Orangtua Menjadi Kunci Mencegah Kekerasan dalam Keluarga
Kekerasan rawan terjadi di dalam keluarga pada masa pandemi ini, baik karena faktor luar maupun dalam keluarga. Semua anggota keluarga, terutama orangtua, harus memahami kondisi kenormalan baru yang penuh tekan ini.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Orangtua memegang peranan kunci dalam menjaga hubungan tetap harmoni selama pembatasan sosial berskala besar yang mengharuskan semua anggota keluarga tinggal dan beraktivitas di rumah. Ini tantangan besar karena butuh banyak penyesuaian di dalam kenormalan baru akibat pandemi Covid-19 ini.
Peran orangtua terutama sangat dibutuhkan untuk melindungi anak dari ancaman kekerasan, baik dalam pendidikan maupun secara daring karena kini anak lebih banyak mengakses teknologi digital untuk pemelajaran jarak jauh. Saat ini anak paling rawan mendapat kekerasan karena faktor dari dalam keluarga.
”Masih banyak guru yang memberikan pembelajaran seperti saat kondisi normal, tugas-tugas seperti biasa, sementara tidak semua orangtua dapat membantu anak. Hal seperti ini membuat anak stres. Belum lagi masalah orangtua mereka, kasus perceraian meningkat selama pandemi ini. Bagi ayah yang perokok, tinggal di rumah dan tetap pada kebiasaan itu, membuat anak rawan mengalami kekerasan karena terpapar asap rokok,” kata psikolog Anak Seto Mulyadi di Jakarta, Kamis (14/5/2020).
Kak Seto, demikian Seto Mulyadi biasa dipanggil, mengajak keluarga tetap gembira dan melakukan kegiatan-kegiatan yang positif. ”Gembira itu singkatan, yaitu gerak, emosi yang cerdas, makan yang teratur dan sehat, beribadah dan berdoa, istirahat, rukun dan ramah, dan aktif berkarya,” katanya.
Secara terpisah, Sekretaris Pengurus Pusat Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama yang juga psikolog keluarga Alissa Wahid mendorong semua anggota keluarga terutama orangtua mencermati kondisi masing-masing, lebih memahami pola-pola anggota keluarga terutama bagi orangtua agar memahami pasangan masing-masing. Ini penting agar masing-masing tidak saling menuntut dalam situasi kenormalan baru ini.
”Penting memahami diri sendiri, mengelola diri sendiri, memahami orang lain, juga mengelola hubungan dengan orang lain. Semua itu perlu diasah, dipahami bahwa situasi saat ini sedang penuh tekanan untuk semua orang. Terutama ini bagi orangtua karena kadang-kadang orangtua merasa anak itu hak milik,” kata Alissa.
Pendampingan masyarakat
Dalam kondisi masyarakat yang penuh tekanan akibat pandemi Covid-19 ini, menurut Alissa, kebijakan-kebijakan atau program-program pemerintah yang terkait membangun ketangguhan keluarga sangat dibutuhkan. Perlu ada afirmasi aksi dari lembaga pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya dalam hal ini.
”Misalnya kepolisian lebih mengaktifkan penanganan laporan kekerasan, komisi nasional diaktivasi supaya lebih kuat, kementerian, dan juga badan terkait seperti KPPPA, Kementerian Agama, BKKBN, didorong mempunyai program-program ke masyarakat sehingga masyarakat mempunyai saluran, masyarakat merasa didampingi. Kasus kekerasan terhadap anak dan juga perempuan, paling banyak kekerasan terhadap mereka, harus direspons khusus,” ujarnya.
Alissa juga mendorong universitas yang mempunyai lembaga psikologi terapan agar hadir di masyarakat baik melalui sosial media atau melalui layanan yang dipublikasikan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan pendampingan. Saat ini, kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan pendampingan dari psikolog lebih tinggi dari sebelumnya.
”Mereka perlu hadir dalam kehidupan masyarakat. Akan tetapi, masyarakat juga memahami kapan membutuhkan bantuan psikolog yang terlatih karena banyak orang awam yang merasa paham psikologi,” ujarnya.
Pemerintah, kata Kak Seto, juga bisa membantu masyarakat menyediakan program atau kegiatan yang membantu membangkitan semangat masyarakat. ”Bisa melalui siaran program-program yang menarik di televisi, parenting ditingkatkan, kegotongroyongan dibangkitan, kepedulian kepada sesama digerakkan,” kata Kak Seto.