Persoalan kesejahteraan rendah hingga pola pikir konservatif masih menjadi persoalan di kalangan guru. Persoalan tersebut membuat guru tidak merdeka selama mengajar.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya meningkatkan mutu guru secara nasional masih diwarnai persoalan mulai dari kesejahteraan hingga pola pikir. Jika tidak segera diselesaikan, persoalan ini bisa merembet sampai ke tidak tercapainya target merdeka belajar.
Demikian benang merah yang mengemuka dalam diskusi daring ”Persoalan Guru dalam Merdeka Belajar”, Rabu (15/4/2020), di Jakarta. Diskusi ini diselenggarakan Forum Diskusi Pedagogik Ikatan Alumni Universitas Negeri Jakarta.
Pendiri dan CEO Pendidik Indonesia Pelopor Perubahan (PIPP) Nina Krisna Ramdhani mengatakan, kesejahteraan menjadi persoalan klasik guru. Hingga sekarang, masih ada guru yang hidup dengan pendapatan rendah. Ini memengaruhi cara mereka mengajar.
Hingga sekarang, masih ada guru yang hidup dengan pendapatan rendah. Ini memengaruhi cara mereka mengajar.
Persoalan kedua yang dia sorot adalah pola pikir guru. Dia kerap kali menjumpai sejumlah guru yang masih suka meminta siswanya menghafalkan materi pelajaran. ”Guru harus merdeka dulu. Apalagi, ada kerumitan birokrasi yang semakin menambah persoalan guru belum merdeka,” ujarnya.
Lama diperkenalkan
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim mengatakan, konsep merdeka belajar yang dicetuskan pemerintah bukan hal baru. Beberapa tokoh ataupun filsuf pendidikan dunia telah memperkenalkan lebih dulu. Misalnya, filsuf asal Brasil, Paulo Freire.
Freire memperkenalkan merdeka belajar sebagai kondisi kemerdekaan siswa dalam berpikir, bertindak, dan kesetaraan saat belajar. Pendidikan harus diselenggarakan secara demokratis dan menyelesaikan realitas sosial yang sering kali timpang.
Di Indonesia, pahlawan nasional Ki Hadjar Dewantara juga telah memperkenalkan merdeka belajar melalui asas Taman Siswa. Ki Hadjar Dewantara juga menyerukan kemerdekaan diri dan pikiran.
Menurut dia, salah satu persoalan jamak dunia pendidikan Indonesia adalah gurunya berpikir bukan murid. Masih ada guru-guru konservatif yang selalu patuh pada kurikulum. Namun, situasi tersebut tidak cukup hanya menyalahkan guru. Kungkungan kerumitan birokrasi bertahun-tahun memengaruhi perilaku serta pola pikir guru konservatif.
Salah satu terobosan merdeka belajar yang sudah dikeluarkan pemerintah adalah kebijakan rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP) satu lembar. Di lapangan, ada sejumlah guru yang mempertanyakan fleksibilitas itu.
”Menjadi guru merdeka dapat menumbuhkan kesadaran kritis bagi siswa,” kata Satriwan.
Rektor Universitas Negeri Jakarta periode 2019-2023 Komarudin Sahid menyampaikan, hingga kini, rata-rata kompetensi guru secara nasional masih di bawah standar. Hal ini memprihatinkan.
Kesejahteraan menjadi persoalan klasik yang terus terjadi. Persoalan ini menyebabkan sejumlah guru bekerja dengan orientasi semata-mata mencari penghasilan. Apabila ada tunjangan profesi, dana itu dipakai menambah kebutuhan.
Sistem pendidikan dan perekrutan guru hingga sekarang juga belum terstruktur. Kebijakan pemerintah mewajibkan guru harus mempunyai sertifikat profesi baru bisa direkrut menjadi tenaga pendidik. Realitasnya tidak demikian.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Supriano, dalam rilis, mengatakan telah meluncurkan Merdeka Belajar Episode 4: Organisasi Penggerak. Program ini mengajak organisasi masyarakat (ormas) ikut membantu membangun sekolah penggerak. Ormas terpilih akan menggelar pelatihan literasi dan numerasi untuk guru dan kepala sekolah pendidikan anak usia dini, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan satuan pendidikan khusus pada tahun ajaran 2020-2022.