Pandemi Covid-19 menciptakan pengalaman baru bagi murid dan guru di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Mereka tergagap-gagap ketika harus menerapkan pembelajaran jarak jauh daring dengan segala hambatannya.
Oleh
TIM KOMPAS
·4 menit baca
Pembelajaran daring akibat pandemi Covid-19 menjadi persoalan serius bagi para siswa dan guru di daerah terpelosok. Di tengah minimnya alat komunikasi dan kuota data, para guru terus berupaya berkomunikasi dan menciptakan aktivitas belajar mengajar yang tidak membosankan.
Begitu kebijakan pembelajaran jarak jauh secara daring ditetapkan pertengahan Maret lalu, para guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Widya Mukti di Desa Sirnagalih, Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat kelabakan. ”Saya ingin semua siswa bisa mengikuti kegiatan belajar-mengajar, tetapi hampir seluruhnya tidak mampu. Kami juga tidak mungkin menyediakan gawai untuk setiap siswa. Kami tidak ada biaya,” kata Kepala SMK Widya Mukti Dadan Erawan, Jumat (1/5/2020).
Namun, proses belajar-mengajar harus tetap berjalan. Awalnya, mereka menggunakan grup aplikasi pesan Whatsapp (WA). Setiap kelas memiliki satu grup WA dan para guru bergantian masuk ke dalamnya serta memberikan materi.
Namun, aktivitas itu hanya bertahan dua minggu. Satu per satu siswa menghilang
Namun, aktivitas itu hanya bertahan dua minggu. Satu per satu siswa menghilang, menyisakan kurang dari separuh. ”Para siswa merasa jenuh belajar biasa. Belum lagi belajarnya tidak tatap muka, hanya berkutat tugas. Lama-lama siswa tidak mengumpulkan tugas, lalu ada yang tidak aktif di grup,” tuturnya.
Dadan pun memutar otak. Dia mengubah pola pembelajaran dan pemberian materi.
”Di minggu berikutnya, kami lebih menekankan pada pendidikan karakter. Para siswa tidak diminta mengerjakan tugas banyak, tetapi memastikan mereka tetap bersikap baik, seperti beribadah dan membantu orangtua,” ujarnya.
Beberapa kegiatan yang rutin dilaksanakan siswa dilaporkan di dalam grup WA. Bentuknya bermacam-macam, seperti kegiatan berjemur sambil bercocok tanam di pagi hari hingga mengaji bersama keluarga selepas Maghrib.
Pelaporan tugas kadang berupa gambar atau pesan suara. Sekolah tidak meminta siswa melaporkan dalam bentuk video karena biaya kuota akan membebani mereka.
Untuk menyiasati sinyal jaringan yang labil, Kepala SD Negeri 238 Palembang Niswaini Corie juga masih menerapkan pembelajaran menggunakan grup WA. Setiap orangtua murid diminta mengirimkan foto atau video yang memperlihatkan anak sedang mengerjakan tugas sekolah atau menyaksikan tayangan pendidikan. ”Hanya cara ini yang bisa kami lakukan di tengah keterbatasan,” katanya.
Kondisi lebih parah dialami para guru dan siswa di Sumenep, Madura, Jawa Timur. Guru Sekolah Dasar Negeri Batuputih Laok 5, Sumenep, Avan Fathurrahman, mengungkapkan, karena sebagian besar siswanya tak memiliki gawai, dia berkeliling ke rumah-rumah siswa dan mengajar secara langsung. Namun, proses belajar-mengajar tetap dijalankan sesuai protokol kesehatan, seperti menjaga jarak, mengenakan masker, dan mencuci tangan sebelum pelajaran dimulai.
”Kawasan Indonesia yang luas tidak bisa disamaratakan. Harus ada regulasi untuk pembelajaran alternatif karena tidak bisa semua (bisa) melakukan pembelajaran daring,” kata Avan.
Membuat terobosan riil
Pandemi Covid-19 juga memaksa sejumlah sekolah melakukan terobosan guna memastikan kegiatan akademik tetap berjalan lancar. Di SMAN 10 Bandung, misalnya, pihak sekolah membuat materi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kepala SMAN 10 Bandung Ade Suryaman mengatakan, para siswa diajak untuk mempelajari bagaimana membuat cairan disinfektan dan pembersih tangan. ”Jadi, apa yang mereka pelajari dapat berguna untuk diri sendiri dan lingkungan,” kata Ade.
Dalam membuat cairan disinfektan dan pembersih tangan, pelajar diajak melakukannya bersama keluarga dan membuat laporan dalam Bahasa Indonesia. Melalui satu aktivitas ini, pelajar sudah mempelajari beberapa hal sekaligus, seperti kimia, fisika, bahasa Indonesia, dan juga mengembangkan kemampuan kognitif, komunikasi, dan kerja sama.
Aktivitas riil yang dilakukan di SMAN 10 Bandung sesuai dengan gagasan Guru Besar Tetap Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan. Menurut Said, Kurikulum 2013 merancang pengalaman belajar agar siswa mengamati, bertanya, mengumpulkan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Pengalaman belajar tersebut bersifat saintifik dan bisa dilakukan melalui pembelajaran jarak jauh.
”Materi pelajaran perlu diperkaya dengan keadaan terkini. Apabila hanya mengandalkan buku teks akan selalu tertinggal. Model yang pas sekarang adalah pembelajaran terbuka sesuai kenyataan yang dialami siswa sehingga penilaiannya pun lebih autentik,” katanya.
Di tengah minimnya peralatan dan koneksi, sekolah-sekolah tetap mencoba berinovasi. Pandemi bukan menjadi alasan untuk berhenti berpikir.(MEDIANA/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA/RHAMA PURNAJATI/IQBAL BASYARI/DENTY PIAWAI NASTITIE)