulan insentif tersebut dilakukan untuk mendukung daya hidup pers nasional yang terancam akibat pandemi Covid-19. Perekonomian yang lesu berdampak pada penurunan iklan yang menjadi sumber utama pendapatan perusahaan pers.
Firdaus, Ketua Umum Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), mengatakan, penurunan iklan yang mencapai 90 persen membuat banyak karyawan perusahaan yang tergabung dalam SMSI di daerah kini tak lagi menerima gaji. Pendapatan iklan yang menurun hingga 60 persen juga membuat anggota Serikat Perusahaan Pers (SPS) melakukan sejumlah penghematan hingga pemotongan gaji dan pensiun dini karyawan.
”Ancaman PHK sudah nyata,” kata Sekretaris Jenderal SPS Pusat Asmono Wikan. Survei yang dilakukan SPS terhadap 44 dari 434 perusahaan pers anggota SPS menunjukkan, sekitar 38 persen sudah dan tengah berencana mengambil opsi pensiun untuk karyawannya. Selain itu, sekitar 43 persen sudah dan sedang mengkaji opsi merumahkan karyawan tanpa digaji, terutama perusahaan pers di daerah.
Ancaman sangat serius bagi wartawan yang semestinya menjadi garda terdepan menjamin informasi yang akurat terkait penyebaran Covid-19 sampai ke publik. Berdasarkan data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, sudah lebih dari 80 wartawan mengadu ke posko yang dibuka LBH Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta karena mengalami PHK, pemotongan gaji, penundaan gaji, hingga dirumahkan.
Krisis akibat pandemi Covid-19 memang mempercepat penurunan bisnis perusahaan pers yang telah terpukul akibat disrupsi digital. Kondisi ini tidak hanya mengancam daya hidup perusahaan pers an sich, tetapi juga masyarakat dan negara. Pers yang terancam tidak akan dapat melaksanakan perannya untuk memenuhi hak masyarakat mendapatkan informasi yang berkualitas dan adil, terlebih di masa pandemi ini.
Pers yang terancam juga tidak dapat menyediakan ruang publik (public sphere) dan pembentukan masyarakat sipil (civil society) yang kuat untuk berkembangnya demokrasi yang sehat dan adil. Melalui fungsi kontrol yang dimilikinya, pers berperan menjaga tatanan masyarakat terjaga dengan baik.
Presiden Joko Widodo dalam peringatan Hari Pers Nasional 2020 di Kalimantan Selatan pada 8 Februari lalu mengatakan, negara membutuhkan kehadiran pers dalam perspektif yang jernih. Pers diperlukan untuk mewartakan berita baik dan agenda-agenda besar bangsa serta membangkitkan semangat positif yang mendorong produktivitas dan optimisme bangsa. Dengan demikian, industri pers harus sehat (Kompas, 9/2). Dan, saat ini industri (perusahaan) pers sedang ”sakit”, bahkan di titik ambang daya hidupnya. Kondisi ini tidak hanya dialami perusahaan pers di Indonesia, tetapi hampir di seluruh dunia. Tak sedikit yang akhirnya ”mati” karena tidak menemukan jalan keluar.
Di Amerika Serikat, misalnya, perusahaan pers di sana menyarankan pemerintah memasang iklan kesehatan masyarakat untuk mendukung media lokal. Dan, Pemerintah AS pun mengalokasikan 500 juta dollar AS dana federal dalam bentuk pengeluaran untuk iklan kesehatan masyarakat melalui media lokal. Tidak banyak, tetapi cukup membantu.
Perusahaan pers di Indonesia pun berharap bantuan serupa, pemerintah mengalokasikan dana sosialisasi kebijakan, program, atau kampanye penanggulangan Covid-19 untuk perusahaan pers. Juga sejumlah usulan insentif lainnya dari negara melalui pemerintah sebagai pengelola APBN.
Ketua Komisi Hubungan Antarlembaga dan Luar Negeri Dewan Pers Agus Sudibyo mengatakan, APBN merupakan dana publik yang harus dialokasikan untuk kepentingan publik. ”Membantu daya hidup media adalah juga untuk kepentingan publik. Kalau pers kolaps, ruang publik juga kolaps,” katanya.
Ketua Umum AJI Pusat Abdul Manan pun mengatakan, ”Usulan (insentif) ini hanya untuk meringankan, tidak ada intensi untuk membuat pers kaya raya. Ini untuk memudahkan langkah kami guna bertahan dan menjalankan fungsi dengan baik.”