Anak-anak dari Keluarga Ekonomi Bawah Terkendala Belajar Daring
Pandemi Covid-19 memberi pengalaman pertama bagi siswa, guru, dan orang tua untuk mempraktikkan pembelajaran jarak jauh daring. Dalam proses ini, anak-anak dari keluarga ekonomi bawah cenderung mengalami kendala.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pembatasan sosial selama pandemi Covid-19 mengharuskan anak-anak belajar jarak jauh dari rumah. Hasil survei cepat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menemukan, sebagian besar anak-anak mengaku tidak senang dengan situasi ini, terutama anak-anak dari keluarga tidak mampu.
“Dari hasil survei tersebut, ada sejumlah harapan anak tentang program belajar di rumah antara lain, tidak banyak memberikan tugas, adanya komunikasi dua arah dan pelaksanaan pembelajaran yang efektif, penyediaan fasilitas akses internet beserta perangkatnya yang mumpuni, tugas-tugas bertema Covid-19, dan berharap setiap guru mampu memberikan penjelasan materi secara maksimal pada muridnya,” ujar Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Lenny N Rosalin, Minggu (12/4/2020) di Jakarta.
Survei Kemen PPPA bertema “Ada Apa dengan Covid-19 ((AADC-19)” dalam rangka mendengarkan suara anak tentang Covid-19. Pengumpulan data yang dilakukan google form dikirim lewat pesan berantai whatsapp oleh jaringan pengurus Forum Anak se-Indonesia. Pengumpulan data dilakukan pada 26 - 29 Maret 2020 dengan responden lebih dari 700 anak di seluruh daerah.
Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui persepsi dan pengetahuan anak tentang COVID-19, program belajar di rumah, bahan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) yang dilakukan Kemen PPPA, serta perasaan dan harapan mereka dalam situasi sekarang ini.
Sebanyak 58 persen responden mengungkapkan memiliki perasaan yang tidak menyenangkan selama belajar di rumah, terutama anak-anak dari keluarga yang ekonominya tidak mampu.
Menurut Lenny, dari survei AADC-19, sejumlah anak mengungkapkan kondisinya saat belajar di rumah. Sebanyak 58 persen responden mengungkapkan memiliki perasaan yang tidak menyenangkan selama belajar di rumah, terutama anak-anak dari keluarga yang ekonominya tidak mampu.
“Jangan dibayangkan semua anak-anak dari keluarga mampu secara ekonomi. Ada dari keluarga miskin, rumahnya kecil, tiga anak belajar di rumah, laptopnya cuma satu sehingga rebutan kakak dan adik untuk belajar. Mungkin juga harus berebutan dengan orang tua yang juga kerja dari rumah,” kata Lenny.
Pembelian paket data dikeluhkan
Tak hanya kendala fasilitas pendukung untuk belajar, dari survei tersebut proses belajar anak-anak dari keluarga tidak mampu juga terganggu, karena sistem belajar daring yang menggunakan paket data internet. Sementara, kondisi ekonomi terbatas, sehingga pembelian paket data internet memengaruhi pengeluaran keluarga.
“Kalau anaknya tiga, bisa dibayangkan orang tuanya harus membeli paket data. Hasil survei tersebut menggambarkan suara anak-anak dalam situasi pandemi Covid-19, tidak bisa direkayasa,” papar Lenny.
Kendati demikian menurut Lenny, dari survei sejumlah anak mengungkapkan pengalaman belajar di rumah yang menyenangkan. Misalnya, ada banyak waktu bersama keluarga, waktu belajar yang flesibel, suasana belajar yang nyaman, dan memiliki waktu untuk mengeksplorasi hobi, dapat lebih mendalami mata pelajaran. Selain itu, bisa memiliki waktu istirahat yang cukup, serta belajar dengan metode online yang berbeda dan menyenangkan, dan mendapatkan ilmu selain di luar mata pelajaran.
Adapun persepsi anak tentang Covid-19, dari survei tersebut menemukan 70 persen anak memercayai informasi tentang Covid-19 yang mereka terima; dan 30 persen anak masih ragu-ragu dan tidak percaya dengan informasi yang diterima. Sebanyak 73 persen anak menganggap bahwa informasi yang mereka terima terkait Covid-19 sudah cukup informatif. Namun, sejumlah anak menilai virus corona menyebabkan flu biasa (34 persen) dan masi ada anak yang tidak mengetahuii dan ragu-ragu tentang gejala Covid-19 (19 persen.
Jadi waspada
Dari sisi pengaruh penyebaran Covid terhadap anak, survei menemukan sebagian besar anak menjadi waspada menghadapi situasi ini.
“Tetapi ada yang merasa paranoid, takut dan juga biasa saja. Ini yang harus diwaspadai, karena perasaan takut yang berlebihan akan mengganggu psikologis anak, atau dengan menganggap ini hal yang biasa saja juga akan membuat anak tidak peduli terhadap kondisi ini,” ujar Asisten Deputi Pemenuhan Hak Sipil, Informasi, dan Partisipasi Anak, Kemen PPPA, Lies Rosdianty.
Dampak positifnya adalah sebagian besar anak (98 persen responden) merasa bahwa penyebaran Covid-19 berpengaruh terhadap kebiasaan dan pola hidup bersih dan sehat. Bahkan anak melihat bahwa kondisi lingkungan di sekitar mereka masih banyak yang keluar rumah (74 persen).
Ada sejumlah anak (10 persen) mengetahui bahwa ada orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pemantauan (PDP), dan positif covid-19 di sekitar lingkungan mereka. “Sebanyak 18 persen anak mengaku bahwa ada keluarganya yang bertugas sebagai tenaga medis Covid-19. Hal ini membuat mereka cemas sekaligus bangga,” kata Lies.
Dalam melawan Covid-19, dari survei tersebut anak-anak mengungkapkan berbagai cara yang mereka lakukan yakni memastikan himbauan pencegahan Covid-19 agar menjaga jarak dan di rumah saja dapat dipatuhi oleh orang di lingkungan sekitar, mengajak teman-teman untuk dapat membantu orang yang terdampak Covid-19, dan mengajak teman-teman untuk membantu pekerja yang tidak dapat bekerja di rumah.
Anak-anak juga mengaku tidak pernah bosan untuk selalu berbagi informasi terpercaya terkait Covid-19, dan membuat konten di media sosial terkait pencegahan Covid-19 agar dapat tersebar luas.
Dari hasil survei tersebut Lenny menyatakan pihaknya akan memberikan masukan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, terutama soal mengurangi biaya proses belajar di rumah. Selain itu, perlu ada kebijakan yang mengatur secara teknis proses belajar di rumah.
“Ini pengalaman pertama, siswa, guru, dan orang tua. Bayangkan orang tua yang biasa menyerahkan pendidikan ke sekolah, tiba-tiba harus bertanggungjawab proses belajar di rumah, sementara dia sendiri harus kerja dari rumah,” kata Lenny.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menyatakan apa yang dirasakan anak-anak dalam hasil survei tersebut bisa dipahami, jika anak-anak memandang bahwa belajar di rumah kurang menyenangkan karena mereka terbiasa berinteraksi dengan teman-temannya saat di berada di sekolah.
“Namun sebenarnya dengan pola belajar daring melalui zoom metting atau media lain dapat menghangatkan interaksi anak dengan temannya. Tentu tantangannya, sekolah mesti siap dengan desain pembelajaran jarak jauh yang nyaman untuk semua anak,” papar Susanto.